16HAKTP 2017

Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI membuat berbagai media kampanye dalam bentuk poster yang dipasang di sepanjang koridor FISIP UI untuk menumbuhkan kesadaran berbagai elemen FISIP UI untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Pendidikan sebagai Alternatif Pencegahan Perkawinan Anak

Dapatkah kamu percaya bahwa 375 anak perempuan berusia dibawah 18 tahun menikah setiap harinya di Indonesia?

Anak perempuan yang menyelesaikan SMA berpeluang empat kali lebih rendah untuk menikah sebelum usia 18 tahun.

U-Reporters beranggapan bahwa pemerintah perlu meningkatkan pendidikan agar anak perempuan dapat tetap bersekolah untuk mencegah perkawinan usia anak.

Menyelesaikan SMA dan universitas memberikan anak perempuan lebih banyak pilihan bagi masa depan mereka.

Pendidikan membantu anak perempuan untuk menghindari perkawinan usia anak. Semua anak perempuan mempunyai hak untuk tetap bersekolah dan menyelesaikan pendidikan mereka.

#IDG2017 #girls #AKSI #PuskaGenSeksFISIPUI #UNICEF

International Day of the Girl (IDG) 2017

Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional 2017, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI sebagai anggota Jaringan AKSI (Perempuan Remaja, Aktif, Berdaya, dan Inspiratif) bekerjasama dengan PLAN International Indonesia  mengadakan kegiatan bersama ‘Sehari Jadi Menteri’. Kegiatan yang diikuti oleh anak-anak usia 15-19 tahun perwakilan dari seluruh wilayah Indonesia ini diadakan pada tanggal 7-11 Oktober 2017. Terdapat beberapa rangkaian kegiatan dalam acara ini, yaitu leadership camp, hearing dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) serta kegiatan puncak sehari menjadi menteri di KPP&PA.

Kegiatan ini bertujuan agar anak-anak Indonesia yang ‘tidak terlihat’ menjadi ‘lebih terlihat’ dengan berkontribusi menyuarakan isu perkawinan usia anak di komunitasnya. Ketika suara mereka didengar oleh para pembuat keputusan, mereka juga dapat menginspirasi orang lain untuk mendukung anak perempuan dimanapun dapat belajar, mempimpin, memutuskan, dan berkembang.

Video teaser kegiatan, dapat diunduh melalui tautan berikut :

https://drive.google.com/file/d/0ByHcuxZBR4iZOV8zRXdwVmN2bms/view

 

 

Trans Laki-Laki : Identitas Gender dan Dunia Kerja

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Diskursus mengenai isu seks, tubuh dan gender di dunia kerja semakin berkembang dan kompleks dari waktu ke waktu. Persoalan berkembang dari ketidaksetaraan antara perempuan (cisfemale) dan laki-laki (cismale)[1] yang bersifat biner, melainkan juga melibatkan juga representasi identitas lainnya, yaitu kelompok homoseksual dan transgender[2]. Di Indonesia kita mengenal dua kategorisasi transgender, yaitu waria dan trans laki-laki[3]. Dibandingkan dengan trans laki-laki, di Indonesia waria dianggap lebih dominan dalam menunjukan visibilitasnya. Tidak jarang, waria mengalami berbagai persoalan dalam dunia kerja terkait identitas dan ekspresi gender mereka. Waria, dalam hal ini mendapat diskriminasi dalam mencari pekerjaan, terutama dalam sektor formal seperti dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan bahkan salon menengah atas yang dianggap ‘aman’ untuk mereka.[4]

Tidak berbeda dengan waria, trans laki-laki mengalami berbagai dilema dan persoalan terkait identitas gender baru yang dibentuknya dalam dunia kerja. Memilih untuk menjadi ‘berbeda’ sebagai konsekuensi atas transisi fisik/medis maupun sosial[5] yang dilakukan berdampak terhadap pilihan kerja trans laki-laki. Berbagai persoalan dapat muncul terkait dengan identitas baru yang dipilih sebagai seorang trans laki-laki ketika mereka memasuki dunia kerja yang memiliki mekanisme dan aturan tersendiri. Melalui wawancara mendalam yang dilakukan terhadap enam informan kunci trans laki-laki muda usia 18-24 tahun di wilayah Jakarta dan Bekasi, peneliti mencoba mengidentifikasi dan menemukenali berbagai persoalan terkait visibilitas trans laki-laki muda atas identitas gendernya di dunia kerja.

Dalam pasal 5 UU Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, diatur hak bagi bagi setiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dengan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Pasal 32 dalam UU tersebut juga mengatur dengan jelas mengenai penempatan tenaga kerja yang dilaksanan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Dalam Konvensi ILO nomor 111 tahun 1958 dengan jelas disebutkan larangan diskriminasi terhadap jabatan dan pekerjaan (artinya setiap pembedaan, pengabaian atau preferensi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, aliran politik, pencabutan kewarganegaraan atau asal muasal yang mengakibatkan lemahnya atau batalnya untuk memperoleh kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pelatihan, akses ke pekerjaan dan atau jabatan tertentu, keamanan dan kondisi terkait dengan pekerjaan).[6]

Identitas gender yang diyakini sebagai trans laki-laki memberikan pilihan untuk menunjukkan visibilitas mereka melalui ekspresi gender, baik secara terbuka maupun tertutup. Ekspresi gender yang terbuka dapat ditunjukkan melalui transisi, baik secara sosial maupun fisik. Namun, hal ini ternyata menimbulkan dilema tersendiri ketika mereka dengan terbuka menunjukkan visibilitas atas ekspresi gender mereka di dunia kerja. Persolan yang umumnya dihadapi oleh trans laki-laki muda di dunia kerja terkait dengan isu registrasi diri. Indonesia adalah salah satu negara yang dengan spesifik mencantumkan informasi atas jenis kelamin biner (perempuan dan laki-laki) dalam KTP sebagai standar informasi diri.

Negasi atas pemberian identitas gender sesuai yang tertera dalam kartu identitas diri mereka membuat salah satu informan akhirnya melakukan perubahan data diri secara ilegal (dari jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki). Negasi lain yang dilakukan adalah dengan menunjukkan ekspresi gender mereka sebagai laki-laki lewat penampilan dan pakaian. Hal ini menimbulkan masalah karena adanya anggapan ketidaksesuaian antara penampilan dengan data jenis kelamin yang tercantum di dalam KTP mereka. Trans laki-laki yang berpenampilan maskulin dengan kemeja, celana panjang, rambut pendek, kumis maupun jenggot serta bersuara berat menemui masalah ketika pihak perusahaan menemukan adanya perbedaan antara ekspektasi dan realitas yang tertera dalam data diri mereka di KTP sebagai perempuan.

Pakaian seperti kemeja, jas maupun celana panjang yang digunakan trans laki-laki adalah bentuk komunikasi non verbal yang digunakan untuk merepresentasi diri sebagai ‘laki-laki’. Konsepsi tubuh yang terkait dengan pakaian dapat dianggap sebagai identitas ganda signifikan, baik untuk pengguna dan untuk orang-orang yang berinteraksi dengan pengguna. Tubuh menempati posisi kunci dalam unit dasar representasi dalam karya Claude Lévi-Strauss, dimana tubuh adalah konstruksi simbolis.[7] Tubuh dibentuk dan dikendalikan oleh masyarakat. Shiling dalam bukunya The Body and Social Theory, mengungkapkan pandangan Foucault dan Goffman pengaturan atas tubuh oleh struktur sosial yang berada di luar jangkauan diri/individu.[8]

Tubuh media ekspresi diri, yaitu sarana untuk bebas mengekspresikan semua yang ada di dirinya sendiri, apakah dalam bentuk perasaan, pikiran maupun ide-ide. Pilihan yang diambil untuk melakukan transisi, baik secara sosial maupun fisik oleh trans laki-laki adalah ekspresi tubuh yang seharusnya dimiliki oleh tubuh yang otonom. Namun, nyatanya masyarakat memiliki mekanismenya sendiri untuk mengatur tubuh. Tubuh privat tidak lagi menjadi tubuh yang otonom, namun menjadi tubuh yang terikat pada aturan dan sistem nilai yang telah terbentuk sebelumnya. Gail Weiss menekankan tentang identitas tubuh yang membedakan seseorang atau sekelompok orang lain. Ia juga menjelaskan tentang gagasan otonomi tubuh sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol tubuh mereka.[9]

Kebebasan tubuh yang otonom nyatanya menjadi gagasan yang probematis; di satu sisi, itu adalah hak mutlak bagi individu, tetapi di sisi lain kita tidak pernah mengetahui apakah setiap individu dapat benar-benar mengaksesnya. Namun, dalam masyarakat yang relatif komunal, arti ‘tubuh’ tidak dapat berdiri sendiri. Sedangkan dalam masyarakat individualistis, saklar tubuh, menandai batas-batas individu, yang adalah untuk mengatakan di mana dimulai dan berakhir kehadiran seorang individu.[10]

Tanggapan perusahaan terkait hal ini ditanggapi secara berbeda oleh trans laki-laki muda. Memilih untuk menjalani kerja di bidang informal akhirnya dipilih oleh beberapa informan sebagai bentuk negosiasi atas pilihan mereka untuk mempertahankan penampilannya yang maskulin. Namun, pilihan untuk tidak melakukan transisi fisik juga akhirnya diambil oleh informan lainnya sebagai pilihan rasional untuk tetap diterima bekerja di bidang pekerjaan yang ia minati. Di Indonesia, adanya aturan hukum ketenagakerjaan yang dengan jelas melarang praktik diskriminasi atas dasar apapun masih perlu dipertanyakan karena identitas gender ternyata masih menjadi dasar terjadinya diskriminasi dan ketidaksetaraan seksual. Oposisi biner yang berbasis konstruksi sosial masih menjadi dasar kuat yang menentukan status dan peran seseorang dalam dunia kerja.

 

[1] Cisfemale dan cismale (cis-gender) menjelaskan adanya keselarasan antara seks pada saat dilahirkan dengan identitas gender yang mereka yakini. Cisfemale adalah seseorang yang terlahir perempuan dan meyakini bahwa identitas gendernya juga perempuan sedangkan cismale adalah seseorang yang terlahir laki-laki dan meyakini bahwa identitas gendernya juga adalah laki-laki.

[2] Transgender pada umumnya didefinisikan sebagai individu yang dengan sengaja menolak penetapan gender yang diberikan pada saat lahir. Kelompok transgender adalah transseksual, namun melingkupi kelompok yang dapat lebih luas dari definisi ini. Catherine Connell, 2010, “Doing, Undoing or Redoing Gender? Learning from the Workplace Experience of Trangender People”, Gender and Society, Vol 24, 1, p. 33.

[3] Terminologi yang digunakan untuk menunjuk trans yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki (misalnya: seseorang yang terlahir sebagai perempuan namun mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki). Bahasanya lain yang digunakan adalah FTM (female to male). Health Policy Project, Asia Pacific Transgender Network, United Nation Development Programme. 2015. Blueprint for the Provision of Comprehensive Care for Trans People and Trans Communities in Asia and the Pacific. Washington, DC: Futures Group, Health Policy Project.

[4] Hidup sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia , Tinjauan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), diakses dari http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%2027%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf

[5] Dalam wawancara yang dilakukan, informan penulisan ini mendefinisikan transisi sebagai proses ‘penegasan’ identitas mereka sebagai laki-laki. Transisi dapat dilakukan dalam bentuk transisi sosial, yaitu tidak melakukan penegasan fisik namun mengubah penampilan seperti laki-laki dan transisi fisik/medis, yaitu melakukan penegasan fisik melalui tindakan medis berupa HRT (Hormone Replacement Therapy). HRT adalah terapi yang dilakukan untuk meningkatkan kadar hormon testosteron dan menekan unsur hormon estrogen dalam tubuh.

[6] Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Kantor Perburuhan Internasional, diakses dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_122045.pdf

[7] David Le Breton, La sociologie du corps, Paris, Presses Universitaires de France, 2002, p. 37.

[8] Chris Shiling, The Body and Social Theory, London, Sage Publication, p. 71.

[9] Gail Weis, 2009, “Intertwined Identities: Challenges to Bodily Autonomy”. Perspectives: International Postgraduate Journal of Philosophy, 2 (1) : 22-37.

[10] Le Breton, Loc.Cit., p. 34.

Selamat Idul Fitri 1438 H

Seluruh keluarga besar Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI mengucapkan, selamat hari raya Idul Fitri 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Sa ra so : Antara Tradisi Sunat Perempuan dan Kemampuan Menikah (Marriageability) di Kabupaten Bima

Ilustrasi : Retno Aji Prasetyo

Oleh : Reni Kartikawati

Sejak dibuatnya surat pernyataan bersama oleh WHO, UNICEF dan UNFPA pada tahun 1997 tentang implikasi praktik FGM (Female Genital Mutilation) terkait isu kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia, sunat pada anak perempuan mendapatkan perhatian khusus dari dunia internasional.[1] Menurut WHO, praktik sunat perempuan tersebut dinilai berbahaya bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikologis.

Di dunia, bahkan di Indonesia, praktik sunat perempuan dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Tulisan ini secara khusus akan membahas praktik sunat perempuan di Kabupaten Bima, NTB yang memiliki hubungan dengan pandangan terhadap perkawinan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013[2], NTB memiliki angka sunat perempuan yang cukup tinggi, yaitu antara 60% hingga 70% pada anak umur 0-11 tahun. Dalam hal ini, praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bima didasari oleh sistem adat yang cukup kuat dan disandarkan pada ajaran agama Islam yang menjadi agama mayoritas (99,6%).[3] Penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2015 mengenai sunat perempuan di Kabupaten Bima, khususnya di Desa Punti, Kecamatan Soromandi melihat praktik sunat perempuan yang dilakukan sebagai bagian dari adat/tradisi yang dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat adat Mbojo yang beragama Islam.

Secara umum, upacara sunat dalam adat Mbojo disebut upacara suna ro ndoso (suna = sunat, ndoso = memotong atau meratakan gigi secara simbolis sebelum sunat). Upacara suna ro ndoso dilakukan ketika anak berumur 5-7 tahun bagi laki-laki, dan 2-4 tahun bagi anak perempuan, walaupun dimungkinkan dilakukan pada anak perempuan dengan usia yang lebih tua. Hal ini ditemui dalam penelitian dimana terdapat anak perempuan yang disunat berusia 12 tahun serta perempuan mualaf ketika dewasa tetap disunat. Pada praktiknya, sunat perempuan tersebut hanya boleh dilakukan oleh seorang dukun sunat atau disebut sebagai “sando” dalam bahasa Mbojo. Seorang sando umumnya adalah orang yang memiliki pemahaman agama serta adat Mbojo yang diperolehnya secara turun temurun.

Terdapat tiga tahapan dalam praktik sunat perempuan (sa ra so) yang dilakukan di Kabupaten Bima, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan acara setelah sunat perempuan. Dalam wawancara dan diskusi dengan tokoh adat, sando dan para ibu yang menyunatkan anak perempuannya di Desa Punti, terdapat 3 tahap yang diidentifikasi menjadi bagian dari praktik sunat perempuan dalam adat Mbojo,

Pertama, tahap persiapan. Orang tua anak perempuan yang ingin menyunatkan anaknya melakukan pengumuman seminggu sebelum pelaksanaan sunat dilakukan. Selain itu, mereka akan melakukan berbagai persiapan adat, seperti menyediakan sesajian atau soji, menyiapkan baju adat, dan kesenian musik atau pantun untuk ditampilkan pada hari pelaksanaan acara sunat atau sa ra so berlangsung. Semua proses yang dilakukan memiliki nilai dan makna sendiri bagi masyarakat suku Mbojo.

Kedua, tahap pelaksanaan. Setelah masyarakat atau tamu undangan hadir dalam acara sunat perempuan yang akan dilakukan, termasuk dukun sunat, tokoh adat, dan lainnya, maka anak perempuan yang akan disunat disucikan terlebih dahulu dengan mandi dan berwudhu. Menurut salah seorang pengurus adat di Kecamatan Donggo, tujuan penyucian tersebut adalah untuk menghindari berbagai penyakit/sebagai bentuk tolak bala. Setelah itu, prosesi sunat dilakukan, seorang sando menyiapkan beberapa peralatan, mulai dari benang putih, enam lembar kain putih, bantalan duduk, kapas, lilin, silet, kunyit, uang logam, priuk, air, dan berbagai macam bunga. Silet adalah alat yang digunakan untuk melakukan sunat perempuan di Kabupaten Bima. Sebelum adanya silet, jaman dahulu proses penyunatan dilakukan dengan menggunakan sembilu bamboo yang tajam.

Saat prosesi sunat mulai dilakukan, sando melakukan ritual doa dan salawatan untuk keselamatan si anak. Setelah itu, anak perempuan yang akan disunat duduk di atas bantal yang telah dilapisi enam lembar tumpukan kain putih sambil didampingi atau dipegang oleh ibu atau saudara perempuan yang masih memiliki hubungan keluarga. Selanjutnya prosesi sunat dilakukan dengan memotong bagian ujung klitoris atau dalam bahasa daerahnya disebut isi noi yang diletakkan di atas koin yang telah dilapisi kunyit dan kapas dengan menggunakan silet. Setelah selesai, ujung klitoris atau isi noi dibungkus memakai kapas dan diberikan kepada pihak keluarga untuk dikuburkan atau ditanam di tanah dengan maksud ‘semua yang kotor akan kembali ke tanah’. Hal ini diungkapkan oleh sando dan juga ibu si anak.

Ketiga, tahap setelah prosesi sunat. Setelah disunat, anak perempuan tersebut dimandikan dengan air pada periuk yang telah disiapkan sebelumnya diiringi dengan bacaan doa-doa. Menurut kepercayaan masyarakat Bima, praktik ini bertujuan untuk menurunkan nafsu anak tersebut. Terkait prosesi pemandian sunat, ada yang memang melakukan di awal dan ada pula yang melakukan di akhir prosesi sunat. Selanjutnya, setelah prosesi sunat selesai, barulah makanan atau nasi tumpeng (dalam bahasa Bima disebut nasi sumbu) dihidangkan untuk dimakan bersama-sama para undangan.

Perayaan sunat pada anak perempuan tersebut ditujukan sebagai tanda kepada keluarga maupun komunitas bahwa si anak perempuan benar sudah disunat sehingga ketika sudah dewasa dapat dinikahkan. Jika si anak belum disunat, maka ia tidak dapat dinikahkan. Masyarakat Bima memiliki keyakinan bahwa anak yang belum disunat akan kesulitan untuk menemukan jodohnya karena tidak ada yang mau menikahi perempuan yang belum disunat. Atau jikapun ia menikah, akan terjadi bencana pada anak/keluarganya kelak. Salah satu pengurus adat Kecamatan Donggo menjelaskan hal tersebut, “Kalau perempuan kan memang sudah sunah menurut agama, tapi kalau menurut adat kita diwajibkan, kalau perempuan tidak disunat itu akan menjadi boomerang di masyarakat artinya seolah-olah belum masuk Islam walaupun itu hanya adat, jadi nanti kalau menikah tidak sah perkawinannya. Kalau perempuan tidak disunat akan menjadi aib keluarga. Makanya kalau dari budaya kita wajib” (Wawancara Tokoh Adat Kabupaten Bima, 9 Februari 2015).[4] Perdebatan mengenai sunat perempuan ini hampir tidak ditemui karena praktik ini sudah dianggap sebagai bagian dari tradisi/adat yang dilakukan secara turun-temurun.

Editor : Gabriella Devi Benedicta

 

[1] http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43839/1/9789241596442_eng.pdf

[2] http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/RKD_dalam_angka_nonkuning.pdf

[3] bappeda.ntbprov.go.id

[4] Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. 2015. Kajian Komprehensif Sunat Perempuan di Indonesia.

‘Tesuci’, Praktik Sunat Perempuan dalam Suku Sasak

Foto : kepeng bolong yang digunakan dalam tesuci

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Di Indonesia, sunat perempuan masih menjadi praktik yang dilakukan di berbagai wilayah. Praktik ini dilakukan dengan metode yang berbeda-beda. Population Council tahun 2003 pernah melakukan penelitian tentang  sunat perempuan di beberapa daerah seperti Padang, Banten, Madura, Gorontalo, Makassar, Kutai Kartanegara, Yogyakarta, Lombok, dan Sukabumi. Studi menunjukkan variasi sunat perempuan yang dilakukan oleh praktisi tradisional seperti menusuk, menggores, dan gesekan, sementara penyedia layanan kesehatan terlatih  cenderung untuk melakukan pengangkatan sebagian klitoris dan/atau preputium.[1]

Di Kabupaten Lombok Barat, NTB, tradisi sunat perempuan juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya sejak dulu. Sunat pada anak perempuan, seperti halnya pada anak laki-laki menjadi praktik yang melekat dengan nilai-nilai Islami. Walaupun ada perbedaan tata cara penyunatan antara anak laki-laki dan perempuan, khitan/sunat pada keduanya dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Sasak sebagai kewajiban yang harus dilakukan menurut pandangan agama Islam.

Jika pada anak laki-laki, sunat disebut ‘besunat’ dan dilakukan pada usia menjelang akil baliq, sunat pada anak perempuan disebut dengan ‘tesuci’ atau ‘tesucian’ dalam bahasa Sasak. Tujuan tesuci ini adalah untuk menyucikan diri anak perempuan supaya ibadah sholat yang akan dilakukannya sah nantinya serta untuk menekan hasrat seksual perempuan ; supaya perempuan tidak menjadi ‘belang’ nantinya.

Sunat perempuan ini pada umumnya dilakukan pada waktu bayi setelah ia dipotong tali pusatnya (disebut perapi dalam bahasa Sasak), hingga rentang waktu usia tiga bulan. Pada umumnya sunat dilakukan oleh seorang belian (dukun bayi) dengan menggunakan dua keping uang logam kuno yang disebut kepeng bolong.

Menurut salah seorang belian di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, sebelum memulai prosesi penyunatan, ia akan melakukan sembahyang/doa terlebih dahulu. Kemudian ia menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk menyunat seperti uang logam serta gelas yang berisi air. Orang tua si anak yang datang juga membawa andang-andang (persembahan/penghormatan bagi belian) berupa buah pinang, daun sirih, beras serta sejumlah uang. Setelah belian selesai berdoa, ia akan membersihakan vagina anak perempuan yang akan disunat dengan air dan kapas, kemudian ia menggunakan kedua uang logam untuk menjepit dan mengambil ‘bagian hitam’ di yang menurutnya terdapat dalam klitoris anak perempuan yang belum disucikan.

Namun, tidak hanya dilakukan oleh belian saja, di beberapa kecamatan lain, tesuci juga dilakukan oleh bidan dengan membuat torehan pada klitoris dengan menggunakan silet. Tidak adanya acuan tata cara penyunatan terhadap anak perempuan yang baku dari Kementerian Kesehatan membuat tradisi sunat perempuan di berbagai wilayah di Indonesia dilakukan dengan cara yang beragam. Di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, salah satu bidan desa mengatakan bahwa ia tidak pernah menyarankan sunat untuk anak perempuan karena ia menilai tidak ada manfaatnya, baik dari segi medis maupun agama. Namun ia juga tidak melarang praktik tersebut yang masih dilakukan di daerahnya oleh para belian. Ia hanya tidak memperbolehkan jika ada bagian dari vagina perempuan yang dipotong dalam praktik sunat tersebut.

 

[1] Budiharsana, M. et.al. 2003. Female Circumcision in Indonesia. Research report. Jakarta: Population Council dan USAID.

Perlindungan Kesehatan Perempuan dan Anak sebagai Isu Prioritas dalam UPR Indonesia 2017

Foto : Fatimah Az Zahro

Oleh : Gabriella Devi Benedicta dan Fatimah Az Zahro

Dalam sesi sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dilaksanakan pada tanggal pada 3 Mei 2017 di Gedung Palais de Notion PBB, Geneva, Indonesia melaporkan kondisi HAM di Indonesia dan memperoleh masukan dan tanggapan terkait peninjauan HAM dari berbagai negara yang tergabung dalam UPR Working Group. Ini adalah kali ketiga Indonesia di-review, setelah 2008 dan 2012. Laporan nasional tersebut telah didistribusikan pada tanggal 20 Februari 2017 lalu berdasarkan follow up hasil rekomendasi dari proses UPR sebelumnya di tahun 2012.[1] Di tahun 2012 tersebut, Indonesia telah menerima 150 rekomendasi terkait pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.

Berdasarkan laporan tersebut, terdapat 13 isu yang disoroti, diantaranya adalah ratifikasi konvensi HAM, kerjasama dengan mekanisme HAM PBB, kerangka kerja normatif, pendidikan dan institusional tentang HAM, kerjasama dengan masyarakat sipil, promosi hak perempuan dan kelompok rentan (termasuk di dalamnya isu hukum yang diskriminatif, kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, partisipasi di ruang publik, kesehatan maternal dan anak, kelompok difabel dan masyarakat adat), pekerja migran, perlawanan terhadap isu trafficking dan perbudakan, kebebasan berpikir dan agama, peran hukum dan good governance, revisi hukuman mati, pembela HAM, kebebasan berpendapat dan berpikir, hak terkait kemiskinan-ekonomi dan sosio-kultural.

Terkait dengan isu kesehatan perempuan dan anak di Indonesia, isu sunat perempuan (FGM) dan perkawinan anak menjadi hal yang berusaha diminimalisir oleh negara melalui kebijakan yang ada. Kebijakan Permenkes no. 1636/2010 tentang sunat perempuan telah dicabut dan digantikan oleh Permenkes no. 6/2014 yang melarang petugas kesehatan melakukan prosedur sunat perempuan. Walaupun catatan dalam laporan ini harus dikritisi lebih lanjut karena dalam Permenkes no. 6 tahun 2014, dikatakan dalam pasal 2 memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).[2] Namun sampai saat ini, pedoman tersebut belum diterbitkan.

Lebih lanjut, pemerintah Indonesia berkomitmen dalam laporan tersebut  untuk terus meningkatkan kesadaran tenaga medis/kesehatan, orang tua, komunitas, dan tokoh agama untuk mencegah praktik sunat perempuan di Indonesia. Terkait dengan perkawinan usia anak, dalam laporan tersebut dikatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh adalah faktor ekonomi. Pemerintah, melalui kementerian terkait sudah melakukan sejumlah program untuk mempengaruhi keputusan perkawinan usia anak ini. Dalam laporan tersebut juga disinggung mengenai gagalnya usaha JR yang dilakukan oleh YKP dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk meningkatkan usia perkawinan untuk anak perempuan.

Terkait dengan sidang UPR 2017 tersebut, HRWG (Human Rights Working Group) beserta Koalisi Masyarakat Sipil mengadakan “Diskusi & Nonton Bareng UPR Indonesia” pada tanggal Rabu, 3 Mei 2017 di Tjikinii Lima Restaurant and Café. Sebelum dilangsungkan sidang  tanggal 3 Mei 2017, HRWG membuat respon atas laporan yang dibuat pemerintah Indonesia sebagai bahan diskusi dalam sidang UPR 2017 dalam website mereka[3] yang salah satunya membahas tentang akses terhadap pendidikan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Hal ini disebutkan menjadi hak yang absen dibahas dalam laporan tersebut. Hal ini sebenarnya dapat mencegah berbagai kasus terkait kesehatan perempuan dan anak yang masih terjadi hingga kini seperti sunat perempuan, perkawinan anak, kehamilan remaja maupun kekerasan seksual.

Dalam sidang UPR tanggal 3 Mei 2017 tersebut, beberapa negara memberikan masukan terkait isu HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi), diantaranya adalah Panama dan Slovenia. Panama menekankan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dengan mengeliminasi sunat perempuan (FGM) dan perkawinan anak. Slovenia membahas tentang perlunya akses terhadap kontrasepsi tanpa melihat status perkawinan, akses terhadap HKSR. Negara seperti Uruguay, Algeria, Argentina, Ceko, Djibouti, Mesir, Iran, Iraq, Maldives, Mongolia, Norwegia, maupun Bhutan juga menyoroti isu perlindungan perempuan dan anak yang menjadi bagian dari isu HAM di Indonesia. Komnas Perempuan, dalam siaran pers resminya[4] juga menyoroti praktik yang menyakitkan perempuan seperti perkawinan anak dan sunat perempuan sebagai praktik yang harus dicegah dan dihapuskan sebagai salah satu isu perempuan dan anak prioritas menurut berbagai negara yang hadir dan memberikan pendapatnya atas laporan nasional yang dibacakan dalam sidang UPR tersebut.

[1] https://www.upr-info.org/sites/default/files/document/indonesia/session_27_-_may_2017/a_hrc_wg.6_27_idn_1_e.pdf

[2] http://www.peraturan.go.id/permen/kemenkes-nomor-6-tahun-2014.html

[3] http://hrwg.org/2017/05/02/merespon-laporan-upr-pemerintah-indonesia-ke-dewan-ham-pbb/

[4] http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-atas-proses-upr-universal-periodic-review-dewan-ham-pbb-tentang-kondisi-ham-di-indonesia-geneva-3-mei-2017/

Mengakhiri ‘Merariq Kodeq’

Ilustrasi : R. Aji Prasetyo

Oleh : Reni Kartikawati

Perkawinan dengan mekanisme merariq (kawin lari) sejatinya harus dilihat sebagai sebuah kearifan adat yang telah menjadi suatu bagian budaya karena merupakan ritual asli dari leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun, termasuk di Desa Surabaya Utara, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Jika ditelusuri lebih jauh, budaya merariq pada dasarnya memiliki nilai keagamaan dan kesusilaan yang sakral, serta hingga batas tertentu dapat menekan perkawinan usia anak.

Saat ini, istilah perkawinan usia anak (merariq kodeq) menjadi hal yang dipermasalahkan, padahal pada zaman dahulu istilah tersebut tidak dikenal. Permasalahan yang terjadi adalah perubahan sosial yang turut mengubah struktur sosial masyarakat Sasak, termasuk nilai, norma, hubungan kelembagaan, serta aturan kebijakan dari pemerintah yang baru dan diseragamkan bagi setiap daerah, seperti pada UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 serta UU Perlindungan Anak No.35 Tahun 2014 yang mengatur tentang masalah batasan usia perkawinan.[1] Hal ini secara tidak langsung menggantikan dan mendegradasi nilai-nilai kearifan lokal suku Sasak yang sudah ada, tidak terkecuali perkawinan merariq. Selain itu, aturan kebijakan nasional tersebut nyatanya tidak sesuai dan justru membuat jurang pemisah antara adat dengan kehidupan sosial yang lebih besar yang mana menurut sudut pandang kriminologi budaya, adat merariq dianggap sebagai budaya yang menyimpang (culture as crime), serta menimbulkan konflik norma tingkah laku[2] bagi masyarakat adat Sasak di Desa Surabaya Utara, tidak terkecuali pada generasi muda suku Sasak saat ini.

“Zaman dahulu sesudah masuknya agama Islam ke Lombok untuk perempuan kalau sudah menstruasi, perempuan itu boleh dikawini. Kalau sekarang ini nikah muda dianggap salah, tidak boleh dilakukan karena ada peraturan dari pemerintah..” (Wawancara Lalu IT, Wakil Ketua Majelis Adat Sasak Paer Timuq, Desa Sakra, Kab. Lombok Timur, 30 April 2016)

Pada perkembangannya, praktik merariq dalam tradisi perkawinan suku Sasak di Desa Surabaya Utara ternyata dipahami hanya sekedar ‘ritual’ praktiknya saja. Nilai-nilai budaya merariq yang dahulu ada dan terus dipertahankan perlahan-lahan mulai bergeser dari pemaknaan nilai aslinya. Perubahan tersebut nyatanya juga tidak diikuti oleh restrukturisasi kelembagaan sosial termasuk peran agen-agen sosial di dalam masyarakatnya, seperti orang tua, lembaga sosial non formal (tokoh adat/tokoh agama/tokoh masyarakat) dan lembaga formal seperti sekolah dan madrasah. Ketika peran agen sosial yang lama berubah, sementara agen sosial baru yang terbentuk belum dipersiapkan untuk menggantikan dalam mensosialisasikan nilai, norma, pengetahuan, serta kebijakan yang lebih baru, dan negara tidak hadir dalam menjaga tatanan masyarakat maka yang terjadi adalah ketidakjelasan peran kontrol sosial dalam masyarakat.

Adanya kekosongan peran agen pengendalian sosial inilah yang membawa konsekuensi logis pada munculnya persoalan perkawinan usia anak yang dilakukan oleh generasi muda Sasak, tidak terkecuali anak perempuan Sasak sebagai pihak korban yang paling rentan mengalami viktimisasi struktural[3] dari akibat perkawinan usia anak melalui mekanisme merariq di Desa Surabaya Utara.

Untuk itu, diperlukan beberapa upaya bersama dari semua pemangku kepentingan mulai dari tingkat dusun, desa, hingga kabupaten/kota dan provinsi secara lebih luas dalam mencegah dan mengakhiri perkawinan usia anak yang hingga batas tertentu mengatasnamakan adat merariq. Beberapa upaya yang dapat dilakukan, yaitu :

  1. Merevitalisasi peran lembaga adat serta mengintegrasikannya dengan peran agen sosial untuk mensosialisasikan nilai perkawinan yang baru sesuai dengan nilai adat perkawinan merariq;
  2. Pemerintah sebagai leading sector berkewajiban memfasilitasi masyarakat adat termasuk para agen sosial untuk mendorong kesepakatan bersama, membuka forum dialog terkait pencegahan praktik perkawinan usia anak yang tidak bertolak belakang dengan hukum adat Sasak;
  3. Pemerintah membuat program nyata yang mendukung pencegahan perkawinan usia anak melalui lembaga terkait, seperti BP4 dan KUA yang sifatnya tidak menjadi agenda formalitas saja.
  4. Pemerintah perlu memberikan informasi pendidikan nilai adat perkawinan merariq, serta pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif, termasuk dampak perkawinan usia muda kepada anak sejak dini baik secara formal melalui sekolah dan non-formal melalui forum kelembagaan agama dan daerah.
  5. Memastikan dan mendorong pelibatan remaja atau forum remaja di tingkat sekolah, dusun dan desa, kabupaten/kota hingga nasional untuk sama-sama mensosialisasikan program pemerintah terkait Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang selaras dengan nilai adat masyarakat Sasak.

[1]Batasan usia perkawinan (kedewasaan) menurut UU Perkawinan dan Perlindungan Anak dilihat berdasarkan usia biologis, sementara dalam adat Sasak usia biologis bukanlah satu-satunya prasyarat kedewasaan seorang anak. Usia secara sosial seperti telah baligh, memiliki kemampuan mengerjakan pekerjaan domestik, menenun (bagi perempuan) dan mampu bekerja menghasilkan uang (bagi laki-laki).

[2]Menurut Sellin, apabila berkaitan dengan norma hukum, hukum dari suatu kebudayaan yang lebih besar diperluas yurisdiksi wilayah keberlakuannya ke wilayah kebudayaan lain (kebudayaan yang lebih kecil) dan aturan tersebut dipaksakan maka akan terjadi konflik norma tingkah laku dalam masyarakat (Sellin, 1938).

[3] Viktimisasi struktural yaitu korelasi positif antara ketidakberdayaan, kekurangan dan frekuensi korban kejahatan. Selain itu, stigmatisasi budaya dan marjinalisasi juga meningkatkan risiko korban kejahatan dengan menunjuk kelompok tertentu sebagai ‘fair game’ atau korban budaya yang sah (Fattah, 1999: 65-66).

Referensi :

Fattah, Ezzat A. (1999). Victimology Today: Recent Theoretical and Applied Developments,  Resource Material Series No.56 (1999), pp. 60–70. (internet), [25 Oktober 2016]. Di unduh:

http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No56/No56_09VE_Fattah2.pdf.

Kartikawati, Reni. (2016). Viktimisasi Struktural terhadap Perkawinan Adat ‘Merariq’ Pada Anak Perempuan (Studi Kasus Perkawinan Usia Anak di Desa Surabaya Utara, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB). Tesis : Program Pasca Sarjana Kriminologi, Peminatan Perlindungan Anak, FISIP UI.

Sellin, Thorsten. (1938). Culture Conflict and Crime, American Journal of Sociology, Vol. 44, No. 1 (Jul., 1938), pp. 97-103. Published by: The University of Chicago Press. (internet), [25 Oktober 2016]. Di unduh dari: http://www.jstor.org/stable/2768125.

Editor : Gabriella Devi Benedicta