Menolak Raperda Anti LGBT di Depok

oleh: Irwan M. Hidayana

Beberapa minggu terakhir ini wacana tentang Raperda Anti LGBT yang digagas oleh DPRD Kota Depok ramai diliput media daring. Raperda ini diklaim sudah mendapat persetujuan Mendagri dan semua fraksi dalam DPRD Kota Depok [1]. Salah satu alasan utama munculnya Raperda ini karena jumlah gay terus meningkat berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kota Depok[2]. Alasan lainnya adalah LGBT dipandang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua[3], sebagaimana diutarakan oleh salah satu anggota DPRD Kota Depok.

Raperda anti LGBT ini memperlihatkan cara berpikir yang moralistik serta klaim kebenaran. Argumen meningkatnya jumlah gay sehingga perlu peraturan untuk mengontrolnya merupakan sikap diskriminatif dan stigmatisasi pada kelompok tertentu. Secara tersirat, argumen ini juga menstigma kelompok gay sebagai orang dengan HIV dan AIDS. Padahal, siapapun rentan terinfeksi HIV apabila berperilaku seksual yang beresiko. Secara nasional, infeksi HIV pada kelompok heteroseksual lebih tinggi dari pada kelompok lainnya. Jelas Raperda ini berpotensi mendorong persekusi dan tindakan main hakim sendiri dari kelompok-kelompok tertentu di masyarakat mengingat persoalan penegakan hukum masih menjadi salah satu kelemahan dalam sistem hukum Indonesia.

Argumen bahwa LGBT bertentangan dengan Pancasila juga patut dipertanyakan. Keragaman manusia adalah hal yang inheren pada masyarakat Indonesia. Keragaman bukan semata etnis, agama, kelas sosial atau ras tetapi juga identitas gender dan seksualitas. Ketika LGBT dipandang melanggar norma agama maka yang dipertanyakan adalah mengapa mengedepankan cara-cara diskriminatif dan peminggiran terhadap kelompok tertentu. Bagaimana agama dapat membawa kemashalatan bagi manusia jika melakukan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap sesama manusia? Di mana sisi kemanusiaan dari agama? Apakah Raperda anti LGBT mencerminkan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab?

Masyarakat Cinta Depok[4] dan Persaudaraan Waria Depok (Perwade) telah melancarkan protes atas bergulirnya Raperda anti LGBT[5] ini. Mereka berpendapat bahwa Raperda ini bertentangan dengan prinsip HAM padahal Indonesia telah memiliki Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Perwade memprotes karena khawatir akan tindakan persekusi dari kelompok-kelompok intoleran terhadap transgender akan semakin meningkat. Pada akhirnya Raperda Anti LGBT memang harus ditolak karena justru bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945 yang menjamin kesetaraan warga negara Indonesia. Seperti John Stoltenberg mengatakan ‘And laws about sex have been especially unhelpful, for they tend to serve the interest of the powerful and betray those who are powerless’[6] (2000:137).


[1] https://www.viva.co.id/berita/metro/1168835-kajian-telah-lengkap-depok-segera-keluarkan-perda-anti-lgbt

[2] https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/22/ada-5791-gay-di-kota-depok-dprd-dorong-lahirnya-perda-anti-lgbt

[3] https://jabar.suara.com/read/2019/07/21/201555/depok-akan-rancang-perda-anti-lgbt-inisiatornya-partai-gerindra

[4] https://metro.tempo.co/read/1226702/raperda-anti-lgbt-ditolak-masyarakat-cinta-depok-bicara/full&view=ok

[5] https://www.merdeka.com/peristiwa/persatuan-waria-protes-rancangan-perda-anti-lgbt-di-depok.html

[6] Stoltenberg, J. (2000). Refusing to be a man. Essays on Sex and Justice. Revised edition. London: UC: Press.

Kick Off Workshop: Qualitative Research Methods Refresher Training

Pada tanggal 28-29 Juni 2019, Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI mengadakan Kick Off Workshop: Qualitative Research Methods Refresher Training. Training ini ditujukan untuk para peneliti Puska Gender dan Seksualitas sebagai pembekalan sebelum melakukan pengumpulan data untuk penelitian “Agensi dan Dukungan bagi Remaja untuk Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual”. Penelitian ini merupakan penelitian operasional untuk program Yes I Do di Indonesia.

Dalam training ini, selain membahas isu Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, instrumen penelitian, etika dan protocol penelitian, para peneliti juga melakukan role-play untuk metode yang kreatif untuk penelitian yang melibatkan remaja seperti body-map, village-map, photo elicitation, dan story completion.

Qualitative Research Methods and Skill Training

Pada tanggal 7-10 Mei 2019, KIT Netherlands, Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI, bersama Aliansi Yes I Do (Rutgers, Plan, ARI) menyelenggarakan “Qualitative Research Methods and Skill Training” sebagai bagian untuk mempersiapkan riset operasional tahun 2019 untuk program Yes I Do di Indonesia. Training ini diselenggarakan di kantor Plan Indonesia dengan KIT dan Puska Gender dan Seksualitas sebagai fasilitator.

Dalam training ini para peserta mendapatkan penyegaran materi mengenai riset kualitatif dan etika penelitian, serta bersama-sama merumuskan topik, pertanyaan penelitian, hingga teknik pengumpulan data yang tepat bagi program Yes I Do.

Melalui proses ini diharapkan riset menjadi partisipatif, relevan, dan hasil riset dapat berguna bagi program Yes I Do ke depan.

Workshop Teori dan Metode Keragaman Gender dan Seksualitas

Gender dan seksualitas bukan merupakan suatu hal yang sifatnya statis, namun dinamis seiring dengan perubahan sosial yang terjadi. Para peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas juga perlu untuk memperbarui pengetahuan dan konseptualisai tentang hal ini, untuk dapat memahami dan menganalisis isu gender dan seksualitas pada masyarakat kita. Pada tanggal 5 dan 6 Maret 2019, kami mengadakan kegiatan Capacity Building mengenai Teori-Teori dan Metode Penelitian Keragaman Gender dan Seksualitas. Kegiatan pembelajaran pada hari pertama adalah diskusi mengenai SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identities and Expression, and Sexual Characteristics), mulai dari sejarah konsep dan gerakan sosial saat ini. 

Pada hari kedua diskusi dilanjutkan dengan kaitan antara SOGIESC dengan intersubjektivitas  dalam penelitian dan juga konstruksi pengetahuan dalam analisis dan penulisan. Kegiatan pembelajaran ini selain diikuti oleh peneliti Puska Gender dan Seksualitas juga diikuti oleh para mahasiswa dan peneliti dari  Puska lainnya di lingkungan FISIP yang sedang atau tertarik menggeluti isu gender dan seksualitas.

A Qualitative Study on The Causes and Consequences of Divorce after Child Marriage in Sukabumi, Rembang and West Lombok Regencies

Although there are no statistical data showing the relationship between child marriage and the rate of divorce, there are indications that child marriage contributes to divorce rates in Indonesia. Research on child marriage conducted by PLAN International (2015) in Pakistan, Bangladesh and Indonesia found that the objection of young people to child marriage was considered to cause disharmony, conflicts and domestic violence in marital relations, and sometimes divorce. Studies on divorces in the context of child marriage in Indonesia are few and the study presented in this report is an attempt to fill this research gap.

The study had the general objective of identifying the causes and consequences of divorce after child marriage in three areas of the YES I DO programme, namely Sukabumi, Rembang and West Lombok Regencies. Specifically, this study observed the types of divorce, causes and consequences of divorce, and the post-divorce coping mechanisms. The YES I DO programme in Indonesia is a collaboration between Rutgers WPF Indonesia, Plan Indonesia and Aliansi Remaja Independen (ARI). The study was needed to inform the activities of these YES I DO partners in the three areas.

The research was conducted by using in-depth interviews, FGDs and photovoices as research instruments.

The full paper can be downloaded from the following link.

Desakan Pengesahan RUU PKS

Desakan untuk mengesahkan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) datang dari berbagai kalangan masyarakat. Pada tanggal 8 Desember 2018, masyarakat sipil dari berbagai organisasi perempuan, HAM, praktisi pendidikan, maupun serikat buruh berkumpul dan melaksanakan aksi damai berupa long march dari kawasan Sarinah menuju Monas. Berbagai kasus kekerasan seksual sudah banyak terjadi di Indonesia, menjadi perhatian banyak pihak, sudah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas pada tahun 2017 dan 2018, namun belum juga disahkan hingga kini. Pemerintah dinilai lambat dalam mengesahkan RUU ini.

Long march ini menjadi upaya damai untuk menyuarakan urgensi pengesahan RUU PKS sebagai wujud konkret perlindungan hukum bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya perempuan dan anak dari berbagai kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peneliti-peneliti dari Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI juga menyuarakan suara, menandatangani petisi dan terlibat secara langsung dalam aksi ini.

Diseminasi Nasional dan Pemutaran Film ‘Perkawinan Anak’

Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP), Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI mengadakan “Diseminasi Hasil Penelitian tentang Perkawinan Usia Anak dan Pemutaran Film Pendek mengenai Praktik Perkawinan Usia Anak”. Kegiatan ini akan diadakan pada hari Jumat, 30 November 2018 di Auditorium Komunikasi, Lantai 1, Ged.Komunikasi FISIP UI, Depok pukul 13.00 – 16.30 WIB.

Rangkaian kegiatan diawali dengan pemutaran film-film pendek tentang perkawinan usia anak, dan dilanjutkan dengan pemaparan hasil penelitian mengenai perkawinan usia anak dan diskusi oleh  tiga pembicara.

Untuk pendaftaran bisa menghubungi rekan panitia Pozwa (085893160831) atau melalui link bit.ly/DiseminasiKajianGenseks.

#HearMeToo Exhibition 2018

Dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2018, Aliansi KITASAMA dan para aktivis lainnya mengadakan pameran baju penyintas kekerasan seksual ‘Saat itu Aku…’ dan karya kolase #HearMeToo.

Pembukaan pameran dilakukan pada tanggal 27 November 2018 di Paviliun 28, Jakarta.

Pameran berlangsung selama 16 hari dari tanggal 25 November-10 Desember 2018.