Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc

Seperlima menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review UU Sisdiknas

IMG-20151104-WA0001

IMG-20151104-WA0002

Siang ini, teman-teman Seperlima yang melakukan judicial review terhadap UU Sisdiknas menunggu putusan MK. Setelah menunggu lebih dari enam bulan lamanya, MK menghubungi Seperlima sebagai pemohon untuk mendengarkan putusan. Putusan MK yang hari ini, 4 Nopember 2015 akan dibacakan merupakan putusan tanpa sidang.

Tanpa sidang, Seperlima kehilangan kesempatan untuk memberikan kesaksian dan bukti-bukti tidak adanya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komperehensif bagi remaja Indonesia. Temuan Puska Genseks FISIP UI,  dalam penelitian Penguatan Akses Remaja pada Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan bahwa tanpa pengetahuan yang cukup, remaja cenderung terjebak dalam seks berisiko. Tanpa kemampuan memenej dorongan seksual, remaja di Indonesia semakin rentan terpapar ancaman lain yang merenggut kebahagiaan dan masa depan mereka seperti, kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, kekerasan seksual dan lainnya. Berdasarkan temuan inilah, Seperlima melakukan Judicial Review terhadap UU Sisdiknas yang menghendaki adanya jaminan insersi materi Kespro dan Seksual pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Olahraga. Argumen dasar Seperlima, bahwa kata kesehatan dalam mapel Penjaskesor sepatutnya mencerminkan kesehatan dalam arti yang menyuluruh, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual.

Seperlima merupakan gugus kerja yang terdiri dari Puska Genseks Fisip UI, Yayasan Rahima, PKBI, Pamflet dan HIVOS. Sejak tahun 2012 Seperlima mengusung upaya penyediaan pendidikan kespro dan seksual yang komperehensif bagi remaja di seluruh Indonesia.