Oleh: SEMAR UI Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI
Excerpt: Tulisan ini berargumen bahwa dukungan pengesahan RUU P-KS dari masyarakat luas—lintas kelas sosial ekonomi, suku, dan keagamaan—harus diperkuat lagi untuk memberi tekanan kepada para anggota DPR, bahwa RUU tersebut merupakan kebutuhan mendesak masyarakat luas dan bukan kepentingan ideologis. RUU P-KS merupakan hasil studi panjang dan berbasis bukti dari pendataan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan koalisi lembaga-lembaga pengada layanan pendamping korban kekerasan seksual di seluruh wilayah Indonesia. Penolakan RUU P-KS justru bersifat ideologis, karena data empiris atau bukti-bukti yang telah dikumpulkan bertahun-tahun disangkal dengan pengguliran penafsiran keliru, stigma, dan prasangka negatif terhadap korban kekerasan seksual dan para pendukungnya.
Tahun
ini,Times Higher Education Impact Ranking menempatkan
Universitas Indonesia di peringkat ke-47. THE
Impact Ranking menentukan 100 perguruan tinggi di dunia yang terbaik dalam
tidak hanya menghasilkan hanya kajian atau riset, tapi juga memimpin perubahan
sosial masyarakatnya, menurutindikator-indikator 17 Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ketersediaan
kebijakan perlindungan perguruan tinggi terhadap sivitas akademikanya yang
melaporkan diskriminasi selama melaksanakan kehidupan kampus, merupakan salah
satu indikator atau prasyarat tercapainya 6 SGDs.[1]
Namun, meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus jelas mengindikasikan
bahwa sivitas akademika UI belum belum memiliki kebijakan yang jelas dan
responsif terhadap persoalan kekerasan seksual–sebuah bentuk diskriminasi
bebasis gender–di kampus.
Maka,
Unit Kajian Gender and Seksualitas LPPSP UI (Unit Kajian Genseks) menguak
persoalan kekerasan seksual di kampus via diskusi online di Zoom pada hari
Sabtu (25/04/2020) lalu. Diskusi yang bertemakan “Menuju Rekomendasi Kebijakan
Responsif” ini berlangsung selama 2 jam, dan dihadiri oleh kurang lebih 80
orang.
I. Urgensi
Sivitas akademika UI bisa menemukan
setidaknya tiga saluran untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami.
Ketiga saluran ini diberdayakan oleh para mahasiswa sendiri, antara lain: HopeHelps, BEM FISIP UI, dan BEM UI.
Selain menerima beragam laporan (Gambar 1), mereka juga memberikan pendampingan
bagi korban yang kebanyakan adalah mahasiswa.
Menurut
pengalaman dari para narasumber yang mewakili ketiga saluran itu, tantangan
korban tidak hanya bersumber dari diri tapi juga luar korban. Mengingat banyaknya
tantangan dari luar korban, Wakil Ketua BEM Tri Rahmawati menekankan pentingnya
korban mendapat dukungan dari sekitarnya. Dukungan sekitar korban adalah faktor
penentu korban mengungkapkan atau mengurungkan niat melaporkan kasus kekerasan
seksualnya. Ia, Ketua BEM Fajar Nugroho, Ketua BEM FISIP Salman Fathan, dan
Koordinator HopeHelps Wildan Teddy
menggaris bawahi pentingnya dukungan itu dengan cara: 1) mendengarkan; 2)
memastikan keamanan dan kerahasiaan; 3) menanyakan kebutuhan; 4) mendiskusikan
pilihan-pilihan korban selama melakukan pendampingan.
Gambar 1. Ragam Kekerasan Seksual di Kampus
II. Rekomendasi
Melihat
keragaman bentuk dan pelaku kekerasan seksual menurut pengalaman sivitas
akademika UI, Peneliti Unit Kajian Genseks Reni Kartikawati menjelaskan bahwa
saat ini kode etik menurut Keputusan
Rektor Tahun 2019 perlu dikembangkan lagi atau dibuat lebih spesifik.
Pengembangan kode etik ini perlu diterjemahkan ke dalam turunan-turunan yang
lebih konkret seperti Standar
Operasional Penanganan (SOP) kasus kekerasan seksual dan layanan pengaduan yang menjamin respon
cepat, kerahasiaan laporan, dan keamanannya dari relasi kuasa. Dengan demikian,
kasus kekerasan seksual di kampus lebih bisa dicegah atau diantisipasi dan
ditindak dengan tegas. UI sudah memiliki beberapa hal tersebut termasuk draft
SOP (Gambar 2), namun realisasinya harus diprioritaskan dan setiap fakultas
diberdayakan sebagai titik atau focal
point pelaksana SOP.
Analis
Kebijakan Kemendikbud Sabina Puspita menambahkan bahwa selain peraturan dan
mekanisme yang jelas, perlu digiatkan
pelatihan dan kegiatanuntuk
menyamaratakan nilai atau value
setiap anggota sivitas akademika kampus. Tenaga kependidikan, dosen, dan
mahasiswa harus menginternalisasi value bahwa
siapapun—terlepas dari identitas suku, agama, ras, dan gendernya—berhak
mendapatkan pengalaman pendidikan tinggi yang aman dan nyaman. Dengan demikian,
perbuatan viktimisasi atau victim-blaming tidak lagi menjadi norma,
melainkan anggota sivitas akademika yang mengetahui sesamanya mengalami
ketidaknyamanan saat menjalankan kehidupan kampusnya, jadi lebih peka dan
tanggap dalam memberi dukungan atau pendampingan.
Gambar 2. Peraturan Yang Ideal dan Ketersediaannya di Kampus
[1] Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3 – Good health and well-being); Pendidikan Berkualitas (SDG 4 – Quality Education); Kesetaraan Gender (SDG 5 – Gender
Equality); Pekerjaan Layak dan
Pertumbuhan Ekonomi (SDG 8 – Decent Work
and Economic Growth); Berkurangnya
Kesenjangan (SDG 10 – Reduced
Inequalities); dan Perdamaian,
Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (SDG 16 – Peace, Justice, and Strong Institutions).
HopeHelps merupakan perkumpulan mahasiswa Universitas
Indonesia yang menyediakan layanan tanggap kekerasan seksual bagi civitas
academica Universitas Indonesia.
Jika mengalami atau mengetahui kekerasan seksual, hubungi HopeHelps melalui hotline atau email. HopeHelps akan memberikan pendampingan psikologis dan hukum sesuai dengan kebutuhan.
HOTLINE 082299788860 (Telepon, WhatsApp dan SMS buka 24 jam. Helpers aktif pukul 08.00 – 22.00 WIB)
EMAIL advokasi.hopehelps@gmail.com (Dalam keadaan emergency, silahkan hubungi hotline hopehelps melalui WhatsApp dengan mengirimkan chat “EMERGENCY” terlebih dahulu)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami di: Line: line://ti/p/@vkk9381c Instagram: @hopehelps.ui