Pembanguan dan Kontradiksinya: Sebuah Refleksi

Oleh: Sari Ratri[1]

Sejak setahun yang lalu, sebuah gedung bangunan baru, berdiri di Desa Tandima[2], di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bangunan tersebut merupakan Gedung Pustu (Puskesmas Pembantu) tambahan untuk warga di desa. Desa Tandima memiliki empat dusun yang berjarak cukup berjauhan. Dusun Manggalu, Dusun Telo, Dusun Rana, dan Dusun Bonga. Kecuali Dusun Telo yang letaknya lebih dekat dengan Puskemas di kota kecamatan, para warga di ketiga dusun lainnya mengakses layanan kesehatan dasar di Pustu yang berada di Dusun Manggalu. Kali ini, pustu yang baru, terletak di Dusun Bonga. Para ibu di Dusun Bonga, pikir saya, tidak perlu lagi berjalan jauh untuk memeriksakan kehamilan mereka dengan adanya Pustu yang baru, yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

Gambar 1:
Bangunan Pustu di Dusun Bonga
Foto: Hestu Prahara

Di kali ketiga kedatangan saya ke desa ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di Tandima. Pada tahun 2015, jalan yang menghubungkan satu dusun ke dusun lain masih belum diperbaiki. Dalam kesempatan diskusi terfokus yang pernah saya lakukan, “kendala jalan yang tidak baik” menjadi salah satu keluhan utama para ibu yang kemudian mengabsahkan penjelasan para aktor pembangunan akan alasan kelahiran di rumah. Sejak tahun 2009, kelahiran di rumah tidak lagi diijinkan di seluruh Profinsi Nusa Tenggara Timur karena kehadiran program Revolusi KIA. Tentu tidak semua ibu yang melahirkan di rumah, menggunakan alasan yang sama ketika menjelaskan dan memahami pengalaman mereka melahirkan yang terjadi di rumah masing-masing.

Saat kembali di tahun 2017, hampir seluruh jalan di Desa Tandima telah berubah menjadi jalan aspalt. Hanya tertinggal sekitar lima ratus meter saja, jalan menuju ke rumah kepala desa yang masih berbatu. Kemudian, di tahun 2019, tiang-tiang listrik sudah terpasang di pinggir jalan utama yang membelah desa ini. Air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) ke setiap sumur warga dan sinyal 4G pun sudah ada. Luar biasa! Cepat sekali perubahan di desa ini, saya perhatikan.

Perbaikan infrastruktur di Desa Tandima mengingatkan saya akan temuan Jesse H. Grayman (2017) dalam penelitiannya di Manggarai Timur mengenai penerapan intervensi pembangunan berbasis masyarakat. Grayman (2017) menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan desa, khususnya di Nusa Tenggara, “kendala geografis,” “lanskap topografi yang sulit ditempuh,” umum diutarakan oleh beragam aktor (pemerintah, para ahli, maupun orang di desa) sebagai bagian dari wacana yang digunakan untuk menjelaskan hambatan percepatan pembangunan kesehatan desa. Saya setuju bahwa metafor geografi seperti “medan” dan “lapangan” bukanlah ujaran netral tanpa makna politik (Grayman 2017:67). Alih-alih, sebagai contoh, metafor tersebut memungkinkan lahirnya interfensi program lainnya, termasuk pembangunan jalan yang terjadi di Desa Tandima. Artinya, metafor-metafor yang diucapkan, memiliki kekuatan untuk menggerakan atau paling tidak mempengaruhi pemahaman publik akan hal-hal yang dianggap sebagai kendala pembangunan.

Saya melihat perbaikan jalan dan pembangunan fasilitas pendukung kebutuhan masyarakat desa, sebagai salah satu hasil dari pembentukan wacana tentang “masalah” pembangunan. Ujaran tersebut diutarakan dengan menggunakan metafor geografis yang dianggap bernuansa teknis dan non-politis. Akan tetapi, metafor geografis, nyatanya, mengarahkan perhatian seseorang hanya pada persoalan infrastruktur. Dampaknya, menurut saya, terdapat isu lain yang tidak tampak dan tak terdengar ketika pembangunan hanya dibayangkan sebagai persoalan keterbatasan infrastruktur.

Bila ujaran geografis mampu menggerakan roda perputaran praktik pembangunan, apakah hasil pembangunan lantas bisa dirasakan secara merata oleh seluruh warga desa? Jawaban dari pertanyaan tersebut, tentu tidak sederhana. Dalam refleksi singkat saya tentang pembangunan desa, saya mencoba menampilkan narasi yang lain dari kondisi pembangunan desa. Saya sadar bahwa tulisan ini tidak mampu menjawab pertanyaan yang saya ajukan secara menyeluruh. Penggalan etnografis yang akan saya sajikan berikutnya adalah tentang sebuah keluarga di Dusun Bonga dan pengalaman mereka dengan pembangunan.

Nde Marina adalah seorang petani yang tinggal di rumah berdinding bambu di pinggir tebing, di ujung Dusun Bonga. Ia tinggal bersama suaminya, Fradus. Saat bertemu pertama kali dengan pasangan ini di tahun 2017, mereka bercerita bahwa enam orang anaknya pergi merantau ke luar desa. Si bungsu baru saja masuk ke sekolah kejuruan di Kota Ruteng. Anak ketiga dan keempat mereka merantau di Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan mereka ke perguruan tinggi swasta. Anak kelima mereka masih berada di Makassar dan saat itu sedang menyelesaikan pendidikan perawatan di kota tersebut.

Gambar 2:
Keran di Dusun Manggalu, sumber air bagi yang belum memiliki saluran air pribadi.
Foto: Hestu Prahara

Saat saya kembali bertemu dengan Nde Marina dan Pak Fradus, mereka masih menempati rumah yang sama. Yang berbeda hanya tambahan ruang dapur. Rumah mereka masih berdinding bambu. Program bantuan rumah layak huni bagi rakyat miskin yang saat ini marak digalakkan dalam pembangunan desa, tidak lantas menyediakan rumah bendinding batu untuk pasangan ini. Saat sebagain besar warga di Desa Tandima telah memiliki saluran air bersih ke rumah masing-masing, Nde Marina dan Pak Fradus masih mandi dan mengambil air di aliran sungai tidak jauh dari rumah mereka. Ketika rumah-rumah di desa telah memasang penerangan sebagai hasil dari masuknya listrik ke desa, Nde Rina dan Pak Fradus tetap menggunakan lampu minyak yang mereka buat sendiri.

Dalam pertemuan kali ini, anggota keluarga Nde Rina bertambah. Anak sulung mereka, Yofina, datang bersama kedua anaknya dari Timika, Papua Barat. Yofina berbicara dengan logat yang berbeda dari kebanyakan orang Manggarai yang pernah saya temui. Ia telah lama menetap di Timika bersama suami dan kedua orang anaknya. Suami Yofina bekerja sebagai penambang disana. Kembalinya Yofina ke Desa Tandima, mengikuti saran Nde Rina dan Pak Fradus untuk menghemat pengeluaran. Lokasi sekolah di Timika yang berada di kota kecamatan membuat anak Yofina sering meminta uang jajan. “Kalau di desa kan mereka punya anak tidak bisa jajan, sebab disini tidak ada yang berjualan, biar dia tinggal dengan kami, mamanya saja yang kembali ke Timika” ucap Pak Fradus.

Nde Rina kemudian bercerita kepada saya, bahwa Yofina hanya tamat sampai Sekolah Dasar (SD). “Waktu saudari nya sekolah, itu dia [Yofina] yang usaha,” Nde Rina bercerita. Ucapan Nde Rina membuat saya berpikir, tentang bagaimana setiap individu mengalami pembangunan secara berbeda-beda. Jika pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan sebuah negara dan kualitas sumber daya manusia, pengalaman Yofina menyajikan ironi dari pembangunan. Paham moderen dan bayangan akan kemajuan yang disampaikan lewat system pendidikan, nyatanya menuntut sebagian orang untuk mengorbankan dirinya agar orang lain dapat mengalami pembangunan secara ideal. Agar saudarinya bisa meraih pendidikan, Yofina tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya. Dan kini, agar anaknya sekolah tanpa harus mengganggu tatanan ekonomi yang selama ini ia telah rancang bersama suaminya melalui bekerja di kota lain, Yofina harus menitipkan anaknya kepada orang tua di desa.  

Dua cerita tentang pembanguna desa yang saya sajikan dalam tulisan ini memotret pembangunan secara berbeda. Cerita pertama merupakan pengalaman saya ketika melihat pembangunan infrastruktur di desa yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun. Cerita kedua menggambarkan pertemuan saya dengan sebuah keluarga yang membantu saya melihat bagaimana keluarga tersebut mengalami pembangunan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Percepatan pembangunan infrastruktur, tidak lantas mengantarkan setiap individu ke gerbang kemajuan sebagaimana wacana tentang pembangunan sering digaungkan. Keluarga Nde Marina, menyiratkan bahwa, mesin pembangunan tidak lah bekerja secara otomatis. Agar wacana pembangunan yang ideal tetap tereproduksi, setiap individu harus “berstrategi” sesuai dengan kondisi realitas keseharian mereka. Strategi individu dalam menavigasi pembangunan lah, yang saya duga justru mengakomodasi dan memfasilitasi perputaran mesin pembangunan yang seringkali tak muncul dalam representasi yang disajikan dalam perbaikan insfrastruktur. Strategi di level individu ini yang saya kira penting untuk diperhatikan ketika hendak mamahami pembangunan dan kontradiksinya.

Acuan tulisan yang digunakan:

Grayman, J. H. (2017). “Topography and Scale in a Community-driven maternal and child health program in Eastern Indonesia” Medicine Anthropology Theory. Vol 4(1):46—78.

[1] Sari Ratri adalah mahasiswa doctoral pada Departemen Antropologi, di Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis melakukan penelitian dengan fasilitasi dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

[2] Seluruh nama (orang, desa dan dusun) dalam esai ini menggunakan nama samaran untuk menjamin kerahasiaan identitas dari para informan. Sedangkan Kabupaten Manggarai, merupakan salah satu daerah administratif di Profinsi Nusa Tenggara Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *