Kerentanan dan Ketahanan Kelompok Minoritas Seksual dalam Pandemi Covid-19

Oleh:
Diana Pakasi
Nadira Chairani

Bulan Juni lalu, baru saja dirayakan Pride Month dan Hari Internasional Anti Homofobia dan Transfobia (IDAHOT). Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan tahun ini di Indonesia tidak diramaikan oleh parade luring yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI. Pandemi Covid-19 membuat perayaan di jalan utama Ibukota berganti menjadi rangkaian diskusi daring dengan format webinar. Namun, dampak dari pandemi tentunya tidak hanya pada bagaimana Pride Month dirayakan, lebih dalam, pandemi memberikan berbagai kerentanan baru pada kelompok LGBTI sebagai kelompok minoritas. Tulisan ini bertujuan untuk memotret bagaimana pandemi Covid-19 menambah lapisan kerentanan baru pada komunitas LGBTI dan cara-cara yang mereka lakukan agar dapat bertahan di tengah pandemi ini.

Kerentanan kelompok minoritas seksual: sebelum pandemi

Sebelum pandemi, studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa LGBTI di Indonesia mengalami berbagai persoalan di kehidupan sosial mereka. Mereka mendapatkan stigma sebagai ancaman moral dan penyakit sosial (Hidayana, 2018), diskriminasi (Khanis, 2013), dan kekerasan dari lingkungan keluarga, komunitas hingga aparat negara (Rolnik, 2013). Selaras dengan studi-studi tersebut, penelitian Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2019 terhadap komunitas lesbian, perempuan biseksual, dan trans laki-laki menunjukkan bahwa mereka menghadapi kerentanan yang berlapis dari berbagai aspek: ekonomi, kesehatan, dan sosial politik. Dari sisi ekonomi, sebagian besar responden tidak memiliki tempat tinggal sendiri yaitu 73% tinggal di kontrakan atau kos-kosan. Meskipun sebagian besar dari mereka (87%) bekerja, bahkan memiliki lebih dari satu pekerjaan. Namun, 70% responden mengaku pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan, 58% responden mengaku meminjam uang pada rentenir atau aplikasi peminjaman uang secara daring dengan bunga yang mencekik. Dari sisi kesehatan, responden mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Terdapat beberapa responden (17%) yang menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan ketika sakit karena mereka memiliki pengalaman buruk didiskriminasi dan/atau dilecehkan oleh tenaga kesehatan, sementara 10% responden menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran akan mendapatkan diskriminasi karena identitas gender dan seksual mereka. Lebih lanjut, sebanyak 37% responden tidak memiliki asuransi kesehatan apa pun. Ketidakpemilikan atas asuransi kesehatan, terutama Kartu Indonesia Sehat, dikarenakan mereka tidak memiliki KTP.

Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi responden adalah sulitnya mendapatkan KTP yang menjadikan mereka tereksklusi sebagai warga negara. Sebanyak 13% respoden mengaku bahwa mereka tidak memiliki KTP dengan berbagai alasan antara lain mereka tinggal secara mandiri terpisah dari keluarga mereka sejak usia anak, sehingga mereka tidak memiliki kartu keluarga di tempat tinggalnya saat ini, atau tidak memiliki akte kelahiran.

Persoalan lain yang menonjol adalah pengalaman kekerasan. Sebanyak 70% responden mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan kekerasan dari pasangan mereka, 70% juga menyatakan mendapatkan kekerasan dari keluarga mereka, 20% responden mengaku mendapatkan kekerasan dari komunitas di tempat mereka tinggal, 17% dari polisi, 17% dari kelompok keagamaan, 13% dari aparat pemerintah (terutama satpol PP), dan 7% dari tempat kerja. Ketika mendapatkan kekerasan, hanya 17% responden meminta bantuan hukum, sementara 33% responden meminta bantuan keluarga, 33% lainnya meminta bantuan pihak yang terpercaya (teman, tetangga, kelompok/organisasi sosial yang dikenal), dan 17% lainnya tidak meminta bantuan dari siapa pun.

Masa pandemi: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Dengan kerentanan yang beragam dan berlapis, masa pandemi menambah berat beban dalam kehidupan LGBTI. Dalam rangka menyambut IDAHOBIT, pada tanggal 17 Mei 2020  diselenggarakan satu webinar oleh YIFOS dan Sejuk yang bekerja sama dengan GAYa Nusantara bertemakan kehidupan komunitas LGBTI di Indonesia selama pandemi. Dari hasil webinar tersebut, terungkap bahwa pandemi berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan psikologis komunitas LGBTI.

Pandemi memberikan dampak yang buruk terhadap ekonomi Indonesia. Dampak ini pun sangat terasa pada kehidupan ekonomi LGBTI. LGBTI yang sudah mengalami marginalisasi ekonomi – seperti diuraikan sebelumnya – selama pandemi mengalami kehilangan pendapatan karena pemutusan hubungan kerja atau tutupnya usaha kecil mereka. Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Sejuk dan GAYa Nusantara disebutkan bahwa LGBTI yang berjualan makanan mendapatkan stigma karena ketidakpercayaan konsumen terhadap sanitasi produk mereka. Tidak adanya pendapatan, semakin membuat mereka terjerumus dalam lilitan hutang. Terdapat pula transpuan yang terpaksa tetap bekerja di salon atau sebagai pekerja seks untuk bertahan hidup, meski sepi pelanggan dan memiliki risiko tertular Covid-19. Beratnya bertahan hidup di tengah pandemi, diibaratkan oleh salah satu komunitas transpuan ‘hidup seperti orang mati perlahan-lahan’.

Karena sebagian LGBTI tidak memiliki KTP, ditambah dengan stigma dan diskriminasi, mereka tidak dapat mengakses bantuan sosial. Untuk membantu komunitas LGBTI yang sulit bertahan hidup di masa pandemi, beberapa organisasi seperti Arus Pelangi, Sanggar Swara, Sanggar Seroja, Queer Language Club membuka donasi dan membagikan sembako, nasi bungkus, atau barang modal usaha kepada LGBTI yang membutuhkan.

Pada masa pandemi, LGBTI juga semakin rentan mengalami kekerasan. Terlebih, terdapat kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pandemi Covid-19 adalah kutukan atau azab dari Tuhan karena semakin banyaknya jumlah LGBTI. Homofobia dan transfobia pada masa pandemi selalu mengintai di tengah-tengah beratnya LGBTI bertahan hidup. Sering kali hal tersebut termanifestasi dalam bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan. Awal pandemi di Indonesia diwarnai dengan kekerasan keji terhadap seorang transpuan, Mira, yang dibakar hidup-hidup. Pada akhir April, Ferdinan Paleka, Youtuber, mengelabui transpuan dengan berpura-pura membagikan satu kotak sembako yang ternyata berisi sampah. Kasus lain, LGBTI yang bekerja di luar rumah menceritakan pengalamannya menghadapi kekerasan dan pemerasan oleh Satpol PP.  Namun, mereka cenderung untuk tidak melapor karena takut mendapatkan serangan balik atau persekusi (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020).

Kekerasan yang dialami oleh LGBTI di lingkungan keluarga juga dilaporkan. Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), LGBTI merasa ‘terkurung’ di tempat tinggal mereka dan juga menjadi obyek surveilans dari keluarga mereka (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020). Dalam Webinar tersebut juga diungkap kasus kekerasan dari keluarga, terutama trans laki-laki, yang dipaksa untuk berpenampilan feminin, atau bahkan diminta menikah dengan laki-laki pilihan keluarga. Kekerasan ini jelas memberi beban psikologis pada komunitas LGBTI. Pada komunitas trans yang berada pada masa transisi, beban akan bertambah lagi dengan sulitnya mengakses hormon pada situasi COVID-19.

Ketahanan kelompok minoritas seksual: gerakan filantropi dan penguatan media baru

Dampak ekonomi yang berat pada komunitas LGBTI telah membuat beberapa organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI menjalankan fungsi sebagai lembaga filantropi yang membagikan bahan pangan atau bantuan modal usaha. Bahkan, aksi filantropi ini juga melibatkan masyarakat umum yang peduli dengan persoalan kerentanan ekonomi kaum marginal. Tidak hanya di Jakarta, aksi filantropi ini juga terjadi di daerah lainnya, seperti Surabaya, Yogyakarta, Maumere, dan Manado. Pengorganisasian kelompok masyarakat sipil tersebut menunjukkan ketahanan (resilience) komunitas LGBTI di tengah-tengah pandemi.

Salah satu inisiatif kegiatan yang diinisiasi oleh YIFOS, yaitu dengan mengajarkan keterampilan untuk bercocok tanam yang disertai dengan pendampingan intensif oleh ahli. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberi kapasitas khususnya pada komunitas LGBTIQ rentan dan kelompok agama/kepercayaan minoritas yang rentan, sehingga dapat mengetahui cara produksi bahan makanan sendiri. Organisasi transgender di Indonesia yaitu Sanggar Swara dan TI (Transmen Indonesia) melakukan pengumpulan dana yang kemudian didistribusikan kepada komunitas transgender yang membutuhkan bantuan. Sanggar Seroja memiliki cara lain untuk mengumpulkan dana yang hendak disalurkan kepada komunitas transpuan yang membutuhkan bantuan, yaitu dengan mengadakan kegiatan seni secara daring. Karya seni yang ditampilkan dalam pentas seni daring tersebut berupa tari tradisional, video klip, puisi, serta film dokumenter.

Acara penggalangan dana oleh Sanggar Seroja dalam acara seni daring

Pemberlakukan PSBB dan kontak fisik, membuat berbagai advokasi, kampanye, dan penyadaran isu dilakukan secara daring. Hal ini memiliki kekuatan. Sebelumnya banyak aksi dan pertemuan komunitas LGBTI yang dipersekusi oleh organisasi massa dan dibubarkan secara paksa oleh aparat. Dengan aksi dan pertemuan dunia maya dengan platform yang dijamin sekuritasnya, acara menjadi lebih aman dari risiko persekusi, kekerasan, dan pembubaran. Lebih lanjut, platform diskusi digital telah memperluas partisipasi komunitas-komunitas LGBTI. Pada peringatan IDAHOT lalu, berbagai webinar diselenggarakan, diikuti oleh partisipan dan pembicara dari berbagai kota di Indonesia dan menyatukan berbagai organisasi dan komunitas LGBTI.

Aksi solidaritas dan advokasi oleh organisasi LGBTI melalui daring juga terbukti mendapat perhatian luas. Pada kasus Mira, misalnya, kelompok-kelompok masyarakat sipil mengunggah video pendek di media sosial mereka dengan menyalakan lilin untuk menuntut keadilan untuk Mira. Pada kasus Youtuber Ferdinan Paleka, sejak unggahannya menjadi meluas, kecaman publik terhadap pelaku semakin besar pula. Hal ini memberikan tekanan pada polisi untuk menangkap dan memidanakan pelaku. Selain itu, berbagai kelompok masyarakat sipil melalui media sosial melakukan penyadaran isu kekerasan terhadap transpuan.

Maraknya webinar, solidaritas dan advokasi secara daring yang meningkat selama masa pandemi menjadikan platform digital sebagai instrumen baru untuk penguatan gerakan LGBTI. Kita semua sedang bertransformasi secara lebih luas untuk kerja melalui berbagai platform digital. Komunitas LGBTI menunjukkan bahwa mereka secara cepat dapat menguasai dunia digital yang merupakan modal untuk bertahan di tengah pandemi.  

Referensi:

Hidayana, I. (2018). LGBT and social inclusion in Indonesia: what the surveys say?. Retrieved March 13, 2018, from http://theconversation.com/lgbt-and-social-inclusion-in-indonesia-what-the-surveis-say-91334

Khanis, S. (2013). Human Rights and the LGBTI Movement in Indonesia. Asian Journal of Women’s Studies, 19(1), 127–138. https://doi.org/10.1080/12259276.2013.11666145

Rolnik, R. (2013). Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *