On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Tulisan oleh Irwan M. Hidayana di The Conversation mengulas mengenai posisi identitas komunitas transgender dalam media di Indonesia. Dalam mengulas hal ini, Hidayana mengambil contoh bagaimana drama sinetron membayangkan dan membingkai posisi waria di dalam masyarakat. Hidayana mengulasnya dalam diskusi antara hak dan agama yang mana keduanya menjadi dasar penentu normalitas kehidupan seseorang.

The Conversation: On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc

Parade Film dan Seminar: Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja

poster parade film

 

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, bekerja sama dengan UN Women, SGRC UI  menyelanggarakan 2 hari seminar dan parade film di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991. Di Indonesia sendiri, kampanye ini diprakarsai pertama kali oleh Komnas Perempuan pada tahun 2003. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya dilaksanakan sejak tanggal 25 November yang merupakan hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Enam belas (16) hari ini dipilih dengan harapan seluruh komponen masyarakat, baik aktivis, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat secara umum, memiliki waktu yang cukup untuk membangun strategi dan bergerak serentak dalam agenda bersama untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Acara ini terbuka untuk umum, partisipasi kalian sangat dinantikan!!!!

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual : Persoalan Tabu dan Absennya Negara

“Gue bukan anak kecil lagi”, kalimat ini kerapkali terdengar ketika seorang remaja memberontak. Remaja, dengan segala kompleksitas perubahan dari anak-anak menuju dewasa, dimulai dari perubahan fisik, psikis dan sosial, merupakan proses yang cukup panjang dilewati. Setiap perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kondisi perubahan dan perkembangan yang signifikan ini menjadikan remaja rentan terhadap beragam persoalan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti pubertas, pacaran, seks pra nikah, kehamilan tak dikehendaki, bahkan aborsi tidak aman jika informasi yang mereka peroleh tidak sesuai.

Terkait hal ini, seorang rekan yang melakukan pendampingan terhadap korban perkosaan menceritakan bahwa ada seorang gadis remaja hamil berusia 18 tahun yang tinggal di pinggiran kota Jakarta, kaget ketika mengetahui bahwa dirinya hamil, “Memang saya pernah melakukan hubungan seksual, tetapi saya bingung kenapa saya bisa hamil ?” Pengalaman lainnya dari seorang perempuan berusia 26 tahun yang tinggal di Jakarta mengafirmasi bahwa informasi mengenai kesehatan reproduksi tidak diperolehnya ketika ia remaja. Ia mengatakan, “Dulu saat saya baru dapat haid pertama kali, saya gak berani bilang ke ibu saya karena saya malu dan takut, lagi pula saya bingung apa yang harus dilakukan ketika keluar darah dari vagina saya. Saya akhirnya tahu bahwa itulah haid dari film”.

Dua pernyataan diatas, mungkin terdengar sepele dan membingungkan. Bagaimana bisa seorang gadis remaja berumur 18 tahun dan tinggal di pinggiran kota Jakarta tidak memiliki cukup informasi mengenai proses pembuahan dan kehamilan sebagai konsekuensi dari dilakukannya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan? Dalam kasus lainnya yang diungkapkan di atas, remaja juga mengalami kebingungan ketika mendapati dirinya mengalami haid pertama. Tinggal di ibukota tidak mengasumsikan adanya penyebaran informasi yang sesuai dengan kebutuhan remaja di tahap perkembangannya. Jikapun diberikan, informasi tersebut kadangkala sangat terbatas dan sulit diakses oleh remaja. Persoalan tabu dan malu untuk bertanya menjadi penyebabnya. Mitos-mitos seputar kesehatan reproduksi juga semakin membuat remaja takut, serta tidak memiliki keabsahan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengambil keputusan yang benar.

Menjadi tanggung jawab siapakah persoalan ini? Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang kompleks, namun di sisi lain bukan berarti kerumitan masalahnya membuat kita dapat lepas tangan begitu saja. Masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja merupakan tanggung jawab yang membutuhkan komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak. Masyarakat sesungguhnya bisa berperan aktif dalam mendorong pemerintah untuk peduli terhadap isu kesehatan reproduksi dan seksualitas. Pihak remaja bisa mulai membuka diri dan menyadari pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini yang dapat dimulai dari institusi terkecil, yaitu keluarga. Dengan demikian, keluarga sebagai unit terkecil sepatutnya bisa menjadi lembaga pendidikan (kesehatan reproduksi dan seksualitas) yang kondusif dan ramah bagi remaja. Dari segi waktu, remaja memang menghabiskan waktunya lebih banyak di sekolah daripada di rumah, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk orang tua menyerahkan masalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada sekolah saja. Akan tetapi, kesadaran para orang tua bahwa, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual bisa difasilitasi dari keluarga masih minim. “Itu tanggung jawab pihak sekolah. Kalau di rumah, kita tidak tahu apa itu reproduksi, apalagi ngomongin seksualitas, wah itu rasanya gimana ya, sungkan”, begitu pengakuan salah seorang orang tua siswa kelas 10 di salah satu SMTA di Jakarta.

Hasil pemetaan kebijakan yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI dan SEPERLIMA pada tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki payung hukum mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, khususnya untuk remaja[1]. Untuk itu, ada upaya memasukan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) di sekolah sedang diupayakan beberapa pihak, termasuk SEPERLIMA. Hasil studi menunjukkan terdapat beberapa usulan mengenai penerapan PKRS bagi remaja di tingkat sekolah, yaitu : (1) menjadi mata pelajaran tersendiri; (2) menjadi mata pelajaran muatan lokal; (3) diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada seperti Biologi, Penjaskesor, BK, dan Agama; (4) diberikan pada ekstra kurikuler (ekskul) tersendiri, digabung dengan ekskul yang ada/UKS, atau menjadi kegiatan mandiri di luar ekskul.

 

Terlepas dari pilihan-pilihan yang diberikan, penting untuk digarisbawahi bahwa adalah hak remaja untuk menerima akses informasi yang tepat mengenai kesehatan reproduksi dan seksual mereka. Berdasarkan assessment yang dilakukan oleh Puska Genseks dan SEPERLIMA, pilihan menyisipkan PKRS di dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Olahraga merupakan peluang sebagai titik awal penyampaian PKRS di kurikulum Indonesia. Dengan adanya PKRS, hal ini memungkinkan remaja untuk mengenali tubuhnya, memahami konsekuensi atas perilaku seksual yang dilakukan, serta melindungi diri mereka dari segala tindak kekerasan seksual yang mungkin dapat dialami. Akan tetapi, 4 Nopember 2015 lalu, pengajuan Judicial Review SEPERLIMA terhadap UU Sisdiknas ditolak tanpa sidang oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi. Salah satu alasan yang membuat hakim menolak usulan ini adalah karena pendidikan kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab para orang tua untuk menyampaikan kepada anak-anak mereka. Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa persoalan kesehatan reproduksi dan seksual remaja belum disadari baik oleh orang tua (masyarakat umum) maupun oleh lembaga tinggi negara. Jika demikian, lantas bagaimanakah persoalan kesehatan reproduksi dan seksual di Indonesia bisa ditangani?

Penulis: Djamilah dan Gabriella Devi Benedicta

Editor dan Content Manager: Sari Damar Ratri

 

[1] Hasil Penelitian Policy Mapping Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas , Puska Gender dan Seksualitas FISI UI dan SEPERLIMA, tahun 2013

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, benarkah memicu seks berisiko?

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual merupakan topik yang ‘sensitif’. Kata sensitif tersebut menyatakan bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksual rentan untuk diperdebatkan dengan berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, jika dikaitkan dengan nilai masyarakat kita, bahwa ‘seks’ hanya boleh dilakukan di dalam ikatan perkawinan atau pernikahan yang sah, konsekuensinya, hal ini menjadikan diskusi dan penyebaran informasi mengenai seks menjadi tabu dan cenderung dikaburkan. Di sisi lain, sumber informasi seksual yang mudah di akses cenderung tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, materi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif penting untuk bisa diakses dan dipahami oleh remaja.

Kekhawatiran pemerintah, orang tua maupun pihak sekolah adalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) dianggap akan mendorong remaja berperilaku semakin ‘permisif’. Hal ini berangkat dari adanya anggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dapat mendorong keinginan remaja untuk melakukan seks pranikah yang cenderung berisiko. Padahal temuan hasil penelitian Baseline Study yang dilakukan oleh Puska Genseks di tahun 2012, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas justru dapat mengurangi dan mencegah perilaku seks berisiko di kalangan remaja. Selain itu, dengan tersedianya akses terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja lebih mampu menunda keinginannya untuk melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan temuan dalam Midline Study, Puska Genseks tahun 2013 di 23 sekolah menengah atas (SMA/MA/Sederajat) di delapan kota dan kabupaten di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Pontianak, Lampung, Semarang, Yogjakarta (Kulon Progo), Jombang, dan Banyuwangi didapatkan data bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) justru dapat mencegah perilaku siswa untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, yang ditunjukkan dengan persentase sebesar 88,7%. Sebanyak 94,5% temuan pada studi yang sama juga menunjukkan bahwa melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, siswa mengetahui dan menghindari bahaya penyakit menular seksual (PMS) bagi kesehatan reproduksi, seperti sifilis, gonore, HIV/AIDS. Tidak kalah penting juga ditunjukkan melalui persentase sebanyak 77,6% bahwa pendidikan kespro dan seksual memberikan kemampuan bagi siswa untuk dapat mengendalikan dorongan seksualnya.

Data ini didapatkan dari beberapa sekolah percontohan yang sudah menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual secara komprehensif kepada siswa/i sekolahnya baik melalui insersi pada mata pelajaran Biologi/IPA, Agama, Bimbingan Konseling/BP, serta Pendidikan jasmani dan olahraga (Penjaskesor). Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pun sesungguhnya bisa memanfaatkan ekstra kurikuler wajib di sekolahnya baik melalui PIK –R (Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja), Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lainnya.

Temuan penelitian di atas menjadi penting untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, orangtua dan pihak sekolah bahwa memberikan pengetahuan dan informasi yang benar, akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada remaja dapat berkontribusi pada penundaan perilaku seksual di kalangan remaja. Upaya pengentasan seks berisiko di kalangan remaja sudah saatnya melibatkan instansi pemerintah. Dorongan seksual merupakan hal yang wajar dan alamiah, penyediaan perangkat informasi yang memadai bagi remaja untuk bisa mengarahkan dorongan alamiah tersebut secara strategis dapat memanfaatkan lembaga pendidikan yakni sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang sah, sekolah bisa memfasilitasi dan mengawasi materi yang tepat bagi remaja. Hal ini tentu saja lebih baik, ketimbang remaja terjebak dalam informasi kesehatan reproduksi dan seksual yang tidak tepat seperti pada situs-situs yang tidak jelas sumber pemberitaannya.

Author: Reni Kartikawati

Editor: Denyzi Wahyuadi

Web Content and Editor: Sari Damar Ratri

 

Seperlima menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review UU Sisdiknas

IMG-20151104-WA0001

IMG-20151104-WA0002

Siang ini, teman-teman Seperlima yang melakukan judicial review terhadap UU Sisdiknas menunggu putusan MK. Setelah menunggu lebih dari enam bulan lamanya, MK menghubungi Seperlima sebagai pemohon untuk mendengarkan putusan. Putusan MK yang hari ini, 4 Nopember 2015 akan dibacakan merupakan putusan tanpa sidang.

Tanpa sidang, Seperlima kehilangan kesempatan untuk memberikan kesaksian dan bukti-bukti tidak adanya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komperehensif bagi remaja Indonesia. Temuan Puska Genseks FISIP UI,  dalam penelitian Penguatan Akses Remaja pada Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan bahwa tanpa pengetahuan yang cukup, remaja cenderung terjebak dalam seks berisiko. Tanpa kemampuan memenej dorongan seksual, remaja di Indonesia semakin rentan terpapar ancaman lain yang merenggut kebahagiaan dan masa depan mereka seperti, kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, kekerasan seksual dan lainnya. Berdasarkan temuan inilah, Seperlima melakukan Judicial Review terhadap UU Sisdiknas yang menghendaki adanya jaminan insersi materi Kespro dan Seksual pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Olahraga. Argumen dasar Seperlima, bahwa kata kesehatan dalam mapel Penjaskesor sepatutnya mencerminkan kesehatan dalam arti yang menyuluruh, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual.

Seperlima merupakan gugus kerja yang terdiri dari Puska Genseks Fisip UI, Yayasan Rahima, PKBI, Pamflet dan HIVOS. Sejak tahun 2012 Seperlima mengusung upaya penyediaan pendidikan kespro dan seksual yang komperehensif bagi remaja di seluruh Indonesia.

 

 

Kebiri Bukan Solusi, Terapkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual

Kamis, 21 Oktober 2015. Presiden Joko Widodo menyetujui usulan pemberatan hukuman dalam bentuk kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam rapat kabinet terbatas yang diselenggarakan pada hari Rabu, 20 Oktober 2015, kemarin. Saat ini, berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak-anak adalah minimal lima (5) tahun dan maksimal lima belas (15) tahun penjara.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh, menyatakan bahwa dalam rapat terbatas tersebut KPAI juga mengusulkan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk pemberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual yang diapresiasi dan didukung oleh Presiden Jokowi. Selain itu, Presiden juga menyepakati sejumlah langkah tegas untuk mencegah kekerasan seksual, antara lain dengan memperketat pemblokiran situs pornografi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan memasifkan pendidikan pranikah oleh Kementerian Agama.

SEPERLIMA menyatakan kebiri bukanlah solusi untuk mengurangi maraknya kekerasan seksual. Kebiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menghilangkan kelenjar testis pada laki-laki atau memotong ovarium pada perempuan. Kebiri menghilangkan fungsi reproduksi seksual dan bukan menghilangkan hasrat seksual seseorang sehingga tidak ada jaminan bagi pelaku yang dikebiri berhenti melakukan tindak kekerasan seksual. Padahal perlu dipahami juga bahwa definisi kekerasan seksual tidak hanya disebabkan oleh penetrasi melalui alat kelamin, sehingga kebiri sekali lagi bukanlah solusi yang tepat.

SEPERLIMA mendorong agar pemerintah melakukan kajian secara komprehensif dari berbagai macam aspek terhadap wacana hukuman kebiri untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan belum adanya studi yang mengungkapkan bahwa hukuman kebiri efektif memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Terlebih dengan penegakan hukum yang belum optimal, penerapan hukuman kebiri adalah bentuk pemidanaan yang tidak dapat ditarik kembali jika terjadi salah tangkap. Hal ini secara lebih lanjut akan berimplikasi pada ketidakadilan hukum. SEPERLIMA mendorong agar pemerintah memberikan hukuman penjara maksimal 15 tahun kepada pelaku sesuai dengan Undang Undang No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan kembali mengkaji Undang Undang yang terkait kasus Kekerasan Seksual untuk memberikan hukuman paling maksimal sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

SEPERLIMA mendorong agar pemerintah melakukan pengangan kasus kekerasan seksual secara komprehensif mulai dari pencegahan hingga penanganan yang dilakukan melalui SIARAN PERS proses hukum. Pencegahan yang secara khusus kami maksud sebagai usulan dalam hal ini adalah pemberlakuan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual sejak dini. Berdasarkan peneltian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP Universitas Indonesia, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif, terbukti dapat memberikan kemampuan bagi anak dan remaja untuk memahami otoritas tubuhnya, mengenali tindak kekerasan seksual dan mengajarkan prinsip anti kekerasan sehingga anak dan remaja dapat terhindar dari bahaya kekerasan seksual. Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas ini juga memberikan kemampuan untuk mengendalikan dorongan seksual, memberikan informasi seputar kesehatan reproduksi kepada sesama teman sebaya, serta mencegah anak dan remaja melakukan hubungan seksual beresiko.

SEPERLIMA menuntut pemerintah untuk tidak hanya fokus di pemidanaan sebagai solusi dari masih maraknya kekerasan seksual namun perlu penerapan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) yang komprehensif di sekolah untuk mencegah maraknya kekerasan seksual yang menimpa anak dan remaja. Berdasarkan hal di atas, SEPERLIMA menuntut komitmen pemerintah dalam mendukung terlaksananya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di sekolah lewat produk hukum yang mewajibkan sekolah-sekolah di Indonesia memberikan pendidikan tersebut. Saat ini SEPERLIMA juga sedang melakukan Uji Materi terhadap Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai upaya untuk memastikan adanya jaminan hukum untuk penyelenggaraan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di Indonesia.

Kompetisi dan Diskusi “Understanding Sexual Diversity Around Us”

12 NOVEMBER 2008 “PEREMPUAN YANG MENCINTAI PEREMPUAN”

Institut Pelangi Perempuan
Arus Pelangi

13 NOVEMBER 2008 “REPRESENTASI ISU GAY DI MEDIA MASSA”

Our Voice
Yayasan Inter Medika

14 NOVEMBER 2008 “REPRESENTASI ISU TRANSGENDER DI MEDIA MASSA”

Sanggar Waria
Ardhanary Institute

PENGUMUMAN PEMENANG DAN PENYERAHAN HADIAH LOMBA FOTO, POSTER, DAN ESAI

14 November 2008

PAMERAN FOTO DAN POSTER

Selasar FISIP UI
10-14 November 2008