16 RUPA: Beda Itu Biasa

Oleh: Nadira Chairani

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) merupakan gerakan global yang dibentuk oleh masyarakat dan berbagai lembaga/organisasi atas ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Indonesia turut memperingati 16HAKtP sejak tahun 1991 dan gerakan ini menjadi rutin dilakukan pada tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya.

Pada 16HAKtP tahun 2019, Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI, Pamflet Generasi dan Aliansi Satu Visi yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman atau KITASAMA ikut berkontribusi dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) dengan menyelenggarakan acara bertajuk 16 Hari RUang PuAn: Beda Itu Biasa atau juga yang kami sebut sebagai 16RUPA. 16RUPA  mengupayakan untuk menjadi ruang-ruang ekspresi bagi perempuan yang dibentuk atas dasar keprihatinan dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia. Bentuk yang diusung dalam 16RUPA adalah Instalasi Rupa-Rupa yang termasuk di dalamnya instalasi replika pakaian penyintas kekerasan seksual “Saat Itu Aku….”, 8 instalasi rupa ragam kelamin perempuan, 8 instalasi rupa ragam payudara perempuan, instalasi rupa lukis perempuan dalam sehari-hari, kelas-kelas seni, diskusi, pasar karya puan, dan ruang aman.

Instalasi “Saat Itu Aku…”
Sumber: Dokumentasi 16RUPA
Instalasi rupa vulva
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani
Instalasi rupa payudara
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani

16 Hari Ruang Puan membawa suara-suara perempuan yang tidak tersampaikan, membantah keraguan yang selalu terpikirkan. Semua pelakon utama dalam 16RUPA adalah perempuan dan tujuan utama dari 16RUPA adalah untuk memaparkan kenyataan bahwa perempuan masih berada pada posisi rentan, sekaligus memberikan penguatan pada perempuan itu sendiri bahwa setiap manusia memiliki keunikan masing-masing atas bentuk organ tubuh yang berbeda-beda. Rangkaian kegiatan ini dilakukan kembali untuk mengkampanyekan bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa. Selain untuk perempuan, secara umum 16RUPA disajikan untuk seluruh anggota masyarakat yang tertarik untuk belajar bersama dalam 16HAKtP.

Media massa ikut meliput dan menyebarluaskan kabar terkait kegiatan 16RUPA dengan pengemasan kabar yang bernada positif. Hasil peliputan dapat dilihat pada tautan berikut:

“…replika pakaian korban kekerasan seksual disertai narasi terkait kronologi peristiwa untuk membangun empati publik.” 2019. Tirto.id. Pameran Replika Pakaian Korban di 16 Hari Anti Kekerasan Perempuan. https://tirto.id/pameran-replika-pakaian-korban-di-16-hari-anti-kekerasan-perempuan-emmJ

“Ruang PuAn, wujud dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia.”2019. Magdalene. 16 RUPA: Beda Itu Biasa, Ruang Ekspresi untuk Perempuan. https://magdalene.co/story/16-ruoa-beda-itu-biasa

“16 RUPA menjadi ruang perempuan untuk berekspresi dan menjadi diri sendiri dalam keahlian masing masing.” 2019. Jawapos.com. Pameran “16 RUPA:Beda itu Biasa”. https://www.jawapos.com/photo/pameran-16-rupabeda-itu-biasa/

“Tidak semua kekerasan seksual terjadi karena korban memakai baju yang minim. Perempuan juga bukan satu-satunya korban. Laki-laki maupun waria pun bisa menjadi korban kekerasan seksual.” 2019. Jawapos.com. Siapa Saja Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual. https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/27/11/2019/siapa-saja-bisa-menjadi-korban-kekerasan-seksual/

“Kampanye ini menampilkan berbagai instalasi mulai dari pakaian para korban kekerasan seksual, bentuk vagina dan payudara perempuan hingga beragam lukisan bertema perempuan.” 2019. KBR. Kampanye Anti Kekerasan Seksual Melalui Seni. https://kbr.id/berita/11-2019/kampanye_anti_kekerasan_seksual_melalui_seni/101495.html

2019. Prokal.co. Waspada…!! Siapa Saja Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual. https://kaltim.prokal.co/read/news/364013-waspada-siapa-saja-bisa-jadi-korban-kekerasan-seksual.html

Menolak Raperda Anti LGBT di Depok

oleh: Irwan M. Hidayana

Beberapa minggu terakhir ini wacana tentang Raperda Anti LGBT yang digagas oleh DPRD Kota Depok ramai diliput media daring. Raperda ini diklaim sudah mendapat persetujuan Mendagri dan semua fraksi dalam DPRD Kota Depok [1]. Salah satu alasan utama munculnya Raperda ini karena jumlah gay terus meningkat berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kota Depok[2]. Alasan lainnya adalah LGBT dipandang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua[3], sebagaimana diutarakan oleh salah satu anggota DPRD Kota Depok.

Raperda anti LGBT ini memperlihatkan cara berpikir yang moralistik serta klaim kebenaran. Argumen meningkatnya jumlah gay sehingga perlu peraturan untuk mengontrolnya merupakan sikap diskriminatif dan stigmatisasi pada kelompok tertentu. Secara tersirat, argumen ini juga menstigma kelompok gay sebagai orang dengan HIV dan AIDS. Padahal, siapapun rentan terinfeksi HIV apabila berperilaku seksual yang beresiko. Secara nasional, infeksi HIV pada kelompok heteroseksual lebih tinggi dari pada kelompok lainnya. Jelas Raperda ini berpotensi mendorong persekusi dan tindakan main hakim sendiri dari kelompok-kelompok tertentu di masyarakat mengingat persoalan penegakan hukum masih menjadi salah satu kelemahan dalam sistem hukum Indonesia.

Argumen bahwa LGBT bertentangan dengan Pancasila juga patut dipertanyakan. Keragaman manusia adalah hal yang inheren pada masyarakat Indonesia. Keragaman bukan semata etnis, agama, kelas sosial atau ras tetapi juga identitas gender dan seksualitas. Ketika LGBT dipandang melanggar norma agama maka yang dipertanyakan adalah mengapa mengedepankan cara-cara diskriminatif dan peminggiran terhadap kelompok tertentu. Bagaimana agama dapat membawa kemashalatan bagi manusia jika melakukan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap sesama manusia? Di mana sisi kemanusiaan dari agama? Apakah Raperda anti LGBT mencerminkan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab?

Masyarakat Cinta Depok[4] dan Persaudaraan Waria Depok (Perwade) telah melancarkan protes atas bergulirnya Raperda anti LGBT[5] ini. Mereka berpendapat bahwa Raperda ini bertentangan dengan prinsip HAM padahal Indonesia telah memiliki Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Perwade memprotes karena khawatir akan tindakan persekusi dari kelompok-kelompok intoleran terhadap transgender akan semakin meningkat. Pada akhirnya Raperda Anti LGBT memang harus ditolak karena justru bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945 yang menjamin kesetaraan warga negara Indonesia. Seperti John Stoltenberg mengatakan ‘And laws about sex have been especially unhelpful, for they tend to serve the interest of the powerful and betray those who are powerless’[6] (2000:137).


[1] https://www.viva.co.id/berita/metro/1168835-kajian-telah-lengkap-depok-segera-keluarkan-perda-anti-lgbt

[2] https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/22/ada-5791-gay-di-kota-depok-dprd-dorong-lahirnya-perda-anti-lgbt

[3] https://jabar.suara.com/read/2019/07/21/201555/depok-akan-rancang-perda-anti-lgbt-inisiatornya-partai-gerindra

[4] https://metro.tempo.co/read/1226702/raperda-anti-lgbt-ditolak-masyarakat-cinta-depok-bicara/full&view=ok

[5] https://www.merdeka.com/peristiwa/persatuan-waria-protes-rancangan-perda-anti-lgbt-di-depok.html

[6] Stoltenberg, J. (2000). Refusing to be a man. Essays on Sex and Justice. Revised edition. London: UC: Press.

Workshop Teori dan Metode Keragaman Gender dan Seksualitas

Gender dan seksualitas bukan merupakan suatu hal yang sifatnya statis, namun dinamis seiring dengan perubahan sosial yang terjadi. Para peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas juga perlu untuk memperbarui pengetahuan dan konseptualisai tentang hal ini, untuk dapat memahami dan menganalisis isu gender dan seksualitas pada masyarakat kita. Pada tanggal 5 dan 6 Maret 2019, kami mengadakan kegiatan Capacity Building mengenai Teori-Teori dan Metode Penelitian Keragaman Gender dan Seksualitas. Kegiatan pembelajaran pada hari pertama adalah diskusi mengenai SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identities and Expression, and Sexual Characteristics), mulai dari sejarah konsep dan gerakan sosial saat ini. 

Pada hari kedua diskusi dilanjutkan dengan kaitan antara SOGIESC dengan intersubjektivitas  dalam penelitian dan juga konstruksi pengetahuan dalam analisis dan penulisan. Kegiatan pembelajaran ini selain diikuti oleh peneliti Puska Gender dan Seksualitas juga diikuti oleh para mahasiswa dan peneliti dari  Puska lainnya di lingkungan FISIP yang sedang atau tertarik menggeluti isu gender dan seksualitas.

#HearMeToo Exhibition 2018

Dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2018, Aliansi KITASAMA dan para aktivis lainnya mengadakan pameran baju penyintas kekerasan seksual ‘Saat itu Aku…’ dan karya kolase #HearMeToo.

Pembukaan pameran dilakukan pada tanggal 27 November 2018 di Paviliun 28, Jakarta.

Pameran berlangsung selama 16 hari dari tanggal 25 November-10 Desember 2018.

On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Tulisan oleh Irwan M. Hidayana di The Conversation mengulas mengenai posisi identitas komunitas transgender dalam media di Indonesia. Dalam mengulas hal ini, Hidayana mengambil contoh bagaimana drama sinetron membayangkan dan membingkai posisi waria di dalam masyarakat. Hidayana mengulasnya dalam diskusi antara hak dan agama yang mana keduanya menjadi dasar penentu normalitas kehidupan seseorang.

The Conversation: On Indonesia TV, transgender people are made to repent