Surat Pernyataan Sikap terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual belum menjadi prioritas bagi para pemangku kebijakan di tingkat legislatif. Dengan semakin banyaknya korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak akhir-akhir ini maka hal yang paling mendesak adalah mendorong RUU ini sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2014, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.[i] Sementara itu menurut Pusat Data dan Informasi (Pusdatin Komnas Anak), pada tahun 2013, terdapat 3.339 kasus pelanggaran hak anak, sebanyak 54% di antaranya adalah kasus kejahatan seksual. Pada tahun 2014 kasus tersebut meningkat menjadi 4.654 kasus yang 52% di antaranya adalah kekerasan seksual.[ii]

Kami melihat bahwa, selama ini basis hukum atau perlindungan hukum yang ada mengenai kekerasan seksual belum memadai untuk memberikan rehabilitasi dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Dengan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, korban kekerasan seksual mampu mendapatkan layanan pengaduan dan peluang mendapatkan keadilan atas kasus yang menimpanya. Selama ini masyarakat tidak memiliki perangkat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sehingga masyarakat cenderung pasif (mendiamkan, membiarkan, hingga menyalahkan) korban kekerasan seksual. RUU ini juga membuka peluang bagi masyarakat sebagai kolektif untuk mengadukan dan melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual yang umumnya menjadi persoalan personal dan/atau persoalan keluarga kini melibatkan kolektif masyarakat. Beban yang ditanggung korban dan keluarga, melalui RUU ini dibagi secara merata menjadi tanggung jawab bersama anggota masyarakat di sekitar mereka. Lebih dalam lagi, dengan disahkannya RUU ini, merupakan perwujudan perlindungan terhadap tubuh perempuan dan anak yang selama ini diabaikan oleh Negara.

Meski demikian, kami melihat masih ada kelemahan dalam RUU Penghapusan Kekerasan ini, khususnya dalam perumusan sanksi pidana. Lebih lanjut, kami melihat perlunya upaya peninjauan ulang terhadap batas minimum pidana penjara dan waktu rehabilitasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Kami berpendapat, rancangan RUU ini sepatutnya menentukan batas minimum sanksi pidana yang cukup tinggi termasuk juga dalam menentukan batas minimal rehabilitasi perlu ditetapkan dengan jelas dan tegas.

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas pada prinsipnya menyatakan dukungan penuh terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk masuk sebagai prioritas dalam Prolegnas 2016 mengingat penting dan strategisnya RUU ini. RUU ini akan menjadi payung hukum yang komprehensif dalam upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi berbagai kasus kekerasan seksual. Namun, kami mendorong masih perlunya perhatian lebih serius dalam perumusan, penyempurnaan RUU ini sebelum disahkan sebagai UU. Adanya UU Perhapusan Kekerasan Seksual merupakan wujud nyata dari kewajiban konstitusional negara, sebagaimana pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 karena setiap warga negara memiliki hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. Bagaimanapun UU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan instrumen untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

[i]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151125_indonesia_kekerasan_seksual_inferioritas, diakses pada tanggal 5 Mei 2016, pukul 18:15 WIB.

[ii]http://www.mediaindonesia.com/news/read/28188/kejahatan-luar-biasa-terhadap-anak/2016-02-11, diakses pada tanggal 5 Mei 2016, pukul 18:10 WIB.