An Exercise in Agency

Pada bulan Juli 2019, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI melakukan riset operasional di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dengan KIT Royal Tropical Institute. Penelitian yang dilakukan membahas topik mengenai pengalaman orang muda dalam memaknai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta struktur dukungan yang ada untuk orang muda sehingga Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dapat terpenuhi. Penelitian dilakukan di Desa Limbangan dan Desa Cikelat, Sukabumi, dua desa yang merupakan desa intervensi dari program Yes I Do yang bertujuan untuk mengakhiri perkawinan anak, kehamilan remaja, dan sunat perempuan.

Laporan penelitian operasional “An Exercise in Agency” dapat diunduh di sini:

POLICY BRIEF – Kekerasan Seksual di Kampus: Pencegahan dan Penanganannya

Di Universitas Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 2018 melakukan penelitian tentang kekerasan seksual terhadap 177 responden mahasiswa UI. Sebanyak 9% responden mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seksual dan 21% menyatakan mengetahui adanya kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di lingkungan UI. Selain itu, HopeHelps, lembaga yang melakukan pendampingan mahasiswa korban tindak kekerasan seksual di UI, menyebutkan bahwa terdapat 44 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada lembaga ini sepanjang periode Februari 2019 – Maret 2020.

Tim dari Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI telah menyusun policy brief untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Dokumen dapat diunduh di sini.

On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Tulisan oleh Irwan M. Hidayana di The Conversation mengulas mengenai posisi identitas komunitas transgender dalam media di Indonesia. Dalam mengulas hal ini, Hidayana mengambil contoh bagaimana drama sinetron membayangkan dan membingkai posisi waria di dalam masyarakat. Hidayana mengulasnya dalam diskusi antara hak dan agama yang mana keduanya menjadi dasar penentu normalitas kehidupan seseorang.

The Conversation: On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc