Body and Social Mapping, Metode Operational Research YID 2019

Oleh: Fatimah Az Zahro

Pada tanggal 4-16 Juli 2019 yang lalu, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI telah melaksanakan kegiatan pengumpulan data lapangan dalam rangka penelitian Operational Research Program Yes I Do. Operational Research ini bertujuan untuk memahami bagaimana remaja menjalankan agensi dan dukungan yang dimiliki remaja, terkait dengan permasalahan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang mereka hadapi.

Pengumpulan data dilakukan di dua desa di Kabupaten Sukabumi, yakni Desa Limbangan dan Desa Cikelat. Kegiatan ini dimulai dengan pertemuan dengan anggota Aliansi YID Sukabumi sebagai implementor program di wilayah Sukabumi. Aliansi YID Sukabumi terdiri dari PKBI Sukabumi, ARI Sukabumi, LPAR, dan PUPUK. Dalam pertemuan ini, didapatkan gambaran umum mengenai kondisi kehidupan remaja sehari-hari serta kegiatan-kegiatan program YID yang telah diimplementasikan. Hal ini menjadi informasi awal bagi peneliti untuk memulai proses pengumpulan data langsung di lapangan. Selanjutnya di kedua desa, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam dan FGD dalam mengumpulkan data.

Dalam wawancara mendalam dengan remaja, remaja diminta untuk melengkapi cerita di mana remaja bebas untuk menceritakan kehidupannya sendiri maupun mengembangkan imajinasinya dan menciptakan karakter fiksional. Proses melengkapi cerita ini membantu peneliti untuk memahami kegiatan sehari-hari remaja, serta aspirasi dan cita-cita remaja. Kegiatan ini juga digunakan sebagai pemantik untuk perbincangan selanjutnya, seperti kesenjangan antara aspirasi dan sarana yang tersedia.

Dalam FGD, peneliti menggunakan metode body mapping dan social mapping. Body mapping dilakukan untuk memahami pengetahuan remaja atas tubuhnya sendiri dan pengetahuan remaja atas kesehatan seksual dan reproduksi. Body mapping menjadi bagian yang paling disukai remaja, karena mereka bebas untuk menggambarkan dirinya sendiri dan selanjutnya bisa memasangkan pakaian pada gambar yang telah dibuat.

Salah satu contoh hasil body mapping laki-laki dalam FGD remaja
Salah satu karakter fiksional yang dibuat berdasarkan hasil diskusi dalam FGD remaja perempuan

Melalui metode ini, peneliti dapat memahami sejauh mana remaja mengerti proses yang terjadi dalam tubuhnya, mitos-mitos yang berkembang di masyarakat terkait hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, serta adanya kesenjangan antara imajinasi remaja dengan kontrol sosial yang mengekang di masyarakat.

Sedangkan metode social mapping dilakukan untuk memahami kehidupan di desa dari sudut pandang remaja, seperti misalnya tempat apa saja yang penting bagi remaja, titik-titik kumpul remaja, serta lokasi di mana remaja biasa pacaran. Keseluruhan metode ini menjadi jembatan bagi peneliti untuk menggali lebih informasi yang lebih dalam dari para remaja.

Menolak Raperda Anti LGBT di Depok

oleh: Irwan M. Hidayana

Beberapa minggu terakhir ini wacana tentang Raperda Anti LGBT yang digagas oleh DPRD Kota Depok ramai diliput media daring. Raperda ini diklaim sudah mendapat persetujuan Mendagri dan semua fraksi dalam DPRD Kota Depok [1]. Salah satu alasan utama munculnya Raperda ini karena jumlah gay terus meningkat berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kota Depok[2]. Alasan lainnya adalah LGBT dipandang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua[3], sebagaimana diutarakan oleh salah satu anggota DPRD Kota Depok.

Raperda anti LGBT ini memperlihatkan cara berpikir yang moralistik serta klaim kebenaran. Argumen meningkatnya jumlah gay sehingga perlu peraturan untuk mengontrolnya merupakan sikap diskriminatif dan stigmatisasi pada kelompok tertentu. Secara tersirat, argumen ini juga menstigma kelompok gay sebagai orang dengan HIV dan AIDS. Padahal, siapapun rentan terinfeksi HIV apabila berperilaku seksual yang beresiko. Secara nasional, infeksi HIV pada kelompok heteroseksual lebih tinggi dari pada kelompok lainnya. Jelas Raperda ini berpotensi mendorong persekusi dan tindakan main hakim sendiri dari kelompok-kelompok tertentu di masyarakat mengingat persoalan penegakan hukum masih menjadi salah satu kelemahan dalam sistem hukum Indonesia.

Argumen bahwa LGBT bertentangan dengan Pancasila juga patut dipertanyakan. Keragaman manusia adalah hal yang inheren pada masyarakat Indonesia. Keragaman bukan semata etnis, agama, kelas sosial atau ras tetapi juga identitas gender dan seksualitas. Ketika LGBT dipandang melanggar norma agama maka yang dipertanyakan adalah mengapa mengedepankan cara-cara diskriminatif dan peminggiran terhadap kelompok tertentu. Bagaimana agama dapat membawa kemashalatan bagi manusia jika melakukan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap sesama manusia? Di mana sisi kemanusiaan dari agama? Apakah Raperda anti LGBT mencerminkan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab?

Masyarakat Cinta Depok[4] dan Persaudaraan Waria Depok (Perwade) telah melancarkan protes atas bergulirnya Raperda anti LGBT[5] ini. Mereka berpendapat bahwa Raperda ini bertentangan dengan prinsip HAM padahal Indonesia telah memiliki Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Perwade memprotes karena khawatir akan tindakan persekusi dari kelompok-kelompok intoleran terhadap transgender akan semakin meningkat. Pada akhirnya Raperda Anti LGBT memang harus ditolak karena justru bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945 yang menjamin kesetaraan warga negara Indonesia. Seperti John Stoltenberg mengatakan ‘And laws about sex have been especially unhelpful, for they tend to serve the interest of the powerful and betray those who are powerless’[6] (2000:137).


[1] https://www.viva.co.id/berita/metro/1168835-kajian-telah-lengkap-depok-segera-keluarkan-perda-anti-lgbt

[2] https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/22/ada-5791-gay-di-kota-depok-dprd-dorong-lahirnya-perda-anti-lgbt

[3] https://jabar.suara.com/read/2019/07/21/201555/depok-akan-rancang-perda-anti-lgbt-inisiatornya-partai-gerindra

[4] https://metro.tempo.co/read/1226702/raperda-anti-lgbt-ditolak-masyarakat-cinta-depok-bicara/full&view=ok

[5] https://www.merdeka.com/peristiwa/persatuan-waria-protes-rancangan-perda-anti-lgbt-di-depok.html

[6] Stoltenberg, J. (2000). Refusing to be a man. Essays on Sex and Justice. Revised edition. London: UC: Press.

Kick Off Workshop: Qualitative Research Methods Refresher Training

Pada tanggal 28-29 Juni 2019, Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI mengadakan Kick Off Workshop: Qualitative Research Methods Refresher Training. Training ini ditujukan untuk para peneliti Puska Gender dan Seksualitas sebagai pembekalan sebelum melakukan pengumpulan data untuk penelitian “Agensi dan Dukungan bagi Remaja untuk Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual”. Penelitian ini merupakan penelitian operasional untuk program Yes I Do di Indonesia.

Dalam training ini, selain membahas isu Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, instrumen penelitian, etika dan protocol penelitian, para peneliti juga melakukan role-play untuk metode yang kreatif untuk penelitian yang melibatkan remaja seperti body-map, village-map, photo elicitation, dan story completion.

Qualitative Research Methods and Skill Training

Pada tanggal 7-10 Mei 2019, KIT Netherlands, Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI, bersama Aliansi Yes I Do (Rutgers, Plan, ARI) menyelenggarakan “Qualitative Research Methods and Skill Training” sebagai bagian untuk mempersiapkan riset operasional tahun 2019 untuk program Yes I Do di Indonesia. Training ini diselenggarakan di kantor Plan Indonesia dengan KIT dan Puska Gender dan Seksualitas sebagai fasilitator.

Dalam training ini para peserta mendapatkan penyegaran materi mengenai riset kualitatif dan etika penelitian, serta bersama-sama merumuskan topik, pertanyaan penelitian, hingga teknik pengumpulan data yang tepat bagi program Yes I Do.

Melalui proses ini diharapkan riset menjadi partisipatif, relevan, dan hasil riset dapat berguna bagi program Yes I Do ke depan.