An Exercise in Agency

Pada bulan Juli 2019, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI melakukan riset operasional di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dengan KIT Royal Tropical Institute. Penelitian yang dilakukan membahas topik mengenai pengalaman orang muda dalam memaknai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta struktur dukungan yang ada untuk orang muda sehingga Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dapat terpenuhi. Penelitian dilakukan di Desa Limbangan dan Desa Cikelat, Sukabumi, dua desa yang merupakan desa intervensi dari program Yes I Do yang bertujuan untuk mengakhiri perkawinan anak, kehamilan remaja, dan sunat perempuan.

Laporan penelitian operasional “An Exercise in Agency” dapat diunduh di sini:

Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc

Penelitian ‘Hak Seksual Perempuan dan HIV/AIDS’

wanita_ lebih rentan tertular HIV

Penelitian ini adalah kerjasama antara Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang didukung oleh HCPI pada tahun 2009. Topik penelitian ini adalah hak seksual perempuan muda dalam kaitannya dengan HIV/AIDS.

Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan upaya PMTCT (prevention mother-to-child transmission) atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Penelitian ini berada dalam ranah Prong 1 PMTCT yang memfokuskan pada perempuan muda yang berusia 15-24 tahun sebagai bagian dari kelompok perempuan usia reproduktif.

Tujuan penelitian ini adalah 1) Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hak-hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS; 2) Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber pengetahuannya; 3) Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak seksualnya dan mengurangi resiko seksual.

Penelitian mengambil lokasi di kota Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Di masing-masing kota penentuan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi, adanya penduduk asli dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota.

Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif, maka studi ini lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. FGD dan wawancara mendalam dilakukan terhadap perempuan yang lajang dan menikah, sedangkan wawancara dengan kuesioner dilakukan terhadap 75 responden di setiap kotanya. Di tingkat RW, kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap RT. Selanjutnya sampel ditarik secara stratifikasi non proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya responden dipilih secara acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total untuk responden menikah. Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja.