Tersendatnya Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Jalur Legislasi

Oleh:
SEMAR UI
Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI

Excerpt:
Tulisan ini berargumen bahwa dukungan pengesahan RUU P-KS dari masyarakat luas—lintas kelas sosial ekonomi, suku, dan keagamaan—harus diperkuat lagi untuk memberi tekanan kepada para anggota DPR, bahwa RUU tersebut merupakan kebutuhan mendesak masyarakat luas dan bukan kepentingan ideologis. RUU P-KS merupakan hasil studi panjang dan berbasis bukti dari pendataan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan koalisi lembaga-lembaga pengada layanan pendamping korban kekerasan seksual di seluruh wilayah Indonesia. Penolakan RUU P-KS justru bersifat ideologis, karena data empiris atau bukti-bukti yang telah dikumpulkan bertahun-tahun disangkal dengan pengguliran penafsiran keliru, stigma, dan prasangka negatif terhadap korban kekerasan seksual dan para pendukungnya. 

Dokumen lengkap dapat diunduh di sini:

An Exercise in Agency

Pada bulan Juli 2019, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI melakukan riset operasional di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dengan KIT Royal Tropical Institute. Penelitian yang dilakukan membahas topik mengenai pengalaman orang muda dalam memaknai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta struktur dukungan yang ada untuk orang muda sehingga Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dapat terpenuhi. Penelitian dilakukan di Desa Limbangan dan Desa Cikelat, Sukabumi, dua desa yang merupakan desa intervensi dari program Yes I Do yang bertujuan untuk mengakhiri perkawinan anak, kehamilan remaja, dan sunat perempuan.

Laporan penelitian operasional “An Exercise in Agency” dapat diunduh di sini:

Diskusi “Menuju Rekomendasi Kebijakan Responsif terhadap Persoalan Kekerasan Seksual di Kampus”

Tahun ini, Times Higher Education Impact Ranking menempatkan Universitas Indonesia di peringkat ke-47. THE Impact Ranking menentukan 100 perguruan tinggi di dunia yang terbaik dalam tidak hanya menghasilkan hanya kajian atau riset, tapi juga memimpin perubahan sosial masyarakatnya, menurut indikator-indikator 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Ketersediaan kebijakan perlindungan perguruan tinggi terhadap sivitas akademikanya yang melaporkan diskriminasi selama melaksanakan kehidupan kampus, merupakan salah satu indikator atau prasyarat tercapainya 6 SGDs.[1] Namun, meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus jelas mengindikasikan bahwa sivitas akademika UI belum belum memiliki kebijakan yang jelas dan responsif terhadap persoalan kekerasan seksual–sebuah bentuk diskriminasi bebasis gender–di kampus.

Maka, Unit Kajian Gender and Seksualitas LPPSP UI (Unit Kajian Genseks) menguak persoalan kekerasan seksual di kampus via diskusi online di Zoom pada hari Sabtu (25/04/2020) lalu. Diskusi yang bertemakan “Menuju Rekomendasi Kebijakan Responsif” ini berlangsung selama 2 jam, dan dihadiri oleh kurang lebih 80 orang.

I. Urgensi

Sivitas akademika UI bisa menemukan setidaknya tiga saluran untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Ketiga saluran ini diberdayakan oleh para mahasiswa sendiri, antara lain: HopeHelps, BEM FISIP UI, dan BEM UI. Selain menerima beragam laporan (Gambar 1), mereka juga memberikan pendampingan bagi korban yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Menurut pengalaman dari para narasumber yang mewakili ketiga saluran itu, tantangan korban tidak hanya bersumber dari diri tapi juga luar korban. Mengingat banyaknya tantangan dari luar korban, Wakil Ketua BEM Tri Rahmawati menekankan pentingnya korban mendapat dukungan dari sekitarnya. Dukungan sekitar korban adalah faktor penentu korban mengungkapkan atau mengurungkan niat melaporkan kasus kekerasan seksualnya. Ia, Ketua BEM Fajar Nugroho, Ketua BEM FISIP Salman Fathan, dan Koordinator HopeHelps Wildan Teddy menggaris bawahi pentingnya dukungan itu dengan cara: 1) mendengarkan; 2) memastikan keamanan dan kerahasiaan; 3) menanyakan kebutuhan; 4) mendiskusikan pilihan-pilihan korban selama melakukan pendampingan.

Gambar 1. Ragam Kekerasan Seksual di Kampus

II. Rekomendasi

Melihat keragaman bentuk dan pelaku kekerasan seksual menurut pengalaman sivitas akademika UI, Peneliti Unit Kajian Genseks Reni Kartikawati menjelaskan bahwa saat ini kode etik menurut Keputusan Rektor Tahun 2019 perlu dikembangkan lagi atau dibuat lebih spesifik. Pengembangan kode etik ini perlu diterjemahkan ke dalam turunan-turunan yang lebih konkret seperti Standar Operasional Penanganan (SOP) kasus kekerasan seksual dan layanan pengaduan yang menjamin respon cepat, kerahasiaan laporan, dan keamanannya dari relasi kuasa. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual di kampus lebih bisa dicegah atau diantisipasi dan ditindak dengan tegas. UI sudah memiliki beberapa hal tersebut termasuk draft SOP (Gambar 2), namun realisasinya harus diprioritaskan dan setiap fakultas diberdayakan sebagai titik atau focal point pelaksana SOP.

Analis Kebijakan Kemendikbud Sabina Puspita menambahkan bahwa selain peraturan dan mekanisme yang jelas, perlu digiatkan pelatihan dan kegiatan untuk menyamaratakan nilai atau value setiap anggota sivitas akademika kampus. Tenaga kependidikan, dosen, dan mahasiswa harus menginternalisasi value bahwa siapapun—terlepas dari identitas suku, agama, ras, dan gendernya—berhak mendapatkan pengalaman pendidikan tinggi yang aman dan nyaman. Dengan demikian, perbuatan viktimisasi atau victim-blaming tidak lagi menjadi norma, melainkan anggota sivitas akademika yang mengetahui sesamanya mengalami ketidaknyamanan saat menjalankan kehidupan kampusnya, jadi lebih peka dan tanggap dalam memberi dukungan atau pendampingan.

Gambar 2. Peraturan Yang Ideal dan Ketersediaannya di Kampus


[1] Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3 – Good health and well-being); Pendidikan Berkualitas (SDG 4 – Quality Education); Kesetaraan Gender (SDG 5 – Gender Equality); Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (SDG 8 – Decent Work and Economic Growth); Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10 – Reduced Inequalities); dan Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (SDG 16 – Peace, Justice, and Strong Institutions).

Capaian-Capaian Kunci dalam Perayaan Hari Perempuan Internasional 2020

Oleh: Sabina Puspita, Jakarta, 12 Maret 2020

Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun ini aktif bekerja sama dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan masyarakat sipil dalam aliansi GERAK Perempuan (singkatan dari Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan). Selain mensosialisasikan isu-isu penting yang perempuan Indonesia masih hadapi, GERAK Perempuan juga mengkoordinasikan beragam kegiatan yang masing-masing organisasi anggotanya selenggarakan untuk merayakan Hari Perempuan Internasional 2020 (IWD)  dengan makna dan agenda yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Tulisan ini membahas tiga capaian kunci dalam IWD.

  • Pembentukan Aliansi dan Agenda Gerakan yang Interseksional

Perwakilan Puskagenseks menghadiri rapat perdana konsolidasi persiapan menuju IWD pada tanggal 24 Januari 2020. Rapat diadakan di sebuah ruang kecil lantai dua kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ruang berisikan puluhan orang yang terdiri dari (beberapa) pemuda, (banyak sekali) pemudi dan (tidak kalah banyak) perempuan dewasa dari sekitar 65 organisasi mahasiswa, akar rumput, dan buruh di Jakarta, Tangerang, Pamulang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor, dan Bandung.

Setiap tahun menjelang IWD, rapat konsolidasi pasti diadakan. Namun, keunggulan dari tahun ini terletak pada persiapannya yang lebih lama, dan hal-hal yang dibicarakan pun lebih substantif atau mendalam, melampaui hal-hal teknis seperti strategi memobilisasi aksi IWD pada tanggal 8 Maret.[i] Dari isu-isu yang menjadi perhatian gerakan #NamaBaikKampus dan #ReformasiDikorupsi, hingga yang teraktual seperti RUU Omnibus Law dan RUU Ketahanan Keluarga, peserta rapat mengkonsolidasi suara mereka sebagai sebuah aliansi atau gerakan koalisi besar yang “Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan.”[ii]

Terkait dengan kekerasan sistematis, banyak sekali organisasi mahasiswa organik—yang belum tentu terdaftar sebagai organisasi ekstra kurikuler kampus—hadir pula di rapat tersebut. Mereka tergabung dalam Jaringan Muda Setara. Karena tidak adanya mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang jelas, pro-korban, dan transparan di kampus-kampus mereka,[iii] fokus organisasi-organisasi yang tergabung dalam jaringan ini adalah pada pemantauan dan pencegahan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus, termasuk penguatan korban dan pendampingnya.

Terlebih dari itu, IWD kali ini bersejarah karena Nining Elitos menjabat sebagai Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Baru kali ini konfederasi buruh sebesar KASBI dipimpin oleh seorang perempuan. Kehadiran seorang perempuan sebagai pemimpin serikat-serikat buruh, memproyeksikan jumlah dan komposisi peserta aksi IWD kali ini yang sangat besar dan beragam atau interseksional (lintas kelas, agama, suku, dan identitas gender).

  • Penguatan Solidaritas dan Pertukaran Pengetahuan Antar-Anggota Aliansi

Untuk mengisi agenda aliansi yang disepakati—melawan kekerasan sistematis terhadap perempuan—Puskagenseks pada tanggal 3 Maret mengadakan acara diskusi “Seks, Pacaran, dan Perkawinan: Campur Tangan Negara dalam Seksualitas.” Beberapa perwakilan dari aliansi GERAK Perempuan seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Lingkar Studi Feminis, Indonesia Feminis, Perempuan Agora, Perempuan Mahardhika, dan Aliansi Satu Visi turut hadir.

Pembicara Talk Show (kiri ke kanan: Reni Kartikawati, Diana Pakasi, Sabina Puspita, Nadira Chairani)
Sumber: Dokumentasi Puskagenseks 2020

Khususnya, Puskagenseks berkoordinasi dengan Aliansi Satu Visi dalam segmen diskusi dan nonton bareng film Vessel (Kapal Penyelamat). Koordinasi ini menghadirkan Profesor Meiwita Budiharsana, Yanose Syahni, dan Shafira Jelita sebagai narasumber kunci diskusi film. Paparan mereka memicu tanya-jawab dari peserta lain soal kesulitan akses perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi, aborsi aman, dan pendidikan seks komprehensif di Indonesia.

Akses mahasiswa terhadap layanan pengaduan kekerasan seksual di kampus belum dibicarakan dalam acara ini. Minimnya diskusi terbuka terkait seks dan tingginya tingkat keberagaman praktik pacaran dan perkawinan di tengah masyarakat muda Indonesia, bisa jadi adalah penyebab minimnya pengetahuan mahasiswa dan orang dewasa Indonesia tentang perilaku dan penanganan kekerasan seksual. Campur tangan negara dalam relasi atau urusan privat warga, dan cuci tangan lembaga atau negara yang berwenang dari urusan perlindungan korban kekerasan seksual, adalah sebuah fenomena yang harus dikritisi lebih dalam.

Maka, dalam segmen talk show sebelum segmen nobar, Nadira Chairani melalui analisis pemantauan media dan lapangan risetnya,  menunjukkan bagaimana remaja Indonesia memahami dan menjalankan hubungan pacaran mereka sangat beragam, dan terlalu kompleks untuk dibahasakan dengan satu terminologi saja. Diana Pakasi, dengan menggunakan beberapa contoh kasus risetnya, menunjukkan bagaimana usaha dan campur tangan negara dalam mengelompokkan apa yang tergolong perkawinan sah itu sangat tidak mencerminkan kenyataan atau praktik-praktik perkawinan masyarakat Indonesia. Menurut analisis Sabina Puspita, hal-hal yang dipaparkan oleh Nadira dan Diana menunjukkan bahwa perkembangan seksualitas remaja dan khususnya perempuan itu bukan sebuah proses yang alami, tapi proses pertarungan ide dan nilai antara negara dan warganya.

  • Penindaklanjutan Kasus Pelecehan Seksual yang Responsif  dan Reflektif

Dalam acara puncak IWD pada aksi turun ke jalan pada tanggal 8 Maret, GERAK Perempuan mendapatkan banyak laporan pelecehan seksual dari peserta aksi. Berbagai pemberitaan di media juga menggaris bawahi ironi dari aksi IWD GERAK Perempuan. Bahwa dalam sebuah kegiatan aksi yang diselenggarakan oleh 60 lebih organisasi perempuan dan buruh, banyak peserta aksi–perempuan, transpuan, dan laki-laki berekspresi feminin–mengalami intimidasi verbal dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama peserta aksi dan juga aparat keamanan. [iv]

Peserta march IWD 2020, Jakarta
Sumber: Dokumentasi Sabina 2020

Patut diapresiasi, sehari setelah aksi berlangsung, KASBI sebagai anggota aliansi GERAK Perempuan langsung mengeluarkan pernyataan permohonan maaf secara publik atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota serikatnya. Respon cepat tanggap serupa tidak banyak dilakukan oleh organisasi lain ketika terjadi dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota organisasi. Hingga saat penulisan artikel ini, GERAK Perempuan masih membuka layanan aduan dan melakukan pendataan lengkap bentuk-bentuk pelecehan yang terjadi.

Resolusi yang dicapai oleh GERAK Perempuan, secara garis besar, meliputi dua hal. Pertama, KASBI mengadakan penyelidikan internal terkait pengidentifikasian pelaku pelecehan tersebut. Kedua, GERAK Perempuan mengakui kekurangannya dalam: 1) menguatkan solidaritas serta pertukaran pengetahuan antara organisasi anggota buruh dan non-buruh; dan 2) mengantisipasi permasalahan keamanan dan strategi pencegahannya saat aksi.

Penutup

Tradisi merayakan IWD sudah dilakukan sejak 8 Maret 1911.[v] Barisan kelompok-kelompok perempuan di Paris, Boston, New York, dan kota-kota kerajaan Austro-Hungaria berdemonstrasi untuk memperoleh, baik hak mereka sebagai buruh, maupun hak suara politik sebagai warga negara untuk mencegah Perang Dunia I. Seruan aksi turun ke jalanan mereka ditujukan untuk meningkatkan kesadaran orang tentang hal-hal yang sudah dan belum dicapai oleh perempuan—lintas kelas, suku, agama, identitas gender dan seksualitas—dalam struktur masyarakat yang cenderung mengekang kebebasan dan kesempatan perempuan.

Kesalahan dan tantangan yang dihadapi oleh aliansi GERAK Perempuan pada saat dan setelah aksi 8 Maret, terutama kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam konteks IWD, merupakan pukulan terberat bagi GERAK Perempuan. Namun, kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa menghentikan kekerasan sistematis terhadap perempuan membutuhkan perlawanan yang lebih besar.

“Bebaskan Tahanan Politik Perempuan Papua”
Sumber: Dokumentasi Sabina 2020

[i] Korespondensi antara Penulis dan Sekjen Perempuan Mahardhika, Ika (7 Maret 2020).

[ii] Tema besar yang diusung oleh penyelenggara IWD di tingkat internasional adalah “Semua untuk Kesetaraan” atau Each for Equal.[ii] 

[iii] Wawancara antara Penulis dan Ketua salah satu organisasi anggota Jaringan Muda Setara.

[iv] Korespondensi antara Penulis dan Narahubung tim penyusun kertas sikap, Lini Zurlia (12 Maret 2020)

[v] Kaplan, Temma. “On the Socialist Origins of International Women’s Day.” Off Our Backs 21, no. 3 (1991): 27-36.

16 RUPA: Beda Itu Biasa

Oleh: Nadira Chairani

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) merupakan gerakan global yang dibentuk oleh masyarakat dan berbagai lembaga/organisasi atas ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Indonesia turut memperingati 16HAKtP sejak tahun 1991 dan gerakan ini menjadi rutin dilakukan pada tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya.

Pada 16HAKtP tahun 2019, Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI, Pamflet Generasi dan Aliansi Satu Visi yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman atau KITASAMA ikut berkontribusi dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) dengan menyelenggarakan acara bertajuk 16 Hari RUang PuAn: Beda Itu Biasa atau juga yang kami sebut sebagai 16RUPA. 16RUPA  mengupayakan untuk menjadi ruang-ruang ekspresi bagi perempuan yang dibentuk atas dasar keprihatinan dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia. Bentuk yang diusung dalam 16RUPA adalah Instalasi Rupa-Rupa yang termasuk di dalamnya instalasi replika pakaian penyintas kekerasan seksual “Saat Itu Aku….”, 8 instalasi rupa ragam kelamin perempuan, 8 instalasi rupa ragam payudara perempuan, instalasi rupa lukis perempuan dalam sehari-hari, kelas-kelas seni, diskusi, pasar karya puan, dan ruang aman.

Instalasi “Saat Itu Aku…”
Sumber: Dokumentasi 16RUPA
Instalasi rupa vulva
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani
Instalasi rupa payudara
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani

16 Hari Ruang Puan membawa suara-suara perempuan yang tidak tersampaikan, membantah keraguan yang selalu terpikirkan. Semua pelakon utama dalam 16RUPA adalah perempuan dan tujuan utama dari 16RUPA adalah untuk memaparkan kenyataan bahwa perempuan masih berada pada posisi rentan, sekaligus memberikan penguatan pada perempuan itu sendiri bahwa setiap manusia memiliki keunikan masing-masing atas bentuk organ tubuh yang berbeda-beda. Rangkaian kegiatan ini dilakukan kembali untuk mengkampanyekan bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa. Selain untuk perempuan, secara umum 16RUPA disajikan untuk seluruh anggota masyarakat yang tertarik untuk belajar bersama dalam 16HAKtP.

Media massa ikut meliput dan menyebarluaskan kabar terkait kegiatan 16RUPA dengan pengemasan kabar yang bernada positif. Hasil peliputan dapat dilihat pada tautan berikut:

“…replika pakaian korban kekerasan seksual disertai narasi terkait kronologi peristiwa untuk membangun empati publik.” 2019. Tirto.id. Pameran Replika Pakaian Korban di 16 Hari Anti Kekerasan Perempuan. https://tirto.id/pameran-replika-pakaian-korban-di-16-hari-anti-kekerasan-perempuan-emmJ

“Ruang PuAn, wujud dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia.”2019. Magdalene. 16 RUPA: Beda Itu Biasa, Ruang Ekspresi untuk Perempuan. https://magdalene.co/story/16-ruoa-beda-itu-biasa

“16 RUPA menjadi ruang perempuan untuk berekspresi dan menjadi diri sendiri dalam keahlian masing masing.” 2019. Jawapos.com. Pameran “16 RUPA:Beda itu Biasa”. https://www.jawapos.com/photo/pameran-16-rupabeda-itu-biasa/

“Tidak semua kekerasan seksual terjadi karena korban memakai baju yang minim. Perempuan juga bukan satu-satunya korban. Laki-laki maupun waria pun bisa menjadi korban kekerasan seksual.” 2019. Jawapos.com. Siapa Saja Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual. https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/27/11/2019/siapa-saja-bisa-menjadi-korban-kekerasan-seksual/

“Kampanye ini menampilkan berbagai instalasi mulai dari pakaian para korban kekerasan seksual, bentuk vagina dan payudara perempuan hingga beragam lukisan bertema perempuan.” 2019. KBR. Kampanye Anti Kekerasan Seksual Melalui Seni. https://kbr.id/berita/11-2019/kampanye_anti_kekerasan_seksual_melalui_seni/101495.html

2019. Prokal.co. Waspada…!! Siapa Saja Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual. https://kaltim.prokal.co/read/news/364013-waspada-siapa-saja-bisa-jadi-korban-kekerasan-seksual.html

Pembanguan dan Kontradiksinya: Sebuah Refleksi

Oleh: Sari Ratri[1]

Sejak setahun yang lalu, sebuah gedung bangunan baru, berdiri di Desa Tandima[2], di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bangunan tersebut merupakan Gedung Pustu (Puskesmas Pembantu) tambahan untuk warga di desa. Desa Tandima memiliki empat dusun yang berjarak cukup berjauhan. Dusun Manggalu, Dusun Telo, Dusun Rana, dan Dusun Bonga. Kecuali Dusun Telo yang letaknya lebih dekat dengan Puskemas di kota kecamatan, para warga di ketiga dusun lainnya mengakses layanan kesehatan dasar di Pustu yang berada di Dusun Manggalu. Kali ini, pustu yang baru, terletak di Dusun Bonga. Para ibu di Dusun Bonga, pikir saya, tidak perlu lagi berjalan jauh untuk memeriksakan kehamilan mereka dengan adanya Pustu yang baru, yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

Gambar 1:
Bangunan Pustu di Dusun Bonga
Foto: Hestu Prahara

Di kali ketiga kedatangan saya ke desa ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di Tandima. Pada tahun 2015, jalan yang menghubungkan satu dusun ke dusun lain masih belum diperbaiki. Dalam kesempatan diskusi terfokus yang pernah saya lakukan, “kendala jalan yang tidak baik” menjadi salah satu keluhan utama para ibu yang kemudian mengabsahkan penjelasan para aktor pembangunan akan alasan kelahiran di rumah. Sejak tahun 2009, kelahiran di rumah tidak lagi diijinkan di seluruh Profinsi Nusa Tenggara Timur karena kehadiran program Revolusi KIA. Tentu tidak semua ibu yang melahirkan di rumah, menggunakan alasan yang sama ketika menjelaskan dan memahami pengalaman mereka melahirkan yang terjadi di rumah masing-masing.

Saat kembali di tahun 2017, hampir seluruh jalan di Desa Tandima telah berubah menjadi jalan aspalt. Hanya tertinggal sekitar lima ratus meter saja, jalan menuju ke rumah kepala desa yang masih berbatu. Kemudian, di tahun 2019, tiang-tiang listrik sudah terpasang di pinggir jalan utama yang membelah desa ini. Air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) ke setiap sumur warga dan sinyal 4G pun sudah ada. Luar biasa! Cepat sekali perubahan di desa ini, saya perhatikan.

Perbaikan infrastruktur di Desa Tandima mengingatkan saya akan temuan Jesse H. Grayman (2017) dalam penelitiannya di Manggarai Timur mengenai penerapan intervensi pembangunan berbasis masyarakat. Grayman (2017) menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan desa, khususnya di Nusa Tenggara, “kendala geografis,” “lanskap topografi yang sulit ditempuh,” umum diutarakan oleh beragam aktor (pemerintah, para ahli, maupun orang di desa) sebagai bagian dari wacana yang digunakan untuk menjelaskan hambatan percepatan pembangunan kesehatan desa. Saya setuju bahwa metafor geografi seperti “medan” dan “lapangan” bukanlah ujaran netral tanpa makna politik (Grayman 2017:67). Alih-alih, sebagai contoh, metafor tersebut memungkinkan lahirnya interfensi program lainnya, termasuk pembangunan jalan yang terjadi di Desa Tandima. Artinya, metafor-metafor yang diucapkan, memiliki kekuatan untuk menggerakan atau paling tidak mempengaruhi pemahaman publik akan hal-hal yang dianggap sebagai kendala pembangunan.

Saya melihat perbaikan jalan dan pembangunan fasilitas pendukung kebutuhan masyarakat desa, sebagai salah satu hasil dari pembentukan wacana tentang “masalah” pembangunan. Ujaran tersebut diutarakan dengan menggunakan metafor geografis yang dianggap bernuansa teknis dan non-politis. Akan tetapi, metafor geografis, nyatanya, mengarahkan perhatian seseorang hanya pada persoalan infrastruktur. Dampaknya, menurut saya, terdapat isu lain yang tidak tampak dan tak terdengar ketika pembangunan hanya dibayangkan sebagai persoalan keterbatasan infrastruktur.

Bila ujaran geografis mampu menggerakan roda perputaran praktik pembangunan, apakah hasil pembangunan lantas bisa dirasakan secara merata oleh seluruh warga desa? Jawaban dari pertanyaan tersebut, tentu tidak sederhana. Dalam refleksi singkat saya tentang pembangunan desa, saya mencoba menampilkan narasi yang lain dari kondisi pembangunan desa. Saya sadar bahwa tulisan ini tidak mampu menjawab pertanyaan yang saya ajukan secara menyeluruh. Penggalan etnografis yang akan saya sajikan berikutnya adalah tentang sebuah keluarga di Dusun Bonga dan pengalaman mereka dengan pembangunan.

Nde Marina adalah seorang petani yang tinggal di rumah berdinding bambu di pinggir tebing, di ujung Dusun Bonga. Ia tinggal bersama suaminya, Fradus. Saat bertemu pertama kali dengan pasangan ini di tahun 2017, mereka bercerita bahwa enam orang anaknya pergi merantau ke luar desa. Si bungsu baru saja masuk ke sekolah kejuruan di Kota Ruteng. Anak ketiga dan keempat mereka merantau di Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan mereka ke perguruan tinggi swasta. Anak kelima mereka masih berada di Makassar dan saat itu sedang menyelesaikan pendidikan perawatan di kota tersebut.

Gambar 2:
Keran di Dusun Manggalu, sumber air bagi yang belum memiliki saluran air pribadi.
Foto: Hestu Prahara

Saat saya kembali bertemu dengan Nde Marina dan Pak Fradus, mereka masih menempati rumah yang sama. Yang berbeda hanya tambahan ruang dapur. Rumah mereka masih berdinding bambu. Program bantuan rumah layak huni bagi rakyat miskin yang saat ini marak digalakkan dalam pembangunan desa, tidak lantas menyediakan rumah bendinding batu untuk pasangan ini. Saat sebagain besar warga di Desa Tandima telah memiliki saluran air bersih ke rumah masing-masing, Nde Marina dan Pak Fradus masih mandi dan mengambil air di aliran sungai tidak jauh dari rumah mereka. Ketika rumah-rumah di desa telah memasang penerangan sebagai hasil dari masuknya listrik ke desa, Nde Rina dan Pak Fradus tetap menggunakan lampu minyak yang mereka buat sendiri.

Dalam pertemuan kali ini, anggota keluarga Nde Rina bertambah. Anak sulung mereka, Yofina, datang bersama kedua anaknya dari Timika, Papua Barat. Yofina berbicara dengan logat yang berbeda dari kebanyakan orang Manggarai yang pernah saya temui. Ia telah lama menetap di Timika bersama suami dan kedua orang anaknya. Suami Yofina bekerja sebagai penambang disana. Kembalinya Yofina ke Desa Tandima, mengikuti saran Nde Rina dan Pak Fradus untuk menghemat pengeluaran. Lokasi sekolah di Timika yang berada di kota kecamatan membuat anak Yofina sering meminta uang jajan. “Kalau di desa kan mereka punya anak tidak bisa jajan, sebab disini tidak ada yang berjualan, biar dia tinggal dengan kami, mamanya saja yang kembali ke Timika” ucap Pak Fradus.

Nde Rina kemudian bercerita kepada saya, bahwa Yofina hanya tamat sampai Sekolah Dasar (SD). “Waktu saudari nya sekolah, itu dia [Yofina] yang usaha,” Nde Rina bercerita. Ucapan Nde Rina membuat saya berpikir, tentang bagaimana setiap individu mengalami pembangunan secara berbeda-beda. Jika pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan sebuah negara dan kualitas sumber daya manusia, pengalaman Yofina menyajikan ironi dari pembangunan. Paham moderen dan bayangan akan kemajuan yang disampaikan lewat system pendidikan, nyatanya menuntut sebagian orang untuk mengorbankan dirinya agar orang lain dapat mengalami pembangunan secara ideal. Agar saudarinya bisa meraih pendidikan, Yofina tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya. Dan kini, agar anaknya sekolah tanpa harus mengganggu tatanan ekonomi yang selama ini ia telah rancang bersama suaminya melalui bekerja di kota lain, Yofina harus menitipkan anaknya kepada orang tua di desa.  

Dua cerita tentang pembanguna desa yang saya sajikan dalam tulisan ini memotret pembangunan secara berbeda. Cerita pertama merupakan pengalaman saya ketika melihat pembangunan infrastruktur di desa yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun. Cerita kedua menggambarkan pertemuan saya dengan sebuah keluarga yang membantu saya melihat bagaimana keluarga tersebut mengalami pembangunan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Percepatan pembangunan infrastruktur, tidak lantas mengantarkan setiap individu ke gerbang kemajuan sebagaimana wacana tentang pembangunan sering digaungkan. Keluarga Nde Marina, menyiratkan bahwa, mesin pembangunan tidak lah bekerja secara otomatis. Agar wacana pembangunan yang ideal tetap tereproduksi, setiap individu harus “berstrategi” sesuai dengan kondisi realitas keseharian mereka. Strategi individu dalam menavigasi pembangunan lah, yang saya duga justru mengakomodasi dan memfasilitasi perputaran mesin pembangunan yang seringkali tak muncul dalam representasi yang disajikan dalam perbaikan insfrastruktur. Strategi di level individu ini yang saya kira penting untuk diperhatikan ketika hendak mamahami pembangunan dan kontradiksinya.

Acuan tulisan yang digunakan:

Grayman, J. H. (2017). “Topography and Scale in a Community-driven maternal and child health program in Eastern Indonesia” Medicine Anthropology Theory. Vol 4(1):46—78.

[1] Sari Ratri adalah mahasiswa doctoral pada Departemen Antropologi, di Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis melakukan penelitian dengan fasilitasi dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

[2] Seluruh nama (orang, desa dan dusun) dalam esai ini menggunakan nama samaran untuk menjamin kerahasiaan identitas dari para informan. Sedangkan Kabupaten Manggarai, merupakan salah satu daerah administratif di Profinsi Nusa Tenggara Timur.

Refleksi tentang Demokratisasi, Pengorganisasian Perempuan, dan Represi di Indonesia

Oleh: Sabina Puspita

Tiga pesan yang sering muncul menjelang Hari Ibu mengingatkan masyarakat tentang sejarah lahirnya Hari Ibu, perkembangan narasi sejarah Hari Ibu,[i] dan capaian serta stagnansi agenda perjuangan politik perempuan sejak kongres perempuan 1928. Artikel ini ingin melanjutkan semangat pesan ketiga, dengan merefleksikan bagaimana demokratisasi di Indonesia telah berperan dalam melanggengkan stagnansi tersebut. Secara khusus, artikel ini menitikberatkan aspek penindasan atau “represi” yang berpengaruh pada stagnansi agenda gerakan perempuan di Indonesia.

Demokratisasi dan Pengorganisasian Perempuan

Secara singkat, demokratisasi dapat diartikan sebagai proses 1) peningkatan persaingan politik; dan 2) pelibatan masyarakat termasuk kaum minoritas dalam persaingan itu (Dahl 1971). Untuk meningkatkan persaingan politik, tokoh-tokoh elite politik membuat berbagai macam aturan dan sanksi yang mereka sepakati dulu sebelum disosialisasikan ke masyarakat—misalnya, peraturan pemilu/pilkada. Sedangkan untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin kelompok masyarakat dalam sistem demokratis, tokoh-tokoh elite politik mendirikan berbagai landasan hukum untuk menjamin hak-hak politik setiap anggota masyarakat.

Pengaruh kongres perempuan tanggal 22 Desember 1928 dan seterusnya bagi awal demokratisasi Republik Indonesia besar untuk mendorong keikutsertaan perempuan Indonesia dalam persaingan dan inklusivitas politik. Perempuan Venezuela, Argentina, Belgia, India, dan Swiss baru mendapatkan hak-hak yang sama beberapa tahun setelah pemerintahan negaranya terbentuk (Paxton 2008).[ii] Pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan perempuan sejak kongres tersebut, terutama menjelang hari proklamasi yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta di tahun 1945, berhasil mewujudkan sosok pemimpin seperti Maria Ulfah yang menjadi anggota komite pembentukan negara Indonesia atau KNIP dan menteri sosial di kabinet Sjahrir.[iii]

Namun, intensitas pengorganisasian kelompok-kelompok perempuan dihentikan oleh rezim Orde Baru, melalui penindasan berat atau represi terhadap PKI dan kelompok-kelompok kiri. Selain penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan para anggota GERWANI setelah 30 September 1965 (Wieringa 2002), penutupan Universitas Rakyat yang berisikan mahasiswi-mahasiswi progresif dan Taman Kanak-Kanak Melati milik GERWANI di berbagai daerah pun dilakukan oleh rezim pasca 1965 (Wahid 2018). Demokratisasi di Indonesia, terutama kesempatan perempuan berorganisasi di akar rumput, pun tersendat sejak kejadian itu hingga turunnya Presiden Suharto di tahun 1998.

Demokratisasi di Indonesia bisa dikatakan mulai perlahan-lahan berlangsung kembali pada tahun 1985, ketika pemerintahan Presiden Suharto melegalisasi undang-undang berserikat. Kelompok-kelompok perempuan seperti Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta, Yasanti, dan sebagainya berdiri (Hadiwinata 2002). Meskipun demikian, mulainya kembali demokratisasi tidak serta merta melenyapkan resiko represi negara. Contoh: buruh perempuan Marsinah menggunakan hak berserikatnya, tetapi kemudian ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan.

Pasca krisis moneter Asia 1997, gerakan perempuan Indonesia mulai mendorong lagi. Pada awal episode aksi pro-reformasi Indonesia di tahun 1998, selain para anggota Suara Ibu Peduli ditahan dan diadili aparat pemerintahan Presiden Suharto, perkosaan masal perempuan terutama terhadap yang beretnis Tionghoa terjadi.[iv] Ketika Ita Martadinata siap berangkat ke PBB untuk memberikan kesaksiannya perihal perkosaan masal tersebut, ia pun ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan sebelum hari keberangkatannya. Meskipun demikian, pengorganisasian dari beberapa tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan berhasil mendorong Presiden Habibie untuk membuat pernyataan resmi yang: 1) menyesali tingginya angka kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998; dan 2) memulai pendirian Komnas Perempuan di bulan Oktober 1998.[v]

Represi dalam Demokratisasi: Kerangka Kerja Penelitian Pengorganisasian Perempuan

Artikel ini bermaksud menggarisbawahi pentingnya menganalisis pola represi negara untuk memahami betul stagnansi agenda perjuangan politik perempuan Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya. Sejarah demokratisasi Indonesia menunjukkan bahwa, ketika kelompok-kelompok perempuan mulai menjadi efektif dalam memenuhi agendanya, di saat itu juga mereka memicu represi ekstrim dari negara. Rezim pasca-reformasi pun tidak luput dari kemungkinan mengambil strategi represif untuk menahan kemajuan agenda perjuangan politik perempuan.

Menurut Davenport (2007), roda utama pemerintahan demokratis ada dua, yakni, aspek 1) voice atau peningkatan persaingan politik; dan 2) veto atau pelibatan masyarakat, baik kaum elite maupun minoritas, dalam persaingan itu. Semakin giatnya demokratisasi, yang diikuti dengan semakin berjalannya aspek voice dan veto dengan baik, maka tingkat represi di suatu negara pun dapat menjadi semakin rendah. Namun, adalah keberlangsungan dan kekuatan aspek veto yang mampu mengekang kecenderungan pemerintah untuk bersikap represif—baik dengan kekerasan maupun dengan  pembatasan atau pengabaian hak-hak sipil perempuan.

Komnas Perempuan adalah salah satu dari sekian banyak lembaga yang fungsinya lebih menyerupai mekanisme veto dalam sistem demokrasi. Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sudah menerima 1,6 juta aduan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun tingkat naiknya kasus kekerasan yang diterimanya menurun, jumlah aduan terus bertambah (Gambar 1).

Gambar 1.Peningkatan jumlah kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan menurun berdasarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (1999-2019)

Tren naiknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bisa diartikan menurut dua sisi. Di satu sisi, 20 tahun demokratisasi di Indonesia cukup berhasil membuat sebagian besar masyarakat sadar dan percaya pada mekanisme perlindungan hukum yang disediakan oleh negara. Di sisi lain, demokratisasi di Indonesia belum mampu menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian yang fokusnya pada represi dalam demokratisasi dapat berguna bagi perumusan strategi-strategi advokasi kelompok-kelompok perempuan, organisasi internasional, dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas: 1) mekanisme perlindungan hukum model Komnas Perempuan; dan 2) demokratisasi di Indonesia.

Menitikberatkan aspek represi dalam proses pembentukan hubungan antara perempuan dan negara sudah diserukan oleh beberapa pengamat budaya dan politik Indonesia (Heryanto 2000).[vi] Namun, aspek yang belum kita telusuri lebih lanjut adalah: kapan atau pada titik apa kelompok-kelompok perempuan dapat mengeskalasi atau meningkatkan daya gerakan demonstrasi dan lobi mereka ke pemerintah tanpa ancaman kekerasan setara 1965 atau 1998? Lebih spesifik lagi, aspek apa dari pemerintah Indonesia yang bisa kelompok-kelompok perempuan sasar advokasi dan lobinya untuk mencapai tujuan kesetaraan gender dengan lebih strategis, tanpa resiko represi?

Daftar Pustaka

Dahl, R. A. (1971). Polyarchy: Participation and opposition. New Haven; London: Yale University Press.

Davenport, C. (2007). State repression and the domestic democratic peace. Cambridge University Press.

Hadiwinata, B. S. (2003). The politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement. Routledge.

Heryanto, A. (2000). Perkosaan Mei 1998 Beberapa Pertanyaan Konseptual.” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Paxton, P. (2008). “Gendering Democracy” di Goertz, Gary, & Mazur, Amy. (2008). Politics, gender, and concepts: Theory and methodology. Cambridge; New York: Cambridge University Press.

Vreede-De, C. S. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Komunitas Bambu.

Wahid, A. (2018). Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil of 1950s-1960s. Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, (95), 31-52.

Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. Springer.

Catatan

[i] Baca juga Farid Muttaqin (2018) soal upaya-upaya mengubah narasi Hari Kartini dan sejarah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia belakangan ini.

[ii] Negara Swiss baru memberikan hak suara politik kepada perempuan di tahun 1970an. Baca kritik Paxton (2008) terhadap teori gelombang ketiga demokratisasi dunia karya Huntington (1991).

[iii] Baca Stuers (2008) untuk memahami kiprah Maria Ulfah di kongres perempuan pada awal berdirinya Republik Indonesia.

[iv] Baca Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998(Komnas Perempuan 1999) dan Jayani (2019).

[v] Baca Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa Disangkal! (Komnas Perempuan 2003).

[vi] Baca juga Listening to the Voices of Women Survivors of 1965 oleh Nadia et al. 2007.

Body and Social Mapping, Metode Operational Research YID 2019

Oleh: Fatimah Az Zahro

Pada tanggal 4-16 Juli 2019 yang lalu, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI telah melaksanakan kegiatan pengumpulan data lapangan dalam rangka penelitian Operational Research Program Yes I Do. Operational Research ini bertujuan untuk memahami bagaimana remaja menjalankan agensi dan dukungan yang dimiliki remaja, terkait dengan permasalahan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang mereka hadapi.

Pengumpulan data dilakukan di dua desa di Kabupaten Sukabumi, yakni Desa Limbangan dan Desa Cikelat. Kegiatan ini dimulai dengan pertemuan dengan anggota Aliansi YID Sukabumi sebagai implementor program di wilayah Sukabumi. Aliansi YID Sukabumi terdiri dari PKBI Sukabumi, ARI Sukabumi, LPAR, dan PUPUK. Dalam pertemuan ini, didapatkan gambaran umum mengenai kondisi kehidupan remaja sehari-hari serta kegiatan-kegiatan program YID yang telah diimplementasikan. Hal ini menjadi informasi awal bagi peneliti untuk memulai proses pengumpulan data langsung di lapangan. Selanjutnya di kedua desa, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam dan FGD dalam mengumpulkan data.

Dalam wawancara mendalam dengan remaja, remaja diminta untuk melengkapi cerita di mana remaja bebas untuk menceritakan kehidupannya sendiri maupun mengembangkan imajinasinya dan menciptakan karakter fiksional. Proses melengkapi cerita ini membantu peneliti untuk memahami kegiatan sehari-hari remaja, serta aspirasi dan cita-cita remaja. Kegiatan ini juga digunakan sebagai pemantik untuk perbincangan selanjutnya, seperti kesenjangan antara aspirasi dan sarana yang tersedia.

Dalam FGD, peneliti menggunakan metode body mapping dan social mapping. Body mapping dilakukan untuk memahami pengetahuan remaja atas tubuhnya sendiri dan pengetahuan remaja atas kesehatan seksual dan reproduksi. Body mapping menjadi bagian yang paling disukai remaja, karena mereka bebas untuk menggambarkan dirinya sendiri dan selanjutnya bisa memasangkan pakaian pada gambar yang telah dibuat.

Salah satu contoh hasil body mapping laki-laki dalam FGD remaja
Salah satu karakter fiksional yang dibuat berdasarkan hasil diskusi dalam FGD remaja perempuan

Melalui metode ini, peneliti dapat memahami sejauh mana remaja mengerti proses yang terjadi dalam tubuhnya, mitos-mitos yang berkembang di masyarakat terkait hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, serta adanya kesenjangan antara imajinasi remaja dengan kontrol sosial yang mengekang di masyarakat.

Sedangkan metode social mapping dilakukan untuk memahami kehidupan di desa dari sudut pandang remaja, seperti misalnya tempat apa saja yang penting bagi remaja, titik-titik kumpul remaja, serta lokasi di mana remaja biasa pacaran. Keseluruhan metode ini menjadi jembatan bagi peneliti untuk menggali lebih informasi yang lebih dalam dari para remaja.