Indeks Penerimaan atas Perkawinan Anak di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Fenomena perkawinan anak di Indonesia berlangsung dengan tingkat yang berbeda-beda berdasarkan wilayah. Sekalipun tingkat pendidikan anak perempuan dan laki-laki terus meningkat, namun praktik perkawinan anak masih mudah ditemukan di perdesaan dan perkotaan. Ada sejumlah faktor lain yang mendorong bertahannya praktik perkawinan anak, seperti kemiskinan, agama, adat, dan seks pranikah. Akibatnya kehamilan usia anak pun tidak terhindarkan yang sesungguhnya membawa akibat jangka panjang bagi kesehatan anak perempuan maupun bayi yang dilahirkannya.

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI melakukan survei terhadap 1.534 remaja usia 15-24 tahun yang terdiri dari 1.157 responden perempuan dan 377 responden laki-laki di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi tahun 2016 lalu.[i] Berdasarkan hasil survei, terdapat 15.4% responden perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun dan 12.1% responden perempuan yang menikah sebelum usia 16 tahun. Dibandingkan dengan perempuan, jumlah laki-laki yang menikah di bawah 18 tahun hanya sebesar 1.1%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa perkawinan pada anak perempuan di bawah 18 tahun lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki pada rentang usia yang sama, walaupun dengan persentase sampel yang berbeda antara responden perempuan dan laki-laki.

Berdasarkan data BP3AKB Provinsi NTB 2015, terdapat 38.37% perempuan yang menikah pertama di usia 10-19 tahun. Sedangkan data survei di Kabupaten Lombok Barat menunjukkan terdapat 32% responden  perempuan yang menikah pertama kali di bawah usia 17 tahun. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi, terdapat 20.2% responden perempuan yang menikah di usia di bawah 17 tahun, sedangkan terdapat 7.7% responden laki-laki yang sudah menikah di Kabupaten Sukabumi.

Pilihan untuk menikah di usia anak ini sangat dipengaruhi bagaimana persepsi yang terbentuk terhadap perkawinan di usia anak ini, apakah hal tersebut dapat diterima atau tidak, baik di tataran individual ataupun komunitas. Dalam studi ini, peneliti membuat indeks penerimaan (acceptability index) atas perkawinan anak yang dibagi ke dalam 7 kategori, yaitu sangat rendah penerimaan terhadap perkawinan anak, rendah, agak rendah, netral, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, mayoritas responden memiliki penerimaan yang agak tinggi terhadap perkawinan anak (61%), sedangkan 32% responden lainnya merasa netral terhadap perkawinan anak. Indeks ini juga menunjukkan bahwa tidak ada responden yang keberatan terhadap perkawinan anak.

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin responden, maka persentase penerimaan responden perempuan terhadap perkawinan anak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan responden laki-laki (63% : 54,4%). Sedangkan jika dilihat berdasarkan wilayah, maka responden yang berada di Kabupaten Sukabumi memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap perkawinan anak dibandingkan dengan responden yang berada di Kabupaten Lombok Barat (63,6%, 58%).

[i] Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. (2016). Survei Baseline ‘Yes I Do Alliance’ (YID) : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Anak, Kehamilan Remaja dan Sunat Perempuan Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi, Indonesia.

 

Perkawinan Anak : Antara Harapan dan Realitas

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Berapakah usia yang dianggap ideal untuk menikah? Pertanyaan mengenai hal ini kerap kali ditanyakan dan menjadi problematika tersendiri bila ‘tidak dapat dipenuhi’. Anggapan tentang usia ideal untuk menikah ini dapat berbeda, tergantung konteks di masing-masing wilayah. Berdasarkan hasil studi kuantitatif yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2016 terhadap 1.534 remaja usia 15-24 tahun mengenai perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi[i], diketahui bahwa secara umum, usia yang dianggap ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 24 tahun. Secara lebih spesifik, usia rata-rata yang diinginkan untuk menikah pada perempuan di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi adalah 23 tahun. Sementara itu, pada laki-laki usia rata-rata yang diinginkan untuk menikah lebih tua dibandingkan pada perempuan, yaitu 24 tahun di Lombok Barat dan 25 tahun di Sukabumi.

Pandangan tentang usia ideal di angka di atas 20 tahun tersebut ternyata tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada. Hasil penelitian Plan Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM tahun 2011 tentang ‘Praktik Pernikahan Dini di Indonesia’ di 8 wilayah: Indramayu, Grobogan, Rembang, Tabanan, Dompu, Sikka, Lembata dan Timur Tengah Selatan (TTS) menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah di seluruh wilayah penelitian adalah 16 tahun.[ii] Menurut hasil survei penelitian Puska GenSeks FISIP UI, usia rata-rata menikah responden Kabupaten Lombok Barat maupun Sukabumi adalah 18 tahun.

Masyarakat di kedua wilayah studi menanggap bahwa waktu menikah sebetulnya terkait erat dengan ‘jodoh’ masing-masing individu. Setiap orang akan menikah jika sudah bertemu dengan jodohnya. Pandangan mengenai jodoh ini yang menjadi dasar kuat bagi masyarakat di kedua wilayah studi untuk memutuskan waktu menikah. Bila seorang perempuan bertemu laki-laki yang dianggap jodohnya, maka saat itu merupakan saat yang tepat untuk menikah, termasuk dalam usia yang masih sangat muda.

Terkait dengan pandangan tentang usia menikah pada perempuan dan laki-laki di kedua wilayah, terdapat juga batasan usia yang dianggap terlalu muda ataupun terlambat untuk menikah.

Usia terlambat menikahSecara umum, usia rata-rata yang dianggap terlalu muda untuk menikah adalah 15.5 tahun sedangkan usia rata-rata yang dianggap terlambat menikah bagi perempuan adalah 29 tahun dan laki-laki adalah 34 tahun.Di Kabupaten Lombok Barat, usia rata-rata perempuan dianggap telat untuk menikah adalah 30 tahun, sementara untuk laki-lakinya 34 tahun. Tidak jauh berbeda dengan Sukabumi, rata-rata perempuan dianggap terlambat menikah jika usianya mencapai 29 tahun dan laki-lakinya 35 tahun.

Walaupun kepercayaan masyarakat di kedua wilayah studi terhadap jodoh sangat besar, namun di dalam masyarakat sendiri memiliki pandangan terhadap usia yang dianggap tepat untuk menikah bagi perempuan maupun laki-laki. Jika seorang perempuan yang dianggap sudah ‘pantas’ menikah namun belum juga menikah, ia akan dianggap sebagai ‘perawan tua’.

Di Lombok Barat, istilah ‘perawan tua’ ini disebut juga ‘mosot’ dalam bahasa Sasak. Menjadi ‘mosot’ adalah momok yang ditakuti, baik oleh remaja maupun orang tua sehingga menikah di usia anak dianggap lebih baik daripada menikahpada usia yang dianggap terlalu tua/terlambat untuk menikah untuk menghindari pembicaraan di antara tetangga maupun kerabat. Namun, ada perubahan pandangan terkait usia perkawinan ini.  Dalam FGD remaja perempuan di Lombok Barat maupun Sukabumi, usia yang dianggap ideal untuk menikah bagi perempuan adalah antara 17-24 tahun.  Perempuan yang menempuh pendidikan tinggi di universitas dan belum menikah padahal usianya melampaui usia yang dianggap ideal untuk menikah dianggap bukan ‘perawan tua’. Pandangan ini tidak berlaku bagi perempuan yang belum menikah di usia yang dianggap ideal untuk menikah dan tidak melanjutkan studinya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pandangan tentang ‘perawan tua’ inilah yang kadang dianggap sebagai tekanan untuk menikah dari masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara pandangan ideal terkait usia untuk menikah di atas 20 tahun bagi perempuan dan laki-laki ternyata berbeda dengan realitas yang ditemui, yaitu 18 tahun.

Keterangan foto : tradisi nyongkolan (arak-arakan pada prosesi pernikahan) dalam adat Sasak di Kabupaten Lombok Barat

[i] Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. (2016). Survei Baseline ‘Yes I Do Alliance’ (YID) : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Anak, Kehamilan Remaja dan Sunat Perempuan Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi, Indonesia.

[ii] Plan International & CPPS GMU. (2011). Child marriage in Indonesia. Jakarta, Indonesia: Plan International.