KTD dan akibatnya bagi remaja

Ketika Kehamilan Terjadi dan Akibatnya Terhadap Remaja

oleh

Endah Sulistyowati

Kehamilan tidak diinginkan atau disingkat menjadi KTD biasanya sering dianggap sebagai kehamilan yang terjadi akibat hubungan seks di luar ikatan perkawinan. Namun KTD bisa juga terjadi pada pasangan yang sudah menikah tetapi belum ingin memiliki anak atau justru sudah memiliki banyak anak. Selain itu, KTD juga sering terjadi pada korban perkosaan, terlepas dari status korban yang masih lajang ataupun sudah menikah. Dampak dari semakin tingginya aktivitas seksual pada kelompok remaja tanpa diikuti oleh pengetahuan mengenai reproduksi dan seksual, berperan dalam terjadinya kasus KTD. Data SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) 2012 menunjukkan 8% atau 6835 orang remaja laki-laki dan 0,7% atau 6018 orang remaja perempuan usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2013).

Kasus video yang merekam perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA pun semakin marak, kehendak untuk menyebarluaskan video perilaku seksual oleh remaja diduga disebabkan oleh adanya rasa haus atas sebuah pengakuan. Video-video yang beredar tersebut seolah juga menjadi bukti ‘kejantanan’ remaja laki-laki atau bukti ‘kedewasaan’ remaja perempuan untuk ditunjukkan ke teman-teman kelompoknya (peer group). Hubungan seks yang dilakukan para remaja biasanya diawali oleh rasa ingin tahu dan coba-coba, selain didorong oleh hasrat biologis dalam tubuh, ditambah rangsangan akibat menonton video porno, serta bisa juga disebabkan oleh tekanan teman sebaya (peer pressure). Untuk membuktikan bahwa dirinya bukan lah remaja ‘kuper’ alias kurang pergaulan, faktor tersebut merupakan dasar perlakuan kasar yang dilakukan remaja, seperti memaksa pacarnya berhubungan seksual dengan ancaman atau lebih jauh memaksa dengan kekerasan.

Ketika kehamilan terjadi, yang sering menjadi korban adalah remaja perempuan. Mulai dari dimarahi keluarga, dilecehkan/dikucilkan oleh teman, dikeluarkan dari sekolah, sampai dihujat oleh masyarakat. Sedangkan terkadang remaja laki-laki bebas melenggang pergi tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Saat kehamilan terjadi, pilihan yang biasanya diambil oleh remaja adalah aborsi atau MBA (Married by Accident) apabila gagal melakukan aborsi dan akhirnya terpaksa dinikahkan oleh keluarga untuk menutup aib jikalau si bayi lahir tanpa ayah. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksulitas (PKRS) membuat banyak remaja melakukan hubungan seks tanpa menyadari resiko yang terjadi sesudahnya. KTD menjadi salah satu bukti atas kurang/tidak adanya PKRS bagi remaja. Keadaan tersebut diperparah dengan upaya aborsi yang tidak aman melalui rekomendasi teman yang juga kurang/tidak paham soal kespro, entah melalui dukun beranak atau dilakukan sendiri dengan obat atau jamu-jamuan. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman itu seolah bukan hal yang besar bagi remaja tersebut. Hasil penelitian Simanjorang (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 15% remaja dari 2,3 juta perempuan melakukan aborsi yang berakibat pada tingginya AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia dalam EM Simarmata Ketika usaha aborsi mengalami kegagalan maka pilihan terakhir adalah menikah di usia dini.

Beberapa guru SMU/SMK di kota Bandung mengakui bahwa ada beberapa kasus KTD di sekolah mereka (Puska Genseks 2013) Dalam suatu kasus, siswi yang hamil tersebut akhirnya mengundurkan diri karena malu. Ada pula yang menyebutkan bahwa pihak sekolah tidak pernah mengeluarkan siswi yang hamil tetapi memang sudah ada surat perjanjian sejak awal bahwa siswa/siswi yang melanggar aturan sekolah (memakai narkoba, melakukan hubungan seks, KTD) akan mengundurkan diri. Dengan kata lain, dikeluarkan dari sekolah secara ‘halus’. Di sisi lain, ada juga guru menyebutkan bahwa siswi yang hamil bisa ikut ujian di rumah karena tidak mungkin datang ke sekolah dengan perut besar. Meskipun tidak ada aturan baku dari Kemendiknas yang menyebutkan bahwa siswi yang hamil harus dikeluarkan dari sekolah, diakui oleh beberapa guru bahwa masing-masing sekolah memiliki kebijakan tersendiri dalam menyikapi kasus KTD.

Pernyataan Bapak M.Nuh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayan, saat masih menjabat sebagai menteri pendidikan, mengenai siswi hamil agar diperbolehkan mengikuti ujian seolah menjadi ‘angin segar’ bagi remaja putri yang mengalami KTD. Meski menuai kritik dari berbagai pihak, pernyataan M. Nuh tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah upaya untuk memenuhi hak anak/remaja (terutama perempuan) dalam memperoleh pendidikan yang sering terabaikan karena masalah KTD. Lebih lanjut, persoalan KTD di Indonesia tidak hanya akan mempengaruhi AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) semata, secara luas, derajat keselamatan dan perkembangan sebuah generasi pun dipengaruhi oleh bagaimana Negara dan masyarakat melihat kesehatan reproduksi dan seksual remaja.

Editor: Denizy Wahyuadi

Photo: Sari Damar Ratri