PENTINGNYA PELIBATAN ANAK, KELUARGA DAN KOMUNITAS DALAM MEMUTUS RANTAI KEKERASAN PADA ANAK DALAM MASA PANDEMI

Oleh: Reni Kartikawati

Indonesia masih dikejutkan dengan angka kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat setiap tahunnya, tidak terkecuali pada masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual (www.kemenpppa.go.id). Angka ini meningkat tajam jika dibandingkan data tahun 2019 sebanyak 1.192 kasus laporan (https://jabar.idntimes.com). Lebih lanjut, berdasarkan hasil laporan Wahana Visi Indonesia tahun 2020, mengenai “Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia” menyebutkan bahwa hampir dua pertiga anak mengaku justru mengalami kekerasan verbal dari orang tuanya (61,5%), dan anak mengaku mengalami kekerasan fisik (11,3%), saat harus belajar di rumah atau work from home ‘WFH’ (https://www.wahanavisi.org/).

Melihat angka kasus kekerasan pada anak yang semakin meningkat setiap tahunnya, pencegahan kekerasan pada anak menjadi hal yang harus lakukan dengan serius oleh pemerintah, seluruh elemen masyarakat, dan tidak terkecuali, institusi keluarga. Pada masa pandemi Covid-19, keberadaan anak di dalam rumah, tidak serta merta membuat anak berada pada ‘ruang aman’. Rumah sebagai tempat yang seharusnya ‘aman’ untuk anak justru menjadi rentan di masa pandemi. Menurut Kemen PPPA, rumah tangga menjadi rentan karena banyaknya anggota keluarga yang harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama, yang pada saat bersamaan menghadapi pula masalah pola pengasuhan, serta masalah ekonomi akibat kehilangan penghasilan, menjadi beberapa penyebab tingginya angka kasus kekerasan pada anak di masa pandemi (www.kemenpppa.go.id). Namun, apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan sehingga kasus kekerasan pada anak justru semakin tinggi di masa pandemi covid-19?

Anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan (vulnerability of child become victim), sehingga harus dilindungi. Dalam perspektif perlindungan anak, khususnya pada UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak, yaitu, segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini, pihak-pihak yang berperan dalam upaya perlindungan anak disebutkan pada Pasal 20, yaitu “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”. Sementara itu, definisi kekerasan pada anak menurut WHO, yaitu “suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak, dan dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya, atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.” Dengan kata lain, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya memiliki ‘relasi kuasa’ dan hubungan yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak tersebut berada. Tidak terkecuali rumah dalam hal ini ‘keluarga’ atau orang dewasa lainnya yang dapat juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak.

Jika melihat dari data laporan WVI tahun 2020, serta laporan Kemen PPPA, mengenai penyebab kasus kekerasan pada anak di rumah saat masa pandemic Covid-19, seperti adanya pengaruh depresi yang dialami orang tua akibat pandemic, menjadi salah satu alasan penyebab terjadinya kekerasan pada anak, sebagai bentuk pelampiasan tidaklah dapat dibenarkan. Orang tua yang memiliki hak kuasa atas pengasuhan pada anak adalah orang yang harusnya mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya (Pasal 1, point 11 UUD Perlindungan Anak).” Artinya tugas orang tua adalah melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Berdasarkan penjabaran tersebut, anak sebagai korban dijadikan target sasaran orang tua atau orang yang lebih dewasa dari dirinya karena posisinya yang lemah. Adanya pandemic Covid-19 yang membuat anak selalu berada di rumah juga sekaligus membuka peluang bagi para pelaku kekerasan untuk melampiaskan emosi sosial psikologisnya kepada anak. Hal ini juga terkait masih adanya pemikiran bahwa anak adalah ‘asset keluarga’ yang dapat diatur, dan dimiliki oleh orang tua selaku wali yang memiliki hak asuh anak secara penuh. Artinya, jika terjadi kekerasan pada anak maka orang tua/wali menganggap hal tersebut adalah bagian dari proses pengasuhan dan ranah privat rumah tangga. Dengan demikian, kontrol sosial atas bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi baik dalam bentuk verbal, fisik, sampai dengan kekerasan seksual, yang marak terjadi akhir-akhir ini di masa pandemi, terkadang sulit untuk dikontrol oleh masyarakat. Hal inilah yang harus ditindaklanjuti lebih jauh oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan, serta seluruh lembaga pemerhati perlindungan anak, agar pola terjadinya kekerasan pada anak tidak selalu berulang dan baru diketahui pasca terjadinya kekerasan.

Upaya preventif atau pencegahan dengan mengedukasi keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan anak di rumah menjadi hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan element masyarakat selaku agen sosial yang dapat membantu megontrol dan melihat gejala prakekerasan yang bisa dan mungkin terjadi di lingkungan sosialnya. Karena jika kontrol sosial lemah, maka peluang terjadinya kekerasan semakin tinggi, khususnya di masa pandemi Covid-19 yang membuat terbatasnya orang-orang sekitar mengetahui kondisi psikologis dan sosial anak di rumah. Terlebih, adanya batasan ranah publik dan privat sering pula dijadikan alasan komunitas tidak dapat berbuat lebih jauh ketika menemukan bentuk-bentuk atau gejala kekerasan di lingkungannya.

Untuk itu, pemerintah beserta lembaga independent (Komnas Anak, KPAI, dll) dan seluruh elemen masyarakat harus membangun sistem pemantauan kekerasan pada anak di tingkat komunitas untuk mencegah agar segala bentuk kekerasan kepada anak. Pemberian edukasi pada komunitas dan orang tua mengenai praktik pola pengasuhan positif (tanpa kekerasan), sosialisasi peran bystander/saksi di keluarga atau komunitas, serta kemampuan komunitas untuk membangun sistem rujukan dan layanan kekerasan pada anak perlu ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, pelibatan anak untuk memutus rantai kekerasan juga perlu diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan edukasi sejak dini tentang apa yang menjadi hak anak, kepada siapa anak bisa melapor dan meminta perlindungan jika mengalami kekerasan. Di samping itu, pemerintah juga perlu menjamin program perlindungan anak berbasis komunitas tetap berjalan pada masa pandemi, terutama upaya pencegahan bukan semata-mata pada penanganan kasus kekerasan pada anak. Merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap anak Indonesia dari kekerasan. Perlindungan anak tidak berhenti pada diterbitkannya regulasi kebijakan saja, namun diperlukan monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dan program yang nyata dari pemerintah untuk mewujudkan anak Indonesia bebas dari kekerasan. Selamat Hari Anak Nasional 2020!

Sumber referensi :

“Angka Kekerasan Terhadap Anak Tinggi di Masa Pandemi Kemen PPPA Sosialisasikan PProtokol Perlindungan Anak”, 23 Juli 2020, https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak

“Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia: Sebuah Penilaian Cepat Untuk Inisiasi Pemulihan Awal,” https://www.wahanavisi.org/id/media-materi/publikasi.html

“Selama 2019, KPAI Terima Seribu Kasus Kekerasan Anak”, https://jabar.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/kpai-kekerasan-anak-paling-banyak-terjadi-dalam-pengasuhan-regional-jabar/4

Kerentanan dan Ketahanan Kelompok Minoritas Seksual dalam Pandemi Covid-19

Oleh:
Diana Pakasi
Nadira Chairani

Bulan Juni lalu, baru saja dirayakan Pride Month dan Hari Internasional Anti Homofobia dan Transfobia (IDAHOT). Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan tahun ini di Indonesia tidak diramaikan oleh parade luring yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI. Pandemi Covid-19 membuat perayaan di jalan utama Ibukota berganti menjadi rangkaian diskusi daring dengan format webinar. Namun, dampak dari pandemi tentunya tidak hanya pada bagaimana Pride Month dirayakan, lebih dalam, pandemi memberikan berbagai kerentanan baru pada kelompok LGBTI sebagai kelompok minoritas. Tulisan ini bertujuan untuk memotret bagaimana pandemi Covid-19 menambah lapisan kerentanan baru pada komunitas LGBTI dan cara-cara yang mereka lakukan agar dapat bertahan di tengah pandemi ini.

Kerentanan kelompok minoritas seksual: sebelum pandemi

Sebelum pandemi, studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa LGBTI di Indonesia mengalami berbagai persoalan di kehidupan sosial mereka. Mereka mendapatkan stigma sebagai ancaman moral dan penyakit sosial (Hidayana, 2018), diskriminasi (Khanis, 2013), dan kekerasan dari lingkungan keluarga, komunitas hingga aparat negara (Rolnik, 2013). Selaras dengan studi-studi tersebut, penelitian Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2019 terhadap komunitas lesbian, perempuan biseksual, dan trans laki-laki menunjukkan bahwa mereka menghadapi kerentanan yang berlapis dari berbagai aspek: ekonomi, kesehatan, dan sosial politik. Dari sisi ekonomi, sebagian besar responden tidak memiliki tempat tinggal sendiri yaitu 73% tinggal di kontrakan atau kos-kosan. Meskipun sebagian besar dari mereka (87%) bekerja, bahkan memiliki lebih dari satu pekerjaan. Namun, 70% responden mengaku pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan, 58% responden mengaku meminjam uang pada rentenir atau aplikasi peminjaman uang secara daring dengan bunga yang mencekik. Dari sisi kesehatan, responden mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Terdapat beberapa responden (17%) yang menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan ketika sakit karena mereka memiliki pengalaman buruk didiskriminasi dan/atau dilecehkan oleh tenaga kesehatan, sementara 10% responden menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran akan mendapatkan diskriminasi karena identitas gender dan seksual mereka. Lebih lanjut, sebanyak 37% responden tidak memiliki asuransi kesehatan apa pun. Ketidakpemilikan atas asuransi kesehatan, terutama Kartu Indonesia Sehat, dikarenakan mereka tidak memiliki KTP.

Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi responden adalah sulitnya mendapatkan KTP yang menjadikan mereka tereksklusi sebagai warga negara. Sebanyak 13% respoden mengaku bahwa mereka tidak memiliki KTP dengan berbagai alasan antara lain mereka tinggal secara mandiri terpisah dari keluarga mereka sejak usia anak, sehingga mereka tidak memiliki kartu keluarga di tempat tinggalnya saat ini, atau tidak memiliki akte kelahiran.

Persoalan lain yang menonjol adalah pengalaman kekerasan. Sebanyak 70% responden mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan kekerasan dari pasangan mereka, 70% juga menyatakan mendapatkan kekerasan dari keluarga mereka, 20% responden mengaku mendapatkan kekerasan dari komunitas di tempat mereka tinggal, 17% dari polisi, 17% dari kelompok keagamaan, 13% dari aparat pemerintah (terutama satpol PP), dan 7% dari tempat kerja. Ketika mendapatkan kekerasan, hanya 17% responden meminta bantuan hukum, sementara 33% responden meminta bantuan keluarga, 33% lainnya meminta bantuan pihak yang terpercaya (teman, tetangga, kelompok/organisasi sosial yang dikenal), dan 17% lainnya tidak meminta bantuan dari siapa pun.

Masa pandemi: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Dengan kerentanan yang beragam dan berlapis, masa pandemi menambah berat beban dalam kehidupan LGBTI. Dalam rangka menyambut IDAHOBIT, pada tanggal 17 Mei 2020  diselenggarakan satu webinar oleh YIFOS dan Sejuk yang bekerja sama dengan GAYa Nusantara bertemakan kehidupan komunitas LGBTI di Indonesia selama pandemi. Dari hasil webinar tersebut, terungkap bahwa pandemi berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan psikologis komunitas LGBTI.

Pandemi memberikan dampak yang buruk terhadap ekonomi Indonesia. Dampak ini pun sangat terasa pada kehidupan ekonomi LGBTI. LGBTI yang sudah mengalami marginalisasi ekonomi – seperti diuraikan sebelumnya – selama pandemi mengalami kehilangan pendapatan karena pemutusan hubungan kerja atau tutupnya usaha kecil mereka. Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Sejuk dan GAYa Nusantara disebutkan bahwa LGBTI yang berjualan makanan mendapatkan stigma karena ketidakpercayaan konsumen terhadap sanitasi produk mereka. Tidak adanya pendapatan, semakin membuat mereka terjerumus dalam lilitan hutang. Terdapat pula transpuan yang terpaksa tetap bekerja di salon atau sebagai pekerja seks untuk bertahan hidup, meski sepi pelanggan dan memiliki risiko tertular Covid-19. Beratnya bertahan hidup di tengah pandemi, diibaratkan oleh salah satu komunitas transpuan ‘hidup seperti orang mati perlahan-lahan’.

Karena sebagian LGBTI tidak memiliki KTP, ditambah dengan stigma dan diskriminasi, mereka tidak dapat mengakses bantuan sosial. Untuk membantu komunitas LGBTI yang sulit bertahan hidup di masa pandemi, beberapa organisasi seperti Arus Pelangi, Sanggar Swara, Sanggar Seroja, Queer Language Club membuka donasi dan membagikan sembako, nasi bungkus, atau barang modal usaha kepada LGBTI yang membutuhkan.

Pada masa pandemi, LGBTI juga semakin rentan mengalami kekerasan. Terlebih, terdapat kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pandemi Covid-19 adalah kutukan atau azab dari Tuhan karena semakin banyaknya jumlah LGBTI. Homofobia dan transfobia pada masa pandemi selalu mengintai di tengah-tengah beratnya LGBTI bertahan hidup. Sering kali hal tersebut termanifestasi dalam bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan. Awal pandemi di Indonesia diwarnai dengan kekerasan keji terhadap seorang transpuan, Mira, yang dibakar hidup-hidup. Pada akhir April, Ferdinan Paleka, Youtuber, mengelabui transpuan dengan berpura-pura membagikan satu kotak sembako yang ternyata berisi sampah. Kasus lain, LGBTI yang bekerja di luar rumah menceritakan pengalamannya menghadapi kekerasan dan pemerasan oleh Satpol PP.  Namun, mereka cenderung untuk tidak melapor karena takut mendapatkan serangan balik atau persekusi (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020).

Kekerasan yang dialami oleh LGBTI di lingkungan keluarga juga dilaporkan. Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), LGBTI merasa ‘terkurung’ di tempat tinggal mereka dan juga menjadi obyek surveilans dari keluarga mereka (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020). Dalam Webinar tersebut juga diungkap kasus kekerasan dari keluarga, terutama trans laki-laki, yang dipaksa untuk berpenampilan feminin, atau bahkan diminta menikah dengan laki-laki pilihan keluarga. Kekerasan ini jelas memberi beban psikologis pada komunitas LGBTI. Pada komunitas trans yang berada pada masa transisi, beban akan bertambah lagi dengan sulitnya mengakses hormon pada situasi COVID-19.

Ketahanan kelompok minoritas seksual: gerakan filantropi dan penguatan media baru

Dampak ekonomi yang berat pada komunitas LGBTI telah membuat beberapa organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI menjalankan fungsi sebagai lembaga filantropi yang membagikan bahan pangan atau bantuan modal usaha. Bahkan, aksi filantropi ini juga melibatkan masyarakat umum yang peduli dengan persoalan kerentanan ekonomi kaum marginal. Tidak hanya di Jakarta, aksi filantropi ini juga terjadi di daerah lainnya, seperti Surabaya, Yogyakarta, Maumere, dan Manado. Pengorganisasian kelompok masyarakat sipil tersebut menunjukkan ketahanan (resilience) komunitas LGBTI di tengah-tengah pandemi.

Salah satu inisiatif kegiatan yang diinisiasi oleh YIFOS, yaitu dengan mengajarkan keterampilan untuk bercocok tanam yang disertai dengan pendampingan intensif oleh ahli. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberi kapasitas khususnya pada komunitas LGBTIQ rentan dan kelompok agama/kepercayaan minoritas yang rentan, sehingga dapat mengetahui cara produksi bahan makanan sendiri. Organisasi transgender di Indonesia yaitu Sanggar Swara dan TI (Transmen Indonesia) melakukan pengumpulan dana yang kemudian didistribusikan kepada komunitas transgender yang membutuhkan bantuan. Sanggar Seroja memiliki cara lain untuk mengumpulkan dana yang hendak disalurkan kepada komunitas transpuan yang membutuhkan bantuan, yaitu dengan mengadakan kegiatan seni secara daring. Karya seni yang ditampilkan dalam pentas seni daring tersebut berupa tari tradisional, video klip, puisi, serta film dokumenter.

Acara penggalangan dana oleh Sanggar Seroja dalam acara seni daring

Pemberlakukan PSBB dan kontak fisik, membuat berbagai advokasi, kampanye, dan penyadaran isu dilakukan secara daring. Hal ini memiliki kekuatan. Sebelumnya banyak aksi dan pertemuan komunitas LGBTI yang dipersekusi oleh organisasi massa dan dibubarkan secara paksa oleh aparat. Dengan aksi dan pertemuan dunia maya dengan platform yang dijamin sekuritasnya, acara menjadi lebih aman dari risiko persekusi, kekerasan, dan pembubaran. Lebih lanjut, platform diskusi digital telah memperluas partisipasi komunitas-komunitas LGBTI. Pada peringatan IDAHOT lalu, berbagai webinar diselenggarakan, diikuti oleh partisipan dan pembicara dari berbagai kota di Indonesia dan menyatukan berbagai organisasi dan komunitas LGBTI.

Aksi solidaritas dan advokasi oleh organisasi LGBTI melalui daring juga terbukti mendapat perhatian luas. Pada kasus Mira, misalnya, kelompok-kelompok masyarakat sipil mengunggah video pendek di media sosial mereka dengan menyalakan lilin untuk menuntut keadilan untuk Mira. Pada kasus Youtuber Ferdinan Paleka, sejak unggahannya menjadi meluas, kecaman publik terhadap pelaku semakin besar pula. Hal ini memberikan tekanan pada polisi untuk menangkap dan memidanakan pelaku. Selain itu, berbagai kelompok masyarakat sipil melalui media sosial melakukan penyadaran isu kekerasan terhadap transpuan.

Maraknya webinar, solidaritas dan advokasi secara daring yang meningkat selama masa pandemi menjadikan platform digital sebagai instrumen baru untuk penguatan gerakan LGBTI. Kita semua sedang bertransformasi secara lebih luas untuk kerja melalui berbagai platform digital. Komunitas LGBTI menunjukkan bahwa mereka secara cepat dapat menguasai dunia digital yang merupakan modal untuk bertahan di tengah pandemi.  

Referensi:

Hidayana, I. (2018). LGBT and social inclusion in Indonesia: what the surveys say?. Retrieved March 13, 2018, from http://theconversation.com/lgbt-and-social-inclusion-in-indonesia-what-the-surveis-say-91334

Khanis, S. (2013). Human Rights and the LGBTI Movement in Indonesia. Asian Journal of Women’s Studies, 19(1), 127–138. https://doi.org/10.1080/12259276.2013.11666145

Rolnik, R. (2013). Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination.

Yang Endemik di Lingkungan Akademik

Oleh: Sabina Puspita

Ditulis oleh penyintas pelecehan seksual. Penyintas mengalami sendiri pelecehan seksual di mobil antar jemput sekolah (usia 9 tahun), rumah sendiri (usia 11 dan 15), bus umum (usia 16 sampai 19 dan paling sering), lapangan basket sekolah (usia 17), rumah teman kuliah (usia 20), gedung kantor (usia 24), dan jalanan (terlalu sering atau sepanjang hidupnya di Jakarta). Pelaku setiap kejadian laki-laki dewasa. Penyintas mencatat setiap kejadian karena saat pencatatan tidak tahu harus berbuat apa atau berbicara kepada siapa.

Pandemi global COVID19 yang tengah melanda berbagai negara, termasuk Indonesia, berdampak besar terhadap rutinitas warga masyarakat. Dampak terbesar paling dirasakan oleh warga yang terdeteksi positif, pasien sakit lainnya, dan para tenaga medis beserta keluarga ketiga kelompok itu. Warga yang tidak terdeteksi positif dan tidak sedang sakit pun harus beradaptasi secara signifikan karena, selain tempat dan jam kerjanya berubah, pemasukannya pun mengalami penurunan bahkan terhentikan. Belum lagi dampak psikologis warga dari upaya-upaya mereka memahami ketidakpastian ini, strategi untuk bertahan hidup, dan kemampuan melindungi anggota keluarga dan orang-orang terdekat. Meskipun demikian, saya optimis bahwa vaksin itu akan tiba dan warga akan sehat kembali. Ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi modern sanggup memecahkan permasalahan pandemi ini.

Namun, tingkat optimisme saya ini terhadap persoalan kekerasan seksual di Indonesia nil. Saat rutinitas warga kembali lagi seperti normal karena permasalahan pandemi ini pun terpecahkan, penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang tersendat karena kedaruratan COVID19 pun bisa-bisa kembali normal: birokratis, pembebanan bukti pada korban, dan berakhir dengan hukuman yang tajam bagi korban tapi tumpul bagi pelaku.[i] Ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi modern sepertinya tidak akan bisa memecahkan permasalahan satu jenis wabah yang terpendam selama ini: pembiaran kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Beberapa hal dari pandemi COVID19 memicu ide-ide terkait “praktik ideal” penanganan pelecehan seksual yang layak di perguruan tinggi. Pada tulisan ini, saya akan mencoba mengembangkan daya kreativitas saya yang didasari oleh konsumsi bacaan saya dari ilmu sosial dan politik dan pemberitaan di media, serta pengamatan saya selama melakukan riset di beberapa lapangan penelitian tahun ini.

Bukan Penyakit yang Asimtomatik

Permasalahan kekerasan seksual di Indonesia jelas sudah memasuki fase mengkhawatirkan. Sebuah survei tahun 2017 menyebutkan kota Jakarta salah satu dari 10 kota di dunia yang paling tidak aman bagi perempuan, terutama karena tingkat kekerasan seksualnya (Gambar 1). Survei lain di tahun 2018 membuktikan Indonesia adalah tempat yang paling berbahaya ke-3 di Asia Pasifik untuk perempuan bisa hidup, setelah India dan Filipina (Gambar 2).

Terutama di konteks perguruan tinggi, data kuantitatif[ii] yang mengindikasikan rendahnya jumlah laporan namun data kualitatif[iii] yang menggambarkan ragam bentuk kekerasan seksual secara detil dan nyata, jelas menunjukkan bahwa kejadian kekerasan seksual yang endemik di lingkungan akademik Indonesia bisa menjadi epidemi atau wabah tersendiri.[iv] Banyak sekali penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi “lazim” terjadi di konteks masyarakat yang “menormalisasi” dominasi laki-laki dan domestifikasi perempuan[v] serta tingkat kekerasannya secara umum tinggi.[vi] Padahal, satu tindakan kekerasan seksual bisa menimbulkan efek riak pada: 1) korban dan keluarganya; 2) keluarga dan kerabat pelaku; dan 3) komunitas perguruan tinggi terkait.[vii] Maka, kasus kekerasan seksual “sekecil” apa pun (Tabel 1), layak dan pantas mendapatkan respon penanganan yang serius oleh masyarakat, perguruan tinggi, dan negara, selayaknya kita menangani kasus-kasus COVID19 saat ini.

Penanganan yang Layak

Apabila kita terus abai dalam menanggapi gejala-gejala dan kejadian kekerasaan seksual yang selama ini endemik di masyarakat dan lingkungan akademik kita, kekerasan seksual lama-lama bisa jadi sebuah wabah atau epidemi. Maka, ibarat pengidap COVID19 ringan yang harus dikarantina minimal 14 hari, pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi seharusnya, selain dikeluarkan dari—dan dilarang masuk kembali ke—dunia akademik, dikarantinakan selama minimal 14 tahun. Karantina bisa dalam rumah aman atau lembaga pemasyarakatan, intinya pelaku harus melalui isolasi panjang dari kehidupan bermasyarakat (extreme social distancing). Namun, berbalik dengan pengidap COVID19, identitas pelaku diinformasikan ke masyarakat. Selama karantina, pelaku menerima “perawatan instensif” berupa pendidikan soal relasi kuasa dan gender. Negara[viii] perlu melengkapi tenaga kerja yang menyampaikan materi pendidikan ini dengan alat pelindung diri atau APD yang memadai, sebab kita tidak tahu apa yang pelaku dapat perbuat padanya. Hukuman bagi pelaku bisa berkurang dengan pembuktian laju perkembangan nilai, pemahaman, dan perilaku pelaku terkait bagaimana memperlakukan sesamanya dengan adil dan beradab. Pembuktian ini harus dibuat serumit dan semenyakitkan mungkin—serumit dan menyakitkan proses pembuktian yang dibebankan pada korban kekerasan seksual (burden of proof) waktu melaporkan tindakan pelakunya ke pihak-pihak berwenang di kehidupan nyata saat ini. Terlebih dari itu, aset pelaku dibekukan negara dan pelaku harus bekerja tanpa upah untuk negara, sebagai ganti rugi ongkos negara membiayai pendidikannya semasa karantina.

Bagi pihak-pihak berkuasa yang terbukti lalai dalam penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk berupaya membungkam korban, saksi, dan pendampingnya (hostile environment sexual harassment),[ix] negara harus memperlakukan mereka seperti “pasien dalam pengawasan” atau PDP. Dalam hal ini, PDP dikarantina dari kehidupan bermasyarakat minimal 14 minggu, dan menerima pendidikan soal relasi kuasa dan gender juga selama itu. Negara berhak memberlakukan denda pada PDP untuk ongkos pendidikan yang mereka terima semasa karantina. Setelah masa karantina, kegiatan ekonomi dan bersosialisasi PDP dibatasi. Selain itu, PDP wajib melakukan pelaporan diri berkala hingga waktu yang tidak ditentukan, dengan mengikuti sejumlah tes yang relevan. Untuk bisa lepas dari status PDP, persyaratannya birokratis—sebirokratis proses penanganan laporan korban kekersan seksual di kehidupan nyata saat ini. Hal ini diperlukan untuk memastikan PDP sembuh total, sehingga mereka tidak mengulangi kelalaiannya dan menjadi lebih bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi mereka.

Korban kekerasan seksual seharusnya mendapat perlakuan layaknya masyarakat dunia sekarang memandang tenaga medis COVID19 sebagai barisan terbelakang pertahanan kemanusiaan (last defense line), kampus harusnya jadi barisan depannya (frontline).[x] Mengapa? Sebab kampus seharusnya tidak mempertaruhkan nyawa anggota sivitas akademikanya yang jadi korban kekerasan seksual untuk mengidentifikasi keberadaan pelaku kekerasan seksual di lingkungan yang seharusnya aman bagi seluruh anggota sivitas akademika, tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ekspresi gender, seksualitas, suku, ras, dan agama. Setiap korban sudah dihadapkanpada resiko: 1) dikucilkan orang sekitar; 2) terhambat proses belajarnya; dan 3) depresi karena harus mengingat kembali kronologi dan trauma pelecehan seksual yang ia alami.[xi] Oleh karena itu, hak-hak korban sebagai manusia harus dipulihkan. Pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya—dan perguruan tinggi serta negara mempertanggungjawabkan kelalaiannya—setidaknya dengan membiayai beban finansial yang korban tanggung untuk pemulihannya.

Penutup

Pendekatan dan metode yang penulis ajukan ini memang belum dapat dibuktikan secara ilmiah keberhasilannya. Namun, apakah kita harus menunggu keseriusan isu kekerasan seksual di perguruan-perguruan tinggi Indonesia menjadi sebuah pandemi dulu, baru mencobanya? Ibarat pandemi yang menuntut warga masyarakat untuk mengubah pola hidup secara signifikan demi pembasmian virus mematikan, maka masyarakat pun harus mulai mengubah pandangannya dan memperlakukan juga segala perilaku dan pelaku kekerasan seksual sebagai sesuatu yang mematikan kesempatan hidup orang lain dan harus dibasmi. Semoga ada pihak-pihak berkuasa yang bersedia serius memikirkan (atau mungkin mengadopsi) pendekatan dan metode seutopis ide-ide yang ditawarkan tulisan ini.


Catatan Penulis

[i] Baca reportase dari lembaga-lembaga pers mahasiswa seperti “Di Bawah Cengkraman Dosen Mesum” (LPM Humanika IAIN Gorontalo) dan “Keberlanjutan Kasus Agni” (Balairung Press) untuk contoh-contoh kasus di lingkungan pendidikan tinggi; baca juga “Divonis 10 Bulan Penjara karena Lecehkan 5 Siswi” untuk contoh kasus di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.

[ii] Lihat model yang dibangun Tirto berdasarkan 174 testimoni penyintas untuk proyek #NamaBaikKampus; baca juga Ardi dan Muis (2014) yang menemukan 40% dari 304 mahasiswa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi; dan Rusyidi, Bintari, dan Wibowo (2019) untuk mehami keterkaitan antara pengalaman dan pengetahuan tentang kekerasan seksual mahasiswa perguruan tinggi Indonesia melalui metode kuantitatif.

[iii] Baca “Predator Seksual di Kampus” (Ghaliyah 2019); Widyasari dan Aryastami (2018) untuk konteks mahasiswa berpacaran di Yogyakarta; dan Artaria (2002) untuk konteks mahasiwa di Surabaya.

[iv] Paludi et al. (2006) menyebut fenomena kekerasan seksual dalam kampus di berbagai negara sebagai The Sound of Silence atau “suara lantang kesunyian.”

[v] Menurut survei yang dilakukan di kalangan mahasiswa Republik Rakyat Tiongkok, sebagian besar mahasiswa tidak menganggap perilaku seksis dan misoginis sebagai bentuk intimidasi, diskriminasi atau pelecehan seksual (Tang et al. 1995).

[vi] Menurut sebuah kajian perbandingan mancanegara, mahasiswa dalam konteks masyarakat demikian harus mendapatkan pelatihan dan pendidikan berkala dulu untuk dapat mengenali bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual (Paludi et al. 2006); dan di konteks Indonesia, mereka yang belum pernah mengalami langsung kekerasan seksual cenderung tidak bisa mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual (Rusyidi, Bintari, dan Wibowo 2019).

[vii] Koss et al. (2014)

[viii] Maksud “negara” di sini adalah kementerian dan lembaga nasional terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (apabila pelaku itu Aparat Sipil Negara), dan sebagainya.

[ix] Di konteks Amerika Serikat, keadaan terjadinya kekerasan seksual di kampus bisa digolongkan menjadi dua, yakni, quid pro quo atau hostile environment; golongan pertama merujuk pada keadaan di mana korban dilecehkan karena tekanan atau ancaman dari pelaku yang sifatnya transaksional, dan golongan kedua merujuk pada kasus di mana korban dilecehkan karena lingkungan perguruan tingginya yang tidak mendukung atau malah memungkinkan terjadinya kekerasan seksual (Paludi et al. 2019).

[x] Lihat cuplikan video pernyataan Dr. Michelle Au.

[xi] Baca Artaria (2002) untuk memahami bagaimana pengalaman kekerasan seksual pada mahasiswa korban berdampak pada rambutnya yang rontok dan depresi berat; Jackson (2018) untuk dampak lain kekerasan seksual dalam konteks Amerika Serikat; Paludi et al. (2006) dalam konteks negara-negara Latin Amerika dan Afrika; dan Fairbairn (2015) dalam konteks dunia maya.

Daftar Pustaka

Artaria, M. D. (2002). Efek Pelecehan Seksual Di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer.

Ardi, N. M. S., & Muis, T. (2014). Perilaku Seksual Remaja Mahasiswa Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Mahasiswa Bimbingan Konseling Unesa4(3).

Fairbairn, J. (2015). Rape threats and revenge porn: Defining sexual violence in the digital age. University of Ottawa Press: EGirls, ECitizens, 229-252.

Fitzgerald, L. F., Magley, V. J., Drasgow, F., & Waldo, C. R. (1999). Measuring sexual harassment in the military: The sexual experiences questionnaire (SEQ-DoD). Military Psychology, 11, 243–263.

Jackson, M. D. C. (2018). Litigation and the Title IX Coordinator: A Look Into the Effects of Litigation on the 23 CSU System Campuses after Implementation of a Title IX Coordinator (Doctoral dissertation, California Baptist University).

Koss, M. P., Wilgus, J. K., & Williamsen, K. M. (2014). Campus sexual misconduct: Restorative justice approaches to enhance compliance with Title IX guidance. Trauma, Violence, & Abuse15(3), 242-257.

Paludi, M., Nydegger, R., DeSouza, E., Nydegger, L., & Dicker, K. A. (2006). International perspectives on sexual harassment of college students: the sounds of silence.

Rusyidi, B., Bintari, A., & Wibowo, H. (2019). Pengalaman Dan Pengetahuan Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal Di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi. Share: Social Work Journal9(1), 75-85.

Tang, C. S. K., Yik, M. S., Cheung, F. M., Choi, P. K., & Au, K. C. (1995). How do Chinese college students define sexual harassment? Journal of Interpersonal Violence10(4), 503-515.

Widyasari, R., & Aryastami, N. K. (2018). Kajian Sosiologis Perilaku Beresiko Kesehatan Pada Kekerasan Dalam Berpacaran Mahasiswa Di Yogyakarta. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan21(1), 48-59.

Pembanguan dan Kontradiksinya: Sebuah Refleksi

Oleh: Sari Ratri[1]

Sejak setahun yang lalu, sebuah gedung bangunan baru, berdiri di Desa Tandima[2], di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bangunan tersebut merupakan Gedung Pustu (Puskesmas Pembantu) tambahan untuk warga di desa. Desa Tandima memiliki empat dusun yang berjarak cukup berjauhan. Dusun Manggalu, Dusun Telo, Dusun Rana, dan Dusun Bonga. Kecuali Dusun Telo yang letaknya lebih dekat dengan Puskemas di kota kecamatan, para warga di ketiga dusun lainnya mengakses layanan kesehatan dasar di Pustu yang berada di Dusun Manggalu. Kali ini, pustu yang baru, terletak di Dusun Bonga. Para ibu di Dusun Bonga, pikir saya, tidak perlu lagi berjalan jauh untuk memeriksakan kehamilan mereka dengan adanya Pustu yang baru, yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

Gambar 1:
Bangunan Pustu di Dusun Bonga
Foto: Hestu Prahara

Di kali ketiga kedatangan saya ke desa ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di Tandima. Pada tahun 2015, jalan yang menghubungkan satu dusun ke dusun lain masih belum diperbaiki. Dalam kesempatan diskusi terfokus yang pernah saya lakukan, “kendala jalan yang tidak baik” menjadi salah satu keluhan utama para ibu yang kemudian mengabsahkan penjelasan para aktor pembangunan akan alasan kelahiran di rumah. Sejak tahun 2009, kelahiran di rumah tidak lagi diijinkan di seluruh Profinsi Nusa Tenggara Timur karena kehadiran program Revolusi KIA. Tentu tidak semua ibu yang melahirkan di rumah, menggunakan alasan yang sama ketika menjelaskan dan memahami pengalaman mereka melahirkan yang terjadi di rumah masing-masing.

Saat kembali di tahun 2017, hampir seluruh jalan di Desa Tandima telah berubah menjadi jalan aspalt. Hanya tertinggal sekitar lima ratus meter saja, jalan menuju ke rumah kepala desa yang masih berbatu. Kemudian, di tahun 2019, tiang-tiang listrik sudah terpasang di pinggir jalan utama yang membelah desa ini. Air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) ke setiap sumur warga dan sinyal 4G pun sudah ada. Luar biasa! Cepat sekali perubahan di desa ini, saya perhatikan.

Perbaikan infrastruktur di Desa Tandima mengingatkan saya akan temuan Jesse H. Grayman (2017) dalam penelitiannya di Manggarai Timur mengenai penerapan intervensi pembangunan berbasis masyarakat. Grayman (2017) menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan desa, khususnya di Nusa Tenggara, “kendala geografis,” “lanskap topografi yang sulit ditempuh,” umum diutarakan oleh beragam aktor (pemerintah, para ahli, maupun orang di desa) sebagai bagian dari wacana yang digunakan untuk menjelaskan hambatan percepatan pembangunan kesehatan desa. Saya setuju bahwa metafor geografi seperti “medan” dan “lapangan” bukanlah ujaran netral tanpa makna politik (Grayman 2017:67). Alih-alih, sebagai contoh, metafor tersebut memungkinkan lahirnya interfensi program lainnya, termasuk pembangunan jalan yang terjadi di Desa Tandima. Artinya, metafor-metafor yang diucapkan, memiliki kekuatan untuk menggerakan atau paling tidak mempengaruhi pemahaman publik akan hal-hal yang dianggap sebagai kendala pembangunan.

Saya melihat perbaikan jalan dan pembangunan fasilitas pendukung kebutuhan masyarakat desa, sebagai salah satu hasil dari pembentukan wacana tentang “masalah” pembangunan. Ujaran tersebut diutarakan dengan menggunakan metafor geografis yang dianggap bernuansa teknis dan non-politis. Akan tetapi, metafor geografis, nyatanya, mengarahkan perhatian seseorang hanya pada persoalan infrastruktur. Dampaknya, menurut saya, terdapat isu lain yang tidak tampak dan tak terdengar ketika pembangunan hanya dibayangkan sebagai persoalan keterbatasan infrastruktur.

Bila ujaran geografis mampu menggerakan roda perputaran praktik pembangunan, apakah hasil pembangunan lantas bisa dirasakan secara merata oleh seluruh warga desa? Jawaban dari pertanyaan tersebut, tentu tidak sederhana. Dalam refleksi singkat saya tentang pembangunan desa, saya mencoba menampilkan narasi yang lain dari kondisi pembangunan desa. Saya sadar bahwa tulisan ini tidak mampu menjawab pertanyaan yang saya ajukan secara menyeluruh. Penggalan etnografis yang akan saya sajikan berikutnya adalah tentang sebuah keluarga di Dusun Bonga dan pengalaman mereka dengan pembangunan.

Nde Marina adalah seorang petani yang tinggal di rumah berdinding bambu di pinggir tebing, di ujung Dusun Bonga. Ia tinggal bersama suaminya, Fradus. Saat bertemu pertama kali dengan pasangan ini di tahun 2017, mereka bercerita bahwa enam orang anaknya pergi merantau ke luar desa. Si bungsu baru saja masuk ke sekolah kejuruan di Kota Ruteng. Anak ketiga dan keempat mereka merantau di Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan mereka ke perguruan tinggi swasta. Anak kelima mereka masih berada di Makassar dan saat itu sedang menyelesaikan pendidikan perawatan di kota tersebut.

Gambar 2:
Keran di Dusun Manggalu, sumber air bagi yang belum memiliki saluran air pribadi.
Foto: Hestu Prahara

Saat saya kembali bertemu dengan Nde Marina dan Pak Fradus, mereka masih menempati rumah yang sama. Yang berbeda hanya tambahan ruang dapur. Rumah mereka masih berdinding bambu. Program bantuan rumah layak huni bagi rakyat miskin yang saat ini marak digalakkan dalam pembangunan desa, tidak lantas menyediakan rumah bendinding batu untuk pasangan ini. Saat sebagain besar warga di Desa Tandima telah memiliki saluran air bersih ke rumah masing-masing, Nde Marina dan Pak Fradus masih mandi dan mengambil air di aliran sungai tidak jauh dari rumah mereka. Ketika rumah-rumah di desa telah memasang penerangan sebagai hasil dari masuknya listrik ke desa, Nde Rina dan Pak Fradus tetap menggunakan lampu minyak yang mereka buat sendiri.

Dalam pertemuan kali ini, anggota keluarga Nde Rina bertambah. Anak sulung mereka, Yofina, datang bersama kedua anaknya dari Timika, Papua Barat. Yofina berbicara dengan logat yang berbeda dari kebanyakan orang Manggarai yang pernah saya temui. Ia telah lama menetap di Timika bersama suami dan kedua orang anaknya. Suami Yofina bekerja sebagai penambang disana. Kembalinya Yofina ke Desa Tandima, mengikuti saran Nde Rina dan Pak Fradus untuk menghemat pengeluaran. Lokasi sekolah di Timika yang berada di kota kecamatan membuat anak Yofina sering meminta uang jajan. “Kalau di desa kan mereka punya anak tidak bisa jajan, sebab disini tidak ada yang berjualan, biar dia tinggal dengan kami, mamanya saja yang kembali ke Timika” ucap Pak Fradus.

Nde Rina kemudian bercerita kepada saya, bahwa Yofina hanya tamat sampai Sekolah Dasar (SD). “Waktu saudari nya sekolah, itu dia [Yofina] yang usaha,” Nde Rina bercerita. Ucapan Nde Rina membuat saya berpikir, tentang bagaimana setiap individu mengalami pembangunan secara berbeda-beda. Jika pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan sebuah negara dan kualitas sumber daya manusia, pengalaman Yofina menyajikan ironi dari pembangunan. Paham moderen dan bayangan akan kemajuan yang disampaikan lewat system pendidikan, nyatanya menuntut sebagian orang untuk mengorbankan dirinya agar orang lain dapat mengalami pembangunan secara ideal. Agar saudarinya bisa meraih pendidikan, Yofina tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya. Dan kini, agar anaknya sekolah tanpa harus mengganggu tatanan ekonomi yang selama ini ia telah rancang bersama suaminya melalui bekerja di kota lain, Yofina harus menitipkan anaknya kepada orang tua di desa.  

Dua cerita tentang pembanguna desa yang saya sajikan dalam tulisan ini memotret pembangunan secara berbeda. Cerita pertama merupakan pengalaman saya ketika melihat pembangunan infrastruktur di desa yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun. Cerita kedua menggambarkan pertemuan saya dengan sebuah keluarga yang membantu saya melihat bagaimana keluarga tersebut mengalami pembangunan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Percepatan pembangunan infrastruktur, tidak lantas mengantarkan setiap individu ke gerbang kemajuan sebagaimana wacana tentang pembangunan sering digaungkan. Keluarga Nde Marina, menyiratkan bahwa, mesin pembangunan tidak lah bekerja secara otomatis. Agar wacana pembangunan yang ideal tetap tereproduksi, setiap individu harus “berstrategi” sesuai dengan kondisi realitas keseharian mereka. Strategi individu dalam menavigasi pembangunan lah, yang saya duga justru mengakomodasi dan memfasilitasi perputaran mesin pembangunan yang seringkali tak muncul dalam representasi yang disajikan dalam perbaikan insfrastruktur. Strategi di level individu ini yang saya kira penting untuk diperhatikan ketika hendak mamahami pembangunan dan kontradiksinya.

Acuan tulisan yang digunakan:

Grayman, J. H. (2017). “Topography and Scale in a Community-driven maternal and child health program in Eastern Indonesia” Medicine Anthropology Theory. Vol 4(1):46—78.

[1] Sari Ratri adalah mahasiswa doctoral pada Departemen Antropologi, di Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis melakukan penelitian dengan fasilitasi dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

[2] Seluruh nama (orang, desa dan dusun) dalam esai ini menggunakan nama samaran untuk menjamin kerahasiaan identitas dari para informan. Sedangkan Kabupaten Manggarai, merupakan salah satu daerah administratif di Profinsi Nusa Tenggara Timur.

Refleksi tentang Demokratisasi, Pengorganisasian Perempuan, dan Represi di Indonesia

Oleh: Sabina Puspita

Tiga pesan yang sering muncul menjelang Hari Ibu mengingatkan masyarakat tentang sejarah lahirnya Hari Ibu, perkembangan narasi sejarah Hari Ibu,[i] dan capaian serta stagnansi agenda perjuangan politik perempuan sejak kongres perempuan 1928. Artikel ini ingin melanjutkan semangat pesan ketiga, dengan merefleksikan bagaimana demokratisasi di Indonesia telah berperan dalam melanggengkan stagnansi tersebut. Secara khusus, artikel ini menitikberatkan aspek penindasan atau “represi” yang berpengaruh pada stagnansi agenda gerakan perempuan di Indonesia.

Demokratisasi dan Pengorganisasian Perempuan

Secara singkat, demokratisasi dapat diartikan sebagai proses 1) peningkatan persaingan politik; dan 2) pelibatan masyarakat termasuk kaum minoritas dalam persaingan itu (Dahl 1971). Untuk meningkatkan persaingan politik, tokoh-tokoh elite politik membuat berbagai macam aturan dan sanksi yang mereka sepakati dulu sebelum disosialisasikan ke masyarakat—misalnya, peraturan pemilu/pilkada. Sedangkan untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin kelompok masyarakat dalam sistem demokratis, tokoh-tokoh elite politik mendirikan berbagai landasan hukum untuk menjamin hak-hak politik setiap anggota masyarakat.

Pengaruh kongres perempuan tanggal 22 Desember 1928 dan seterusnya bagi awal demokratisasi Republik Indonesia besar untuk mendorong keikutsertaan perempuan Indonesia dalam persaingan dan inklusivitas politik. Perempuan Venezuela, Argentina, Belgia, India, dan Swiss baru mendapatkan hak-hak yang sama beberapa tahun setelah pemerintahan negaranya terbentuk (Paxton 2008).[ii] Pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan perempuan sejak kongres tersebut, terutama menjelang hari proklamasi yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta di tahun 1945, berhasil mewujudkan sosok pemimpin seperti Maria Ulfah yang menjadi anggota komite pembentukan negara Indonesia atau KNIP dan menteri sosial di kabinet Sjahrir.[iii]

Namun, intensitas pengorganisasian kelompok-kelompok perempuan dihentikan oleh rezim Orde Baru, melalui penindasan berat atau represi terhadap PKI dan kelompok-kelompok kiri. Selain penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan para anggota GERWANI setelah 30 September 1965 (Wieringa 2002), penutupan Universitas Rakyat yang berisikan mahasiswi-mahasiswi progresif dan Taman Kanak-Kanak Melati milik GERWANI di berbagai daerah pun dilakukan oleh rezim pasca 1965 (Wahid 2018). Demokratisasi di Indonesia, terutama kesempatan perempuan berorganisasi di akar rumput, pun tersendat sejak kejadian itu hingga turunnya Presiden Suharto di tahun 1998.

Demokratisasi di Indonesia bisa dikatakan mulai perlahan-lahan berlangsung kembali pada tahun 1985, ketika pemerintahan Presiden Suharto melegalisasi undang-undang berserikat. Kelompok-kelompok perempuan seperti Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta, Yasanti, dan sebagainya berdiri (Hadiwinata 2002). Meskipun demikian, mulainya kembali demokratisasi tidak serta merta melenyapkan resiko represi negara. Contoh: buruh perempuan Marsinah menggunakan hak berserikatnya, tetapi kemudian ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan.

Pasca krisis moneter Asia 1997, gerakan perempuan Indonesia mulai mendorong lagi. Pada awal episode aksi pro-reformasi Indonesia di tahun 1998, selain para anggota Suara Ibu Peduli ditahan dan diadili aparat pemerintahan Presiden Suharto, perkosaan masal perempuan terutama terhadap yang beretnis Tionghoa terjadi.[iv] Ketika Ita Martadinata siap berangkat ke PBB untuk memberikan kesaksiannya perihal perkosaan masal tersebut, ia pun ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan sebelum hari keberangkatannya. Meskipun demikian, pengorganisasian dari beberapa tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan berhasil mendorong Presiden Habibie untuk membuat pernyataan resmi yang: 1) menyesali tingginya angka kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998; dan 2) memulai pendirian Komnas Perempuan di bulan Oktober 1998.[v]

Represi dalam Demokratisasi: Kerangka Kerja Penelitian Pengorganisasian Perempuan

Artikel ini bermaksud menggarisbawahi pentingnya menganalisis pola represi negara untuk memahami betul stagnansi agenda perjuangan politik perempuan Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya. Sejarah demokratisasi Indonesia menunjukkan bahwa, ketika kelompok-kelompok perempuan mulai menjadi efektif dalam memenuhi agendanya, di saat itu juga mereka memicu represi ekstrim dari negara. Rezim pasca-reformasi pun tidak luput dari kemungkinan mengambil strategi represif untuk menahan kemajuan agenda perjuangan politik perempuan.

Menurut Davenport (2007), roda utama pemerintahan demokratis ada dua, yakni, aspek 1) voice atau peningkatan persaingan politik; dan 2) veto atau pelibatan masyarakat, baik kaum elite maupun minoritas, dalam persaingan itu. Semakin giatnya demokratisasi, yang diikuti dengan semakin berjalannya aspek voice dan veto dengan baik, maka tingkat represi di suatu negara pun dapat menjadi semakin rendah. Namun, adalah keberlangsungan dan kekuatan aspek veto yang mampu mengekang kecenderungan pemerintah untuk bersikap represif—baik dengan kekerasan maupun dengan  pembatasan atau pengabaian hak-hak sipil perempuan.

Komnas Perempuan adalah salah satu dari sekian banyak lembaga yang fungsinya lebih menyerupai mekanisme veto dalam sistem demokrasi. Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sudah menerima 1,6 juta aduan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun tingkat naiknya kasus kekerasan yang diterimanya menurun, jumlah aduan terus bertambah (Gambar 1).

Gambar 1.Peningkatan jumlah kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan menurun berdasarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (1999-2019)

Tren naiknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bisa diartikan menurut dua sisi. Di satu sisi, 20 tahun demokratisasi di Indonesia cukup berhasil membuat sebagian besar masyarakat sadar dan percaya pada mekanisme perlindungan hukum yang disediakan oleh negara. Di sisi lain, demokratisasi di Indonesia belum mampu menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian yang fokusnya pada represi dalam demokratisasi dapat berguna bagi perumusan strategi-strategi advokasi kelompok-kelompok perempuan, organisasi internasional, dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas: 1) mekanisme perlindungan hukum model Komnas Perempuan; dan 2) demokratisasi di Indonesia.

Menitikberatkan aspek represi dalam proses pembentukan hubungan antara perempuan dan negara sudah diserukan oleh beberapa pengamat budaya dan politik Indonesia (Heryanto 2000).[vi] Namun, aspek yang belum kita telusuri lebih lanjut adalah: kapan atau pada titik apa kelompok-kelompok perempuan dapat mengeskalasi atau meningkatkan daya gerakan demonstrasi dan lobi mereka ke pemerintah tanpa ancaman kekerasan setara 1965 atau 1998? Lebih spesifik lagi, aspek apa dari pemerintah Indonesia yang bisa kelompok-kelompok perempuan sasar advokasi dan lobinya untuk mencapai tujuan kesetaraan gender dengan lebih strategis, tanpa resiko represi?

Daftar Pustaka

Dahl, R. A. (1971). Polyarchy: Participation and opposition. New Haven; London: Yale University Press.

Davenport, C. (2007). State repression and the domestic democratic peace. Cambridge University Press.

Hadiwinata, B. S. (2003). The politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement. Routledge.

Heryanto, A. (2000). Perkosaan Mei 1998 Beberapa Pertanyaan Konseptual.” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Paxton, P. (2008). “Gendering Democracy” di Goertz, Gary, & Mazur, Amy. (2008). Politics, gender, and concepts: Theory and methodology. Cambridge; New York: Cambridge University Press.

Vreede-De, C. S. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Komunitas Bambu.

Wahid, A. (2018). Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil of 1950s-1960s. Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, (95), 31-52.

Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. Springer.

Catatan

[i] Baca juga Farid Muttaqin (2018) soal upaya-upaya mengubah narasi Hari Kartini dan sejarah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia belakangan ini.

[ii] Negara Swiss baru memberikan hak suara politik kepada perempuan di tahun 1970an. Baca kritik Paxton (2008) terhadap teori gelombang ketiga demokratisasi dunia karya Huntington (1991).

[iii] Baca Stuers (2008) untuk memahami kiprah Maria Ulfah di kongres perempuan pada awal berdirinya Republik Indonesia.

[iv] Baca Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998(Komnas Perempuan 1999) dan Jayani (2019).

[v] Baca Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa Disangkal! (Komnas Perempuan 2003).

[vi] Baca juga Listening to the Voices of Women Survivors of 1965 oleh Nadia et al. 2007.