#HearMeToo Exhibition 2018

Dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2018, Aliansi KITASAMA dan para aktivis lainnya mengadakan pameran baju penyintas kekerasan seksual ‘Saat itu Aku…’ dan karya kolase #HearMeToo.

Pembukaan pameran dilakukan pada tanggal 27 November 2018 di Paviliun 28, Jakarta.

Pameran berlangsung selama 16 hari dari tanggal 25 November-10 Desember 2018.

KTD dan akibatnya bagi remaja

Ketika Kehamilan Terjadi dan Akibatnya Terhadap Remaja

oleh

Endah Sulistyowati

Kehamilan tidak diinginkan atau disingkat menjadi KTD biasanya sering dianggap sebagai kehamilan yang terjadi akibat hubungan seks di luar ikatan perkawinan. Namun KTD bisa juga terjadi pada pasangan yang sudah menikah tetapi belum ingin memiliki anak atau justru sudah memiliki banyak anak. Selain itu, KTD juga sering terjadi pada korban perkosaan, terlepas dari status korban yang masih lajang ataupun sudah menikah. Dampak dari semakin tingginya aktivitas seksual pada kelompok remaja tanpa diikuti oleh pengetahuan mengenai reproduksi dan seksual, berperan dalam terjadinya kasus KTD. Data SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) 2012 menunjukkan 8% atau 6835 orang remaja laki-laki dan 0,7% atau 6018 orang remaja perempuan usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2013).

Kasus video yang merekam perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA pun semakin marak, kehendak untuk menyebarluaskan video perilaku seksual oleh remaja diduga disebabkan oleh adanya rasa haus atas sebuah pengakuan. Video-video yang beredar tersebut seolah juga menjadi bukti ‘kejantanan’ remaja laki-laki atau bukti ‘kedewasaan’ remaja perempuan untuk ditunjukkan ke teman-teman kelompoknya (peer group). Hubungan seks yang dilakukan para remaja biasanya diawali oleh rasa ingin tahu dan coba-coba, selain didorong oleh hasrat biologis dalam tubuh, ditambah rangsangan akibat menonton video porno, serta bisa juga disebabkan oleh tekanan teman sebaya (peer pressure). Untuk membuktikan bahwa dirinya bukan lah remaja ‘kuper’ alias kurang pergaulan, faktor tersebut merupakan dasar perlakuan kasar yang dilakukan remaja, seperti memaksa pacarnya berhubungan seksual dengan ancaman atau lebih jauh memaksa dengan kekerasan.

Ketika kehamilan terjadi, yang sering menjadi korban adalah remaja perempuan. Mulai dari dimarahi keluarga, dilecehkan/dikucilkan oleh teman, dikeluarkan dari sekolah, sampai dihujat oleh masyarakat. Sedangkan terkadang remaja laki-laki bebas melenggang pergi tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Saat kehamilan terjadi, pilihan yang biasanya diambil oleh remaja adalah aborsi atau MBA (Married by Accident) apabila gagal melakukan aborsi dan akhirnya terpaksa dinikahkan oleh keluarga untuk menutup aib jikalau si bayi lahir tanpa ayah. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksulitas (PKRS) membuat banyak remaja melakukan hubungan seks tanpa menyadari resiko yang terjadi sesudahnya. KTD menjadi salah satu bukti atas kurang/tidak adanya PKRS bagi remaja. Keadaan tersebut diperparah dengan upaya aborsi yang tidak aman melalui rekomendasi teman yang juga kurang/tidak paham soal kespro, entah melalui dukun beranak atau dilakukan sendiri dengan obat atau jamu-jamuan. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman itu seolah bukan hal yang besar bagi remaja tersebut. Hasil penelitian Simanjorang (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 15% remaja dari 2,3 juta perempuan melakukan aborsi yang berakibat pada tingginya AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia dalam EM Simarmata Ketika usaha aborsi mengalami kegagalan maka pilihan terakhir adalah menikah di usia dini.

Beberapa guru SMU/SMK di kota Bandung mengakui bahwa ada beberapa kasus KTD di sekolah mereka (Puska Genseks 2013) Dalam suatu kasus, siswi yang hamil tersebut akhirnya mengundurkan diri karena malu. Ada pula yang menyebutkan bahwa pihak sekolah tidak pernah mengeluarkan siswi yang hamil tetapi memang sudah ada surat perjanjian sejak awal bahwa siswa/siswi yang melanggar aturan sekolah (memakai narkoba, melakukan hubungan seks, KTD) akan mengundurkan diri. Dengan kata lain, dikeluarkan dari sekolah secara ‘halus’. Di sisi lain, ada juga guru menyebutkan bahwa siswi yang hamil bisa ikut ujian di rumah karena tidak mungkin datang ke sekolah dengan perut besar. Meskipun tidak ada aturan baku dari Kemendiknas yang menyebutkan bahwa siswi yang hamil harus dikeluarkan dari sekolah, diakui oleh beberapa guru bahwa masing-masing sekolah memiliki kebijakan tersendiri dalam menyikapi kasus KTD.

Pernyataan Bapak M.Nuh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayan, saat masih menjabat sebagai menteri pendidikan, mengenai siswi hamil agar diperbolehkan mengikuti ujian seolah menjadi ‘angin segar’ bagi remaja putri yang mengalami KTD. Meski menuai kritik dari berbagai pihak, pernyataan M. Nuh tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah upaya untuk memenuhi hak anak/remaja (terutama perempuan) dalam memperoleh pendidikan yang sering terabaikan karena masalah KTD. Lebih lanjut, persoalan KTD di Indonesia tidak hanya akan mempengaruhi AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) semata, secara luas, derajat keselamatan dan perkembangan sebuah generasi pun dipengaruhi oleh bagaimana Negara dan masyarakat melihat kesehatan reproduksi dan seksual remaja.

Editor: Denizy Wahyuadi

Photo: Sari Damar Ratri

Agama dan Pendidikan Kespro dan Seksual

Perspektif Agama dan Implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual

 Agama berperan penting dalam implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) di Indonesia. Di negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, pengajaran PKRS yang sesuai dengan ajaran agama (religiously appropriate) menjadi salah satu kriteria penting keberhasilan program di Indonesia. Hal ini seperti yang ditulis pula oleh Bannett (2007) dalam artikelnya yang berjudul “Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth”.

Dalam artikel yang ditulisnya, Bannett mencoba menjelaskan kondisi pendidikan seks di kalangan pemuda Indonesia yang multiperspektif dan tumpang tindih antara kesehatan, hak asasi manusia dan perspektif Islam. Ia juga memberikan argumen yang mendukung terkait penggunaan kurikulum berperspektif Islam sebagai kerangka pengembangan pendidikan seksual bagi kaum muda Muslim di Indonesia. Menurutnya, kesesuaian kerangka kerja yang berperspektif Islam ini juga menjadi perhatian dari para guru/ustad/ustadzah/ibu nyai/kyai di beberapa pondok pesantren atau madrasah yang ingin memberikan materi mengenai PKRS untuk para santrinya.

Berdasarkan data kajian penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2012-2013 mengenai “Advokasi Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Sekolah” yang dilakukan di beberapa Pondok Pesantren di wilayah Jombang, Banyuwangi, serta Lamongan, didapatkan hasil bahwa guru-guru setuju jika PKRS ini diberikan kepada para santri selama mengacu pada ajaran Agama Islam. Namun, terdapat beberapa catatan yang diberikan terkait implementasi program PKRS ini di tingkat pesantren.

Dalam hal ini, pengajaran substansi atau materi yang diajarkan terkait kespro dan seksual diperbolehkan, tetapi tata cara pengajarannya tetap disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan pesantren atau sesuai dengan ajaran Agama Islam. Di beberapa pesantren yang menjadi wilayah penelitian, diketahui bahwa sebenarnya Pondok Pesantren secara tidak langsung sudah mengajarkan PKRS kepada para santrinya melalui Ilmu Fiqih dan juga “Kitab Kuning”, seperti Risalatul Mahid, Qurratul Uyun dan Kitab kuning lainnya.

Meskipun adaptasi dengan norma agama merupakan hal yang penting, namun terdapat kekhawatiran dari kalangan organisasi masyarakat sipil bahwa PKRS yang diberikan hanya akan bersifat ‘normatif’ –hanya menekankan larangan – dari sudut pandang agama. Bila hanya diberikan melalui satu sudut pandang saja dan tanpa memahami realitas dan kebutuhan remaja dari aspek lainnya termasuk aspek kesehatan, PKRS yang disampaikan tetap akan membingungkan.

Kekhawatiran tersebut juga diafirmasi oleh Smerecnik et.al (2010). Dalam penelitiannya mengenai “An exploratory study of Muslim adolescents’ views on sexuality: Implication for sex education and prevention”, pendidikan seksualitas yang terlalu menekankan pada norma agama tanpa memperhatikan pandangan dari remaja cenderung untuk gagal dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan kespro dan seksual yang komprehensif dan tidak mendasarkan pada satu aspek tertentu saja menjadi penting untuk dilakukan. Hal tersebut terkait dengan pertimbangan pada aspek lain terkait berbagai dimensi seksualitas remaja yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menjalani seks berisiko atau tidak.

Adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, serta resiko sosial yang akan dihadapi perlu didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman yang dijalani oleh mereka sendiri. Karena berdasarkan penelitian ini, terdapat siswa yang telah mempraktikkan perilaku seks yang tidak terlindungi, akibatnya cukup banyak remaja saat ini yang sudah terkena IMS (Infeksi Menular Seksual) dan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) tanpa mereka tahu bagaimana cara mencegah atau mengatasinya.

Video oleh CNN diatas menunjukkan salah sedikit dari orang dewasa yang merasa mengenalkan pendidikan seks di usia dini adalah sesuatu yang sangat diperlukan. PKRS yang komperehensif tentu saja tidak semata-mata mengajarkan anak-anak ini tentang seks, melainkan mengetahui organ reproduksi mereka, menghormati tubuh sendiri dan orang lain, serta cara berelasi yang setara dengan orang lain. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang tidak mengerti bahwa seks tanpa pengetahuan yang memadai sama saja dengan perilaku berisiko lainnya seperti berkendara tanpa helm, berkendara saat mabuk dan bekerja tanpa istirahat.

Penulis: Diana Pakasi dan Reni Kartikawati

Penyunting: Gabriella Devi Benedicta dan Sari Damar Ratri

Web content: Sari Damar Ratri

Stop homofobia di Indonesia mulai sekarang

“Selama ini kita kenal keberagaman. Tetapi keberagaman yang kita kenal hanya suku, agama, ras, dan budaya. Padahal sebagai negara Indonesia juga punya keberagaman seksualitas,” Irwan M. Hidayana.

“Negara seharusnya mampu melindungi keberagaman itu. Jika ada peraturan yang justru mendiskriminasi kelompok tertentu, tidak hanya LGBT, mestinya peraturan itu dihapus dengan langkah hukum juga,” Irwan M. Hidayana

Jadi berhenti mendiskriminasi dan menyakiti! Stop Homofobia Sekarang.

Kompas.com: Stop Homofobia di Indonesia Mulai Sekarang

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, benarkah memicu seks berisiko?

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual merupakan topik yang ‘sensitif’. Kata sensitif tersebut menyatakan bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksual rentan untuk diperdebatkan dengan berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, jika dikaitkan dengan nilai masyarakat kita, bahwa ‘seks’ hanya boleh dilakukan di dalam ikatan perkawinan atau pernikahan yang sah, konsekuensinya, hal ini menjadikan diskusi dan penyebaran informasi mengenai seks menjadi tabu dan cenderung dikaburkan. Di sisi lain, sumber informasi seksual yang mudah di akses cenderung tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, materi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif penting untuk bisa diakses dan dipahami oleh remaja.

Kekhawatiran pemerintah, orang tua maupun pihak sekolah adalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) dianggap akan mendorong remaja berperilaku semakin ‘permisif’. Hal ini berangkat dari adanya anggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dapat mendorong keinginan remaja untuk melakukan seks pranikah yang cenderung berisiko. Padahal temuan hasil penelitian Baseline Study yang dilakukan oleh Puska Genseks di tahun 2012, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas justru dapat mengurangi dan mencegah perilaku seks berisiko di kalangan remaja. Selain itu, dengan tersedianya akses terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja lebih mampu menunda keinginannya untuk melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan temuan dalam Midline Study, Puska Genseks tahun 2013 di 23 sekolah menengah atas (SMA/MA/Sederajat) di delapan kota dan kabupaten di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Pontianak, Lampung, Semarang, Yogjakarta (Kulon Progo), Jombang, dan Banyuwangi didapatkan data bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) justru dapat mencegah perilaku siswa untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, yang ditunjukkan dengan persentase sebesar 88,7%. Sebanyak 94,5% temuan pada studi yang sama juga menunjukkan bahwa melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, siswa mengetahui dan menghindari bahaya penyakit menular seksual (PMS) bagi kesehatan reproduksi, seperti sifilis, gonore, HIV/AIDS. Tidak kalah penting juga ditunjukkan melalui persentase sebanyak 77,6% bahwa pendidikan kespro dan seksual memberikan kemampuan bagi siswa untuk dapat mengendalikan dorongan seksualnya.

Data ini didapatkan dari beberapa sekolah percontohan yang sudah menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual secara komprehensif kepada siswa/i sekolahnya baik melalui insersi pada mata pelajaran Biologi/IPA, Agama, Bimbingan Konseling/BP, serta Pendidikan jasmani dan olahraga (Penjaskesor). Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pun sesungguhnya bisa memanfaatkan ekstra kurikuler wajib di sekolahnya baik melalui PIK –R (Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja), Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lainnya.

Temuan penelitian di atas menjadi penting untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, orangtua dan pihak sekolah bahwa memberikan pengetahuan dan informasi yang benar, akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada remaja dapat berkontribusi pada penundaan perilaku seksual di kalangan remaja. Upaya pengentasan seks berisiko di kalangan remaja sudah saatnya melibatkan instansi pemerintah. Dorongan seksual merupakan hal yang wajar dan alamiah, penyediaan perangkat informasi yang memadai bagi remaja untuk bisa mengarahkan dorongan alamiah tersebut secara strategis dapat memanfaatkan lembaga pendidikan yakni sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang sah, sekolah bisa memfasilitasi dan mengawasi materi yang tepat bagi remaja. Hal ini tentu saja lebih baik, ketimbang remaja terjebak dalam informasi kesehatan reproduksi dan seksual yang tidak tepat seperti pada situs-situs yang tidak jelas sumber pemberitaannya.

Author: Reni Kartikawati

Editor: Denyzi Wahyuadi

Web Content and Editor: Sari Damar Ratri