#HearMeToo Exhibition 2018

Dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2018, Aliansi KITASAMA dan para aktivis lainnya mengadakan pameran baju penyintas kekerasan seksual ‘Saat itu Aku…’ dan karya kolase #HearMeToo.

Pembukaan pameran dilakukan pada tanggal 27 November 2018 di Paviliun 28, Jakarta.

Pameran berlangsung selama 16 hari dari tanggal 25 November-10 Desember 2018.

Female circumcision in Indonesia: between policy and practice

Foto oleh : Reni Kartikawati

Introduction
FGM/C is one of the complex and sensitive topics in the international debate in
the past decades. International communities usually highlight the practice of FGM/C
in African countries which perceived as harmful practice for women. Along with increasing immigrants to Europe, who perform such practices, the debate is also heated
in the European countries. Meanwhile, the practice of FGM/C in Indonesia receives
less attention in the international level. Perhaps there are several reasons. First, the
paucity of FGM/C studies in Indonesia and the lack of international publication.
Sweileh’s study (2016) shows that no single publication on FGM/C in Indonesia
between 1930 – 2015. Second, some experts considered the practice of FGM/C in
Indonesia is less harmful with no physical damage if compared to such practice in
African countries (Ramali 1951 cited in Feillard & Marcoes, 1998, p. 352; Putranti
et.al. 2003). In Indonesia, FGM/C has been discussed as cultural practice to “Is-
lamize” whether in ceremony or secretly done (Feillard & Marcoes, 1998). Although
FGM/C is often related to Islam, yet there are Muslim communities who do not
practice it. The recent survey of Riskesdas (Basic Health Research) in 2013 revealed
that 1 of 2 women has been circumcised (Balitbang Kemenkes 2013).
This paper will address the FGM/C, we use the term female circumcision, based
on our qualitative study in 7 provinces throughout the archipelago in 2015. The first
part will present main findings of our study by highlighting variation and reasons of
female circumcision practice in the studied areas. It will followed by explaining the
policy dynamics on female circumcision which shows the government ambiguity on
this issue. The last part will discuss FC in the context of socio-cultural dynamics of
the contemporary Indonesian society.
Irwan M. Hidayana, Djamilah, Johanna Debora Imelda, Reni Kartikawati and Fatimah Az Zahro
Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil studi kualitatif yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI mengenai sunat perempuan di 7 (tujuh) wilayah Indonesia pada tahun 2015. Tulisan ini menjadi salah satu chapter buku berjudul FGM/C: From Medicine to Critical Anthropology yang diedit oleh Michela Fusaschi dan Giovanna Cavatorta. Buku yang merupakan gabungan tulisan mengenai isu FGM/C dari berbagai negara ini ditulis dalam 3 (tiga) bahasa, yaitu bahasa Inggris, Italia dan Prancis.
Tulisan lengkap dapat diakses pada tautan berikut ini :
http://www.mgf.uab.es/eng/scientific_publications/ProceedingsIV_MAPFGM.pdf?iframe=true&width=100%&height=100%

Elimination of Female Genital Circumcision in Indonesian Transition Society: Revealing a Hope

Foto oleh : Reni Kartikawati

Female Genital Circumcision (FGC) is internationally banned as it violates girls’ human rights and reproductive health. Yet, it has still been applied in some countries as in almost all regions in Indonesia. Through its research, the Gender and Sexuality Study Centre, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia funded by HIVOS comprehensively described the complexity of FGC in Indonesia. The study was conducted in seven provinces using mixed method techniques, which included survey, observation, FGD and in-depth interviews. The study has got ethical qualification from the Faculty of Public Health Universitas Indonesia No. 132/H2.F10/PPM.00.02/2015. The study’s findings presented the complexity of FGC in which they differ in practice in one another accordingly to the pluralistic of Indonesian society. Although some practices were only symbolic action, there were practices which qualified to be categorized as Clitoridotomy (type 1) and other unclassified action (type IV) of WHO classifications to intervene girls’ sexual organ. The study suggested that it is easier to eliminate the FGC in plural-urban society as it gives individual opportunity to independently choose not to do the FGC. Therefore, empowering and raising the awareness of the girls as individual will enlighten the society point of view to the risks of FGC to women’s reproductive health.

,and Sari Damar Ratri2

Artikel ini dibuat berdasarkan hasil studi kualitatif yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI mengenai sunat perempuan di 7 (tujuh) wilayah Indonesia pada tahun 2015. Artikel lengkap dapat diakses pada tautan berikut ini :
https://knepublishing.com/index.php/Kne-Social/article/view/2925/6258

Dua Puluh Tahun Reformasi: Jaringan AKSI mengajak Pemerintah untuk melakukan Pencegahan Perkawinan Anak

Praktik perkawinan anak yang sangat merugikan anak, terutama remaja perempuan, masih banyak terjadi di Indonesia

Kurun waktu 20 tahun perjalanan reformasi kebijakan, Indonesia telah melakukan upaya reformasi hukum perlindungan bagi anak dengan melakukan beberapa langkah pembaruan pasca reformasi. Berawal pada Sidang Istimewa MPR 1998 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indonesia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah.

Salah satu agenda utama reformasi ketika itu adalah penegakan Hak Asasi Manusia yang kemudian ditandai dengan lahirnya UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada Pasal 52 menyatakan bahwa (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Namun sayangnya UU ini masih memberi pengertian sebagai “Setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah”. Hukum yang ada masih belum selaras dan membuat anak yang sudah menikah tidak didefinisikan sebagai anak. Hal ini membuat mereka kehilangan hak perlindungannya.

Tindak lanjut pengakuan anak kemudian dilanjutkan melalui amandemen kedua UUD 1945 pada 18 Agustus 2000, Hak Anak diatur tersendiri dalam Pasal 28B bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Namun begitu, pembatasan hak anak hanya pada manusia yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin masih berlaku. Langkah maju reformasi hak anak di Indonesia kemudian dilahirkan dengan pengesahan UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. UU ini secara nyata mengunifikasikan pengertian anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dengan disahkannya UU ini, maka anak tidak lagi dibedakan berdasarkan status perkawinannya. Pasal 26 ayat (1) huruf d UU ini yang juga telah diamandemen berdasarkan No 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Lewat Pasal 23, Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak. Itu berarti Pemerintah berkewajiban mencegah perkawinan anak.

Komitmen ini juga telah dinyatakan oleh Pemerintah Presiden Joko Widodo. Lewat Peraturan Presiden No 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan bahwa dalam Tujuan 5 tentang Mencapai Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan di Sasaran 3 yaitu menghilangkan segala praktek berbahaya seperti perkawinan anak, dini dan paksa.

Namun sayangnya komitmen tersebut belum sepenuhnya diwujudkan dengan tindakan nyata. Berdasarkan data dari UNICEF, per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 perkawinan anak di dunia, dan posisi ke-2 di Negara ASEAN berdasarkan data the Council on Foreign Relations. Menurut Badan Pusat Statistik, 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun. Provinsi dengan tingkat perkawinan anak paling tinggi adalah Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.

Praktik perkawinan anak masih menjadi tantangan dalam pemenuhan hak remaja perempuan. Hal ini tercermin dari ketentuan dalam UU No 1 tahun 1974 dalam Pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dari sini jelas terlihat ada diskriminasi perlakuan bagi laki-laki dan perempuan di Indonesia. Perkawinan anak dilanggengkan untuk anak perempuan. Yang lebih mengkhawatirkan, Pasal 7 ayat (2) UU ini mendukung dilaksanakannya perkawinan anak dengan mengatur dalam hal yang ingin menikah tidak memenuhi batasan umur yang ditentukan, maka dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Dari ketentuan ini secara jelas terlihat bahwa Pemerintah membuka celah pelanggaran hak anak, khususnya remaja perempuan, untuk mengembangkan diri mereka dan untuk tidak menjadi korban dalam perkawinan anak. Ayat (3) pasal ini sebenarnya telah memberikan safeguard dengan menyatakan bahwa permohonan dispensasi harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai.

Namun lagi-lagi ketentuan tersebut seolah hanya berlaku secara normatif, berdasarkan hasil penelitian Koalisi 18+ dalam Menyingkap Tabir Dispensasi Perkawinan: Penelitian Permohonan Dispensasi Perkawinan Yang Diajukan Kepada PA Di 3 Kabupaten Di Indonesia: Tuban, Bogor Dan Mamuju 2013-2015,dinyatakan bahwa 89% Pengajuan Permohonan Dispensasi Perkawinan Dikarenakan Kekhawatiran Orang Tua, lantas dimana letak persetujuan anak tersebut? Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012 pun dinyatakan 1 dari 4 perempuan menikah pada usia 15-19 tahun. 40.5% anak perempuan menikah dini, dan hanya 5.0% menikah setelah SMA, ini artinya remaja perempuan lewat perkawinan anak kehilangan kesempatannya untuk mengenyam pendidikan.

Upaya untuk menghapus ketentuan pasal ini pun sudah dilakukan dengan diajukannya permohonan judicial review pada tahun 2014 dengan nomor perkara 30 dan 74/PUU-XII/2014, namun permohonan tersebut ditolak dengan dalih bahwa kebijakan mengenai batasan umur merupakan salah satu bentuk open legal policy yang disandarkan pada kewenangan pemerintah untuk menentukan batasan usia tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa masalah ini jelas masalah Hak Asasi Anak yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945, gaung reformasi kebijakan yang mendukung penghormatan hak anak khususnya hak remaja perempuan terletak pada kewenangan Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.

Pemerintah sudah mewacanakan untuk mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegahan perkawinan anak sejak tahun 2016. Namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini. Pemerintah harus memiliki semangat yang sama untuk menghentikan perkawinan anak sesuai dengan komitmen nya sendiri yang sudah dengan bangga dinyatakan dalam Peraturan Presiden No 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Untuk itu, dalam rangka 20 tahun Reformasi, Jaringan AKSI Inklusif dan Inspiratif untuk remaja perempuan (Jaringan AKSI) mengajak Pemerintah untuk:

  1. Mereformasi kebijakan hukum yang berpotensi melanggengkan praktik perkawinan anak di Indonesia
  2. Menghadirkan kebijakan hukum yang menghormati hak anak, khususnya hak remaja perempuan
  3. Segera mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pencegahan Perkawinan Anak sebagai Komitmen Pemerintah dalam mencegah dan menghentikan perkawinan anak

 

Hormat Kami,

Jaringan AKSI

 

Narahubung:

Evie Permata Sari

SAPA Indonesia

Anggota Presidium Jaringan AKSI

+628129676180

 

Jaringan AKSI adalah jaringan para pendukung upaya-upaya perlindungan dan pemberdayaan remaja yang terdiri dari individu, organisasi nonpemerintah dan akademisi/ peneliti dalam memperjuangkan hak-hak anak khususnya kaum remaja untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Jaringan AKSI berdiri pada tanggal 30 November 2016 atas inisitatif sejumlah aktivis dan organisasi non-pemerintah yang disepakati oleh 32 organisasi. Saat ini terdapat 38 lembaga/ organisasi yang tergabung di dalam jaringan.

Kekerasan dan Konstruksi Seksualitas atas Tubuh Perempuan

Photo by : Fatimah Az Zahro

Berdasarkan data CATAHU yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada tahun 2016, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat. Sedangkan terdapat 15.483 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun yang sama. Salah satu jenis kekerasan yang banyak dialami perempuan adalah kekerasan seksual. Di satu sisi, objektivikasi atas tubuh perempuan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Di sisi lain, tidak sedikit perempuan yang ‘patuh’ ataupun tidak berdaya terhadap konstruksi sosial yang terbentuk atas tubuh mereka. Tubuh perempuan dipandang sebagai objek seksualitas laki-laki. Agresi laki-laki dan maskulinitas/kejantanan laki-laki terhadap perempuan juga berperan penting terhadap kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

#fakta #kekerasanseksual #hariperempuaninternasional

Anak Perempuan Butuh Sekolah, Bukan Menikah

designed by : Arief Rahadian

Berdasarkan data studi baseline Yes I Do mengenai perkawinan anak, kehamilan remaja dan sunat perempuan di Kabupaten Sukabumi dan Lombok Barat (2016) oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, diketahui bahwa terdapat 5.19% remaja perempuan usia 15-24 tahun yang putus sekolah akibat perkawinan, sedangkan hanya 0.3% yang dialami oleh remaja laki-laki pada usia yang sama. Secara umum, kurang dari tiga persen responden yang menikah sebelum 18 tahun, tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal. Putus sekolah, khususnya bagi anak perempuan setelah menikah, dianggap sebagai konsekuensi yang harus mereka terima, terlebih jika hal itu diakibatkan oleh kasus kehamilan pra nikah.

#fakta #perkawinananak #hariperempuaninternasional2018