Kekerasan Seksual dan Agama

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta 

Ruang yang dianggap sangat aman bagi sebagian pihak seperti rumah ibadah, nyatanya tidak terlepas dari praktik kekerasan seksual. Dilansir dari laman koran tempo.co, seorang pemilik pondok pesantren di Bogor dan Tangerang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia karena dugaan melakukan tindak pelecehan seksual. Alasan pengaduan tersebut didasarkan atas tuduhan dilakukannya perabaan dan persetubuhan dengan santri perempuan oleh pemilik pesantren.[i]

Belum lama ini, film Spotlight yang mendapatkan penghargaan film terbaik Oscar 2016 juga menyoroti tindak pedofilia yang terjadi di kalangan biarawan gereja Katolik di Boston, Amerika Serikat. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut diambil dari hasil investigasi wartawan the Boston Globe pada kurun waktu 2001-2003. Walaupun tidak dapat dipastikan keterkaitannya secara langsung, namun setelah film tersebut dirilis berbagai kesaksian tentang kasus pelecehan seksual terhadap anak di dunia mulai terungkap. Reuters dalam tempo.co menyajikan kesaksian bendahara Vatikan, Pell (2016), terkait masalah pelecehan sistemik dalam tubuh gereja Katolik yang melibatkan ratusan anak di Australia pada tahun 1960-1190. Kesaksian tersebut dilakukan di hadapan Australian Royal Commission, Lembaga Peradilan untuk kasus Pelecehan Seksual Anak.[ii]

Berdasarkan ilustrasi dari dua kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam institusi keagamaan di atas, dapat dilihat bahwa pelaku kekerasan seksual adalah pihak yang memiliki kuasa lebih atas korbannya. Posisi kuasa lebih tinggi di dalam suatu institusi menciptakan ruang untuk menunjukkan dominasi hasrat seksual kepada pihak yang lebih lemah. Keenan (2006) mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kewajiban untuk hidup selibat sebagai seorang biarawan dengan praktik pelecehan seksual terhadap anak. Hidup tidak menikah yang menjadi salah satu kewajiban bagi biarawan dan biarawati seharusnya bukan menjadi alasan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan di balik tembok biara. Praktik hidup selibat nyatanya tidak berakhir pada tindakan pelecehan seksual pada sebagian besar biarawan dan biarawati yang menjalankannya. Namun, ia menjelaskan bahwa hidup selibat rentan terhadap konflik personal, terlebih ketika secara institusional gereja Katolik sendiri melarang seks dalam bentuk apapun bagi biarawan. Namun di lain sisi, ia harus hidup di bawah pengajaran agama Katolik sendiri tentang seksualitas. Lebih lanjut, isu pelecehan anak dalam gereja secara dilematis menyentuh isu yang sangat personal/individual maupun kelembagaan; otoritas dan struktur kuasa.[iii]

Sedikit berbeda, di dalam pesantren tidak ada kewajiban untuk hidup selibat bagi pemimpin agamanya seperti dalam gereja Katolik. Akan tetapi, hal tersebut tidak meniadakan praktik kekerasan seksual di dalam institusi mereka. Kekerasan seksual adalah bentuk perolehan kuasa dan perasaan untuk mendominasi orang lain. Dominasi atas kuasa dan kontrol atas tubuh seseorang dapat terjadi di berbagai ranah, termasuk di balik tembok biara maupun pesantren, tempat yang dianggap ‘aman’ bagi orangtua untuk membiarkan anaknya beraktivitas dan belajar ilmu agama.

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak banyak kasus kekerasan seksual di dalam institusi agama bisa dengan mudah terungkap? Keengganan untuk mengungkap kasus tersebut terjadi karena perbedaan status yang membuat korban lebih banyak memilih diam. Pemuka agama yang secara sosial lekat dengan penilaian moral sebagai pribadi yang baik, dianggap jauh dari hal-hal tercela yang umumnya dilakukan oleh mereka yang liyan. Status sebagai pemimpin agama yang terpandang, dihormati dan menjadi representasi agama yang dianut membuat korban ataupun orang tua korban enggan bahkan takut untuk memperkarakannya. Akankah kebenaran bisa terungkap, jika keadilan hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berkuasa? Deskripsi kasus-kasus di atas merupakan contoh dari kesulitan yang ditemui dalam kasus pelecehan seksual; ketika moral dan agama menjadi tameng dan ditujukan untuk menaklukan mereka yang lemah dan tak berdaya.

Penyunting : Sari Damar Ratri

[i] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2015/09/17/079701510/diduga-mencabuli-santri-pemilik-pesantren-diadukan-ke-kpai

[ii] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2016/03/06/117751206/korban-pelecehan-seksual-kecewa-kepada-paus-fransiskus

[iii] Marie Keenan, January 2006, “The Institution and the Individual : Child Sexual Abuse by Clergy”. The Furrow. Volume 57, No. 1, p. 5-7.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *