PENTINGNYA PELIBATAN ANAK, KELUARGA DAN KOMUNITAS DALAM MEMUTUS RANTAI KEKERASAN PADA ANAK DALAM MASA PANDEMI

Oleh: Reni Kartikawati

Indonesia masih dikejutkan dengan angka kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat setiap tahunnya, tidak terkecuali pada masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual (www.kemenpppa.go.id). Angka ini meningkat tajam jika dibandingkan data tahun 2019 sebanyak 1.192 kasus laporan (https://jabar.idntimes.com). Lebih lanjut, berdasarkan hasil laporan Wahana Visi Indonesia tahun 2020, mengenai “Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia” menyebutkan bahwa hampir dua pertiga anak mengaku justru mengalami kekerasan verbal dari orang tuanya (61,5%), dan anak mengaku mengalami kekerasan fisik (11,3%), saat harus belajar di rumah atau work from home ‘WFH’ (https://www.wahanavisi.org/).

Melihat angka kasus kekerasan pada anak yang semakin meningkat setiap tahunnya, pencegahan kekerasan pada anak menjadi hal yang harus lakukan dengan serius oleh pemerintah, seluruh elemen masyarakat, dan tidak terkecuali, institusi keluarga. Pada masa pandemi Covid-19, keberadaan anak di dalam rumah, tidak serta merta membuat anak berada pada ‘ruang aman’. Rumah sebagai tempat yang seharusnya ‘aman’ untuk anak justru menjadi rentan di masa pandemi. Menurut Kemen PPPA, rumah tangga menjadi rentan karena banyaknya anggota keluarga yang harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama, yang pada saat bersamaan menghadapi pula masalah pola pengasuhan, serta masalah ekonomi akibat kehilangan penghasilan, menjadi beberapa penyebab tingginya angka kasus kekerasan pada anak di masa pandemi (www.kemenpppa.go.id). Namun, apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan sehingga kasus kekerasan pada anak justru semakin tinggi di masa pandemi covid-19?

Anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan (vulnerability of child become victim), sehingga harus dilindungi. Dalam perspektif perlindungan anak, khususnya pada UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak, yaitu, segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini, pihak-pihak yang berperan dalam upaya perlindungan anak disebutkan pada Pasal 20, yaitu “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”. Sementara itu, definisi kekerasan pada anak menurut WHO, yaitu “suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak, dan dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya, atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.” Dengan kata lain, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya memiliki ‘relasi kuasa’ dan hubungan yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak tersebut berada. Tidak terkecuali rumah dalam hal ini ‘keluarga’ atau orang dewasa lainnya yang dapat juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak.

Jika melihat dari data laporan WVI tahun 2020, serta laporan Kemen PPPA, mengenai penyebab kasus kekerasan pada anak di rumah saat masa pandemic Covid-19, seperti adanya pengaruh depresi yang dialami orang tua akibat pandemic, menjadi salah satu alasan penyebab terjadinya kekerasan pada anak, sebagai bentuk pelampiasan tidaklah dapat dibenarkan. Orang tua yang memiliki hak kuasa atas pengasuhan pada anak adalah orang yang harusnya mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya (Pasal 1, point 11 UUD Perlindungan Anak).” Artinya tugas orang tua adalah melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Berdasarkan penjabaran tersebut, anak sebagai korban dijadikan target sasaran orang tua atau orang yang lebih dewasa dari dirinya karena posisinya yang lemah. Adanya pandemic Covid-19 yang membuat anak selalu berada di rumah juga sekaligus membuka peluang bagi para pelaku kekerasan untuk melampiaskan emosi sosial psikologisnya kepada anak. Hal ini juga terkait masih adanya pemikiran bahwa anak adalah ‘asset keluarga’ yang dapat diatur, dan dimiliki oleh orang tua selaku wali yang memiliki hak asuh anak secara penuh. Artinya, jika terjadi kekerasan pada anak maka orang tua/wali menganggap hal tersebut adalah bagian dari proses pengasuhan dan ranah privat rumah tangga. Dengan demikian, kontrol sosial atas bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi baik dalam bentuk verbal, fisik, sampai dengan kekerasan seksual, yang marak terjadi akhir-akhir ini di masa pandemi, terkadang sulit untuk dikontrol oleh masyarakat. Hal inilah yang harus ditindaklanjuti lebih jauh oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan, serta seluruh lembaga pemerhati perlindungan anak, agar pola terjadinya kekerasan pada anak tidak selalu berulang dan baru diketahui pasca terjadinya kekerasan.

Upaya preventif atau pencegahan dengan mengedukasi keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan anak di rumah menjadi hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan element masyarakat selaku agen sosial yang dapat membantu megontrol dan melihat gejala prakekerasan yang bisa dan mungkin terjadi di lingkungan sosialnya. Karena jika kontrol sosial lemah, maka peluang terjadinya kekerasan semakin tinggi, khususnya di masa pandemi Covid-19 yang membuat terbatasnya orang-orang sekitar mengetahui kondisi psikologis dan sosial anak di rumah. Terlebih, adanya batasan ranah publik dan privat sering pula dijadikan alasan komunitas tidak dapat berbuat lebih jauh ketika menemukan bentuk-bentuk atau gejala kekerasan di lingkungannya.

Untuk itu, pemerintah beserta lembaga independent (Komnas Anak, KPAI, dll) dan seluruh elemen masyarakat harus membangun sistem pemantauan kekerasan pada anak di tingkat komunitas untuk mencegah agar segala bentuk kekerasan kepada anak. Pemberian edukasi pada komunitas dan orang tua mengenai praktik pola pengasuhan positif (tanpa kekerasan), sosialisasi peran bystander/saksi di keluarga atau komunitas, serta kemampuan komunitas untuk membangun sistem rujukan dan layanan kekerasan pada anak perlu ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, pelibatan anak untuk memutus rantai kekerasan juga perlu diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan edukasi sejak dini tentang apa yang menjadi hak anak, kepada siapa anak bisa melapor dan meminta perlindungan jika mengalami kekerasan. Di samping itu, pemerintah juga perlu menjamin program perlindungan anak berbasis komunitas tetap berjalan pada masa pandemi, terutama upaya pencegahan bukan semata-mata pada penanganan kasus kekerasan pada anak. Merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap anak Indonesia dari kekerasan. Perlindungan anak tidak berhenti pada diterbitkannya regulasi kebijakan saja, namun diperlukan monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dan program yang nyata dari pemerintah untuk mewujudkan anak Indonesia bebas dari kekerasan. Selamat Hari Anak Nasional 2020!

Sumber referensi :

“Angka Kekerasan Terhadap Anak Tinggi di Masa Pandemi Kemen PPPA Sosialisasikan PProtokol Perlindungan Anak”, 23 Juli 2020, https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak

“Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia: Sebuah Penilaian Cepat Untuk Inisiasi Pemulihan Awal,” https://www.wahanavisi.org/id/media-materi/publikasi.html

“Selama 2019, KPAI Terima Seribu Kasus Kekerasan Anak”, https://jabar.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/kpai-kekerasan-anak-paling-banyak-terjadi-dalam-pengasuhan-regional-jabar/4

Tersendatnya Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Jalur Legislasi

Oleh:
SEMAR UI
Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI

Excerpt:
Tulisan ini berargumen bahwa dukungan pengesahan RUU P-KS dari masyarakat luas—lintas kelas sosial ekonomi, suku, dan keagamaan—harus diperkuat lagi untuk memberi tekanan kepada para anggota DPR, bahwa RUU tersebut merupakan kebutuhan mendesak masyarakat luas dan bukan kepentingan ideologis. RUU P-KS merupakan hasil studi panjang dan berbasis bukti dari pendataan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan koalisi lembaga-lembaga pengada layanan pendamping korban kekerasan seksual di seluruh wilayah Indonesia. Penolakan RUU P-KS justru bersifat ideologis, karena data empiris atau bukti-bukti yang telah dikumpulkan bertahun-tahun disangkal dengan pengguliran penafsiran keliru, stigma, dan prasangka negatif terhadap korban kekerasan seksual dan para pendukungnya. 

Dokumen lengkap dapat diunduh di sini:

Kerentanan dan Ketahanan Kelompok Minoritas Seksual dalam Pandemi Covid-19

Oleh:
Diana Pakasi
Nadira Chairani

Bulan Juni lalu, baru saja dirayakan Pride Month dan Hari Internasional Anti Homofobia dan Transfobia (IDAHOT). Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan tahun ini di Indonesia tidak diramaikan oleh parade luring yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI. Pandemi Covid-19 membuat perayaan di jalan utama Ibukota berganti menjadi rangkaian diskusi daring dengan format webinar. Namun, dampak dari pandemi tentunya tidak hanya pada bagaimana Pride Month dirayakan, lebih dalam, pandemi memberikan berbagai kerentanan baru pada kelompok LGBTI sebagai kelompok minoritas. Tulisan ini bertujuan untuk memotret bagaimana pandemi Covid-19 menambah lapisan kerentanan baru pada komunitas LGBTI dan cara-cara yang mereka lakukan agar dapat bertahan di tengah pandemi ini.

Kerentanan kelompok minoritas seksual: sebelum pandemi

Sebelum pandemi, studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa LGBTI di Indonesia mengalami berbagai persoalan di kehidupan sosial mereka. Mereka mendapatkan stigma sebagai ancaman moral dan penyakit sosial (Hidayana, 2018), diskriminasi (Khanis, 2013), dan kekerasan dari lingkungan keluarga, komunitas hingga aparat negara (Rolnik, 2013). Selaras dengan studi-studi tersebut, penelitian Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2019 terhadap komunitas lesbian, perempuan biseksual, dan trans laki-laki menunjukkan bahwa mereka menghadapi kerentanan yang berlapis dari berbagai aspek: ekonomi, kesehatan, dan sosial politik. Dari sisi ekonomi, sebagian besar responden tidak memiliki tempat tinggal sendiri yaitu 73% tinggal di kontrakan atau kos-kosan. Meskipun sebagian besar dari mereka (87%) bekerja, bahkan memiliki lebih dari satu pekerjaan. Namun, 70% responden mengaku pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan, 58% responden mengaku meminjam uang pada rentenir atau aplikasi peminjaman uang secara daring dengan bunga yang mencekik. Dari sisi kesehatan, responden mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Terdapat beberapa responden (17%) yang menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan ketika sakit karena mereka memiliki pengalaman buruk didiskriminasi dan/atau dilecehkan oleh tenaga kesehatan, sementara 10% responden menyebutkan bahwa mereka tidak mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran akan mendapatkan diskriminasi karena identitas gender dan seksual mereka. Lebih lanjut, sebanyak 37% responden tidak memiliki asuransi kesehatan apa pun. Ketidakpemilikan atas asuransi kesehatan, terutama Kartu Indonesia Sehat, dikarenakan mereka tidak memiliki KTP.

Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi responden adalah sulitnya mendapatkan KTP yang menjadikan mereka tereksklusi sebagai warga negara. Sebanyak 13% respoden mengaku bahwa mereka tidak memiliki KTP dengan berbagai alasan antara lain mereka tinggal secara mandiri terpisah dari keluarga mereka sejak usia anak, sehingga mereka tidak memiliki kartu keluarga di tempat tinggalnya saat ini, atau tidak memiliki akte kelahiran.

Persoalan lain yang menonjol adalah pengalaman kekerasan. Sebanyak 70% responden mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan kekerasan dari pasangan mereka, 70% juga menyatakan mendapatkan kekerasan dari keluarga mereka, 20% responden mengaku mendapatkan kekerasan dari komunitas di tempat mereka tinggal, 17% dari polisi, 17% dari kelompok keagamaan, 13% dari aparat pemerintah (terutama satpol PP), dan 7% dari tempat kerja. Ketika mendapatkan kekerasan, hanya 17% responden meminta bantuan hukum, sementara 33% responden meminta bantuan keluarga, 33% lainnya meminta bantuan pihak yang terpercaya (teman, tetangga, kelompok/organisasi sosial yang dikenal), dan 17% lainnya tidak meminta bantuan dari siapa pun.

Masa pandemi: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Dengan kerentanan yang beragam dan berlapis, masa pandemi menambah berat beban dalam kehidupan LGBTI. Dalam rangka menyambut IDAHOBIT, pada tanggal 17 Mei 2020  diselenggarakan satu webinar oleh YIFOS dan Sejuk yang bekerja sama dengan GAYa Nusantara bertemakan kehidupan komunitas LGBTI di Indonesia selama pandemi. Dari hasil webinar tersebut, terungkap bahwa pandemi berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan psikologis komunitas LGBTI.

Pandemi memberikan dampak yang buruk terhadap ekonomi Indonesia. Dampak ini pun sangat terasa pada kehidupan ekonomi LGBTI. LGBTI yang sudah mengalami marginalisasi ekonomi – seperti diuraikan sebelumnya – selama pandemi mengalami kehilangan pendapatan karena pemutusan hubungan kerja atau tutupnya usaha kecil mereka. Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Sejuk dan GAYa Nusantara disebutkan bahwa LGBTI yang berjualan makanan mendapatkan stigma karena ketidakpercayaan konsumen terhadap sanitasi produk mereka. Tidak adanya pendapatan, semakin membuat mereka terjerumus dalam lilitan hutang. Terdapat pula transpuan yang terpaksa tetap bekerja di salon atau sebagai pekerja seks untuk bertahan hidup, meski sepi pelanggan dan memiliki risiko tertular Covid-19. Beratnya bertahan hidup di tengah pandemi, diibaratkan oleh salah satu komunitas transpuan ‘hidup seperti orang mati perlahan-lahan’.

Karena sebagian LGBTI tidak memiliki KTP, ditambah dengan stigma dan diskriminasi, mereka tidak dapat mengakses bantuan sosial. Untuk membantu komunitas LGBTI yang sulit bertahan hidup di masa pandemi, beberapa organisasi seperti Arus Pelangi, Sanggar Swara, Sanggar Seroja, Queer Language Club membuka donasi dan membagikan sembako, nasi bungkus, atau barang modal usaha kepada LGBTI yang membutuhkan.

Pada masa pandemi, LGBTI juga semakin rentan mengalami kekerasan. Terlebih, terdapat kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pandemi Covid-19 adalah kutukan atau azab dari Tuhan karena semakin banyaknya jumlah LGBTI. Homofobia dan transfobia pada masa pandemi selalu mengintai di tengah-tengah beratnya LGBTI bertahan hidup. Sering kali hal tersebut termanifestasi dalam bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan. Awal pandemi di Indonesia diwarnai dengan kekerasan keji terhadap seorang transpuan, Mira, yang dibakar hidup-hidup. Pada akhir April, Ferdinan Paleka, Youtuber, mengelabui transpuan dengan berpura-pura membagikan satu kotak sembako yang ternyata berisi sampah. Kasus lain, LGBTI yang bekerja di luar rumah menceritakan pengalamannya menghadapi kekerasan dan pemerasan oleh Satpol PP.  Namun, mereka cenderung untuk tidak melapor karena takut mendapatkan serangan balik atau persekusi (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020).

Kekerasan yang dialami oleh LGBTI di lingkungan keluarga juga dilaporkan. Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), LGBTI merasa ‘terkurung’ di tempat tinggal mereka dan juga menjadi obyek surveilans dari keluarga mereka (Webinar Sejuk dan GAYa Nusantara, 17 Mei 2020). Dalam Webinar tersebut juga diungkap kasus kekerasan dari keluarga, terutama trans laki-laki, yang dipaksa untuk berpenampilan feminin, atau bahkan diminta menikah dengan laki-laki pilihan keluarga. Kekerasan ini jelas memberi beban psikologis pada komunitas LGBTI. Pada komunitas trans yang berada pada masa transisi, beban akan bertambah lagi dengan sulitnya mengakses hormon pada situasi COVID-19.

Ketahanan kelompok minoritas seksual: gerakan filantropi dan penguatan media baru

Dampak ekonomi yang berat pada komunitas LGBTI telah membuat beberapa organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak LGBTI menjalankan fungsi sebagai lembaga filantropi yang membagikan bahan pangan atau bantuan modal usaha. Bahkan, aksi filantropi ini juga melibatkan masyarakat umum yang peduli dengan persoalan kerentanan ekonomi kaum marginal. Tidak hanya di Jakarta, aksi filantropi ini juga terjadi di daerah lainnya, seperti Surabaya, Yogyakarta, Maumere, dan Manado. Pengorganisasian kelompok masyarakat sipil tersebut menunjukkan ketahanan (resilience) komunitas LGBTI di tengah-tengah pandemi.

Salah satu inisiatif kegiatan yang diinisiasi oleh YIFOS, yaitu dengan mengajarkan keterampilan untuk bercocok tanam yang disertai dengan pendampingan intensif oleh ahli. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberi kapasitas khususnya pada komunitas LGBTIQ rentan dan kelompok agama/kepercayaan minoritas yang rentan, sehingga dapat mengetahui cara produksi bahan makanan sendiri. Organisasi transgender di Indonesia yaitu Sanggar Swara dan TI (Transmen Indonesia) melakukan pengumpulan dana yang kemudian didistribusikan kepada komunitas transgender yang membutuhkan bantuan. Sanggar Seroja memiliki cara lain untuk mengumpulkan dana yang hendak disalurkan kepada komunitas transpuan yang membutuhkan bantuan, yaitu dengan mengadakan kegiatan seni secara daring. Karya seni yang ditampilkan dalam pentas seni daring tersebut berupa tari tradisional, video klip, puisi, serta film dokumenter.

Acara penggalangan dana oleh Sanggar Seroja dalam acara seni daring

Pemberlakukan PSBB dan kontak fisik, membuat berbagai advokasi, kampanye, dan penyadaran isu dilakukan secara daring. Hal ini memiliki kekuatan. Sebelumnya banyak aksi dan pertemuan komunitas LGBTI yang dipersekusi oleh organisasi massa dan dibubarkan secara paksa oleh aparat. Dengan aksi dan pertemuan dunia maya dengan platform yang dijamin sekuritasnya, acara menjadi lebih aman dari risiko persekusi, kekerasan, dan pembubaran. Lebih lanjut, platform diskusi digital telah memperluas partisipasi komunitas-komunitas LGBTI. Pada peringatan IDAHOT lalu, berbagai webinar diselenggarakan, diikuti oleh partisipan dan pembicara dari berbagai kota di Indonesia dan menyatukan berbagai organisasi dan komunitas LGBTI.

Aksi solidaritas dan advokasi oleh organisasi LGBTI melalui daring juga terbukti mendapat perhatian luas. Pada kasus Mira, misalnya, kelompok-kelompok masyarakat sipil mengunggah video pendek di media sosial mereka dengan menyalakan lilin untuk menuntut keadilan untuk Mira. Pada kasus Youtuber Ferdinan Paleka, sejak unggahannya menjadi meluas, kecaman publik terhadap pelaku semakin besar pula. Hal ini memberikan tekanan pada polisi untuk menangkap dan memidanakan pelaku. Selain itu, berbagai kelompok masyarakat sipil melalui media sosial melakukan penyadaran isu kekerasan terhadap transpuan.

Maraknya webinar, solidaritas dan advokasi secara daring yang meningkat selama masa pandemi menjadikan platform digital sebagai instrumen baru untuk penguatan gerakan LGBTI. Kita semua sedang bertransformasi secara lebih luas untuk kerja melalui berbagai platform digital. Komunitas LGBTI menunjukkan bahwa mereka secara cepat dapat menguasai dunia digital yang merupakan modal untuk bertahan di tengah pandemi.  

Referensi:

Hidayana, I. (2018). LGBT and social inclusion in Indonesia: what the surveys say?. Retrieved March 13, 2018, from http://theconversation.com/lgbt-and-social-inclusion-in-indonesia-what-the-surveis-say-91334

Khanis, S. (2013). Human Rights and the LGBTI Movement in Indonesia. Asian Journal of Women’s Studies, 19(1), 127–138. https://doi.org/10.1080/12259276.2013.11666145

Rolnik, R. (2013). Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination.

An Exercise in Agency

Pada bulan Juli 2019, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP UI melakukan riset operasional di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dengan KIT Royal Tropical Institute. Penelitian yang dilakukan membahas topik mengenai pengalaman orang muda dalam memaknai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta struktur dukungan yang ada untuk orang muda sehingga Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dapat terpenuhi. Penelitian dilakukan di Desa Limbangan dan Desa Cikelat, Sukabumi, dua desa yang merupakan desa intervensi dari program Yes I Do yang bertujuan untuk mengakhiri perkawinan anak, kehamilan remaja, dan sunat perempuan.

Laporan penelitian operasional “An Exercise in Agency” dapat diunduh di sini:

POLICY BRIEF – Kekerasan Seksual di Kampus: Pencegahan dan Penanganannya

Di Universitas Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 2018 melakukan penelitian tentang kekerasan seksual terhadap 177 responden mahasiswa UI. Sebanyak 9% responden mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seksual dan 21% menyatakan mengetahui adanya kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di lingkungan UI. Selain itu, HopeHelps, lembaga yang melakukan pendampingan mahasiswa korban tindak kekerasan seksual di UI, menyebutkan bahwa terdapat 44 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada lembaga ini sepanjang periode Februari 2019 – Maret 2020.

Tim dari Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI telah menyusun policy brief untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Dokumen dapat diunduh di sini.

Diskusi “Menuju Rekomendasi Kebijakan Responsif terhadap Persoalan Kekerasan Seksual di Kampus”

Tahun ini, Times Higher Education Impact Ranking menempatkan Universitas Indonesia di peringkat ke-47. THE Impact Ranking menentukan 100 perguruan tinggi di dunia yang terbaik dalam tidak hanya menghasilkan hanya kajian atau riset, tapi juga memimpin perubahan sosial masyarakatnya, menurut indikator-indikator 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Ketersediaan kebijakan perlindungan perguruan tinggi terhadap sivitas akademikanya yang melaporkan diskriminasi selama melaksanakan kehidupan kampus, merupakan salah satu indikator atau prasyarat tercapainya 6 SGDs.[1] Namun, meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus jelas mengindikasikan bahwa sivitas akademika UI belum belum memiliki kebijakan yang jelas dan responsif terhadap persoalan kekerasan seksual–sebuah bentuk diskriminasi bebasis gender–di kampus.

Maka, Unit Kajian Gender and Seksualitas LPPSP UI (Unit Kajian Genseks) menguak persoalan kekerasan seksual di kampus via diskusi online di Zoom pada hari Sabtu (25/04/2020) lalu. Diskusi yang bertemakan “Menuju Rekomendasi Kebijakan Responsif” ini berlangsung selama 2 jam, dan dihadiri oleh kurang lebih 80 orang.

I. Urgensi

Sivitas akademika UI bisa menemukan setidaknya tiga saluran untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Ketiga saluran ini diberdayakan oleh para mahasiswa sendiri, antara lain: HopeHelps, BEM FISIP UI, dan BEM UI. Selain menerima beragam laporan (Gambar 1), mereka juga memberikan pendampingan bagi korban yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Menurut pengalaman dari para narasumber yang mewakili ketiga saluran itu, tantangan korban tidak hanya bersumber dari diri tapi juga luar korban. Mengingat banyaknya tantangan dari luar korban, Wakil Ketua BEM Tri Rahmawati menekankan pentingnya korban mendapat dukungan dari sekitarnya. Dukungan sekitar korban adalah faktor penentu korban mengungkapkan atau mengurungkan niat melaporkan kasus kekerasan seksualnya. Ia, Ketua BEM Fajar Nugroho, Ketua BEM FISIP Salman Fathan, dan Koordinator HopeHelps Wildan Teddy menggaris bawahi pentingnya dukungan itu dengan cara: 1) mendengarkan; 2) memastikan keamanan dan kerahasiaan; 3) menanyakan kebutuhan; 4) mendiskusikan pilihan-pilihan korban selama melakukan pendampingan.

Gambar 1. Ragam Kekerasan Seksual di Kampus

II. Rekomendasi

Melihat keragaman bentuk dan pelaku kekerasan seksual menurut pengalaman sivitas akademika UI, Peneliti Unit Kajian Genseks Reni Kartikawati menjelaskan bahwa saat ini kode etik menurut Keputusan Rektor Tahun 2019 perlu dikembangkan lagi atau dibuat lebih spesifik. Pengembangan kode etik ini perlu diterjemahkan ke dalam turunan-turunan yang lebih konkret seperti Standar Operasional Penanganan (SOP) kasus kekerasan seksual dan layanan pengaduan yang menjamin respon cepat, kerahasiaan laporan, dan keamanannya dari relasi kuasa. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual di kampus lebih bisa dicegah atau diantisipasi dan ditindak dengan tegas. UI sudah memiliki beberapa hal tersebut termasuk draft SOP (Gambar 2), namun realisasinya harus diprioritaskan dan setiap fakultas diberdayakan sebagai titik atau focal point pelaksana SOP.

Analis Kebijakan Kemendikbud Sabina Puspita menambahkan bahwa selain peraturan dan mekanisme yang jelas, perlu digiatkan pelatihan dan kegiatan untuk menyamaratakan nilai atau value setiap anggota sivitas akademika kampus. Tenaga kependidikan, dosen, dan mahasiswa harus menginternalisasi value bahwa siapapun—terlepas dari identitas suku, agama, ras, dan gendernya—berhak mendapatkan pengalaman pendidikan tinggi yang aman dan nyaman. Dengan demikian, perbuatan viktimisasi atau victim-blaming tidak lagi menjadi norma, melainkan anggota sivitas akademika yang mengetahui sesamanya mengalami ketidaknyamanan saat menjalankan kehidupan kampusnya, jadi lebih peka dan tanggap dalam memberi dukungan atau pendampingan.

Gambar 2. Peraturan Yang Ideal dan Ketersediaannya di Kampus


[1] Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3 – Good health and well-being); Pendidikan Berkualitas (SDG 4 – Quality Education); Kesetaraan Gender (SDG 5 – Gender Equality); Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (SDG 8 – Decent Work and Economic Growth); Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10 – Reduced Inequalities); dan Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (SDG 16 – Peace, Justice, and Strong Institutions).

Yang Endemik di Lingkungan Akademik

Oleh: Sabina Puspita

Ditulis oleh penyintas pelecehan seksual. Penyintas mengalami sendiri pelecehan seksual di mobil antar jemput sekolah (usia 9 tahun), rumah sendiri (usia 11 dan 15), bus umum (usia 16 sampai 19 dan paling sering), lapangan basket sekolah (usia 17), rumah teman kuliah (usia 20), gedung kantor (usia 24), dan jalanan (terlalu sering atau sepanjang hidupnya di Jakarta). Pelaku setiap kejadian laki-laki dewasa. Penyintas mencatat setiap kejadian karena saat pencatatan tidak tahu harus berbuat apa atau berbicara kepada siapa.

Pandemi global COVID19 yang tengah melanda berbagai negara, termasuk Indonesia, berdampak besar terhadap rutinitas warga masyarakat. Dampak terbesar paling dirasakan oleh warga yang terdeteksi positif, pasien sakit lainnya, dan para tenaga medis beserta keluarga ketiga kelompok itu. Warga yang tidak terdeteksi positif dan tidak sedang sakit pun harus beradaptasi secara signifikan karena, selain tempat dan jam kerjanya berubah, pemasukannya pun mengalami penurunan bahkan terhentikan. Belum lagi dampak psikologis warga dari upaya-upaya mereka memahami ketidakpastian ini, strategi untuk bertahan hidup, dan kemampuan melindungi anggota keluarga dan orang-orang terdekat. Meskipun demikian, saya optimis bahwa vaksin itu akan tiba dan warga akan sehat kembali. Ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi modern sanggup memecahkan permasalahan pandemi ini.

Namun, tingkat optimisme saya ini terhadap persoalan kekerasan seksual di Indonesia nil. Saat rutinitas warga kembali lagi seperti normal karena permasalahan pandemi ini pun terpecahkan, penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang tersendat karena kedaruratan COVID19 pun bisa-bisa kembali normal: birokratis, pembebanan bukti pada korban, dan berakhir dengan hukuman yang tajam bagi korban tapi tumpul bagi pelaku.[i] Ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi modern sepertinya tidak akan bisa memecahkan permasalahan satu jenis wabah yang terpendam selama ini: pembiaran kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Beberapa hal dari pandemi COVID19 memicu ide-ide terkait “praktik ideal” penanganan pelecehan seksual yang layak di perguruan tinggi. Pada tulisan ini, saya akan mencoba mengembangkan daya kreativitas saya yang didasari oleh konsumsi bacaan saya dari ilmu sosial dan politik dan pemberitaan di media, serta pengamatan saya selama melakukan riset di beberapa lapangan penelitian tahun ini.

Bukan Penyakit yang Asimtomatik

Permasalahan kekerasan seksual di Indonesia jelas sudah memasuki fase mengkhawatirkan. Sebuah survei tahun 2017 menyebutkan kota Jakarta salah satu dari 10 kota di dunia yang paling tidak aman bagi perempuan, terutama karena tingkat kekerasan seksualnya (Gambar 1). Survei lain di tahun 2018 membuktikan Indonesia adalah tempat yang paling berbahaya ke-3 di Asia Pasifik untuk perempuan bisa hidup, setelah India dan Filipina (Gambar 2).

Terutama di konteks perguruan tinggi, data kuantitatif[ii] yang mengindikasikan rendahnya jumlah laporan namun data kualitatif[iii] yang menggambarkan ragam bentuk kekerasan seksual secara detil dan nyata, jelas menunjukkan bahwa kejadian kekerasan seksual yang endemik di lingkungan akademik Indonesia bisa menjadi epidemi atau wabah tersendiri.[iv] Banyak sekali penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi “lazim” terjadi di konteks masyarakat yang “menormalisasi” dominasi laki-laki dan domestifikasi perempuan[v] serta tingkat kekerasannya secara umum tinggi.[vi] Padahal, satu tindakan kekerasan seksual bisa menimbulkan efek riak pada: 1) korban dan keluarganya; 2) keluarga dan kerabat pelaku; dan 3) komunitas perguruan tinggi terkait.[vii] Maka, kasus kekerasan seksual “sekecil” apa pun (Tabel 1), layak dan pantas mendapatkan respon penanganan yang serius oleh masyarakat, perguruan tinggi, dan negara, selayaknya kita menangani kasus-kasus COVID19 saat ini.

Penanganan yang Layak

Apabila kita terus abai dalam menanggapi gejala-gejala dan kejadian kekerasaan seksual yang selama ini endemik di masyarakat dan lingkungan akademik kita, kekerasan seksual lama-lama bisa jadi sebuah wabah atau epidemi. Maka, ibarat pengidap COVID19 ringan yang harus dikarantina minimal 14 hari, pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi seharusnya, selain dikeluarkan dari—dan dilarang masuk kembali ke—dunia akademik, dikarantinakan selama minimal 14 tahun. Karantina bisa dalam rumah aman atau lembaga pemasyarakatan, intinya pelaku harus melalui isolasi panjang dari kehidupan bermasyarakat (extreme social distancing). Namun, berbalik dengan pengidap COVID19, identitas pelaku diinformasikan ke masyarakat. Selama karantina, pelaku menerima “perawatan instensif” berupa pendidikan soal relasi kuasa dan gender. Negara[viii] perlu melengkapi tenaga kerja yang menyampaikan materi pendidikan ini dengan alat pelindung diri atau APD yang memadai, sebab kita tidak tahu apa yang pelaku dapat perbuat padanya. Hukuman bagi pelaku bisa berkurang dengan pembuktian laju perkembangan nilai, pemahaman, dan perilaku pelaku terkait bagaimana memperlakukan sesamanya dengan adil dan beradab. Pembuktian ini harus dibuat serumit dan semenyakitkan mungkin—serumit dan menyakitkan proses pembuktian yang dibebankan pada korban kekerasan seksual (burden of proof) waktu melaporkan tindakan pelakunya ke pihak-pihak berwenang di kehidupan nyata saat ini. Terlebih dari itu, aset pelaku dibekukan negara dan pelaku harus bekerja tanpa upah untuk negara, sebagai ganti rugi ongkos negara membiayai pendidikannya semasa karantina.

Bagi pihak-pihak berkuasa yang terbukti lalai dalam penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk berupaya membungkam korban, saksi, dan pendampingnya (hostile environment sexual harassment),[ix] negara harus memperlakukan mereka seperti “pasien dalam pengawasan” atau PDP. Dalam hal ini, PDP dikarantina dari kehidupan bermasyarakat minimal 14 minggu, dan menerima pendidikan soal relasi kuasa dan gender juga selama itu. Negara berhak memberlakukan denda pada PDP untuk ongkos pendidikan yang mereka terima semasa karantina. Setelah masa karantina, kegiatan ekonomi dan bersosialisasi PDP dibatasi. Selain itu, PDP wajib melakukan pelaporan diri berkala hingga waktu yang tidak ditentukan, dengan mengikuti sejumlah tes yang relevan. Untuk bisa lepas dari status PDP, persyaratannya birokratis—sebirokratis proses penanganan laporan korban kekersan seksual di kehidupan nyata saat ini. Hal ini diperlukan untuk memastikan PDP sembuh total, sehingga mereka tidak mengulangi kelalaiannya dan menjadi lebih bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi mereka.

Korban kekerasan seksual seharusnya mendapat perlakuan layaknya masyarakat dunia sekarang memandang tenaga medis COVID19 sebagai barisan terbelakang pertahanan kemanusiaan (last defense line), kampus harusnya jadi barisan depannya (frontline).[x] Mengapa? Sebab kampus seharusnya tidak mempertaruhkan nyawa anggota sivitas akademikanya yang jadi korban kekerasan seksual untuk mengidentifikasi keberadaan pelaku kekerasan seksual di lingkungan yang seharusnya aman bagi seluruh anggota sivitas akademika, tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ekspresi gender, seksualitas, suku, ras, dan agama. Setiap korban sudah dihadapkanpada resiko: 1) dikucilkan orang sekitar; 2) terhambat proses belajarnya; dan 3) depresi karena harus mengingat kembali kronologi dan trauma pelecehan seksual yang ia alami.[xi] Oleh karena itu, hak-hak korban sebagai manusia harus dipulihkan. Pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya—dan perguruan tinggi serta negara mempertanggungjawabkan kelalaiannya—setidaknya dengan membiayai beban finansial yang korban tanggung untuk pemulihannya.

Penutup

Pendekatan dan metode yang penulis ajukan ini memang belum dapat dibuktikan secara ilmiah keberhasilannya. Namun, apakah kita harus menunggu keseriusan isu kekerasan seksual di perguruan-perguruan tinggi Indonesia menjadi sebuah pandemi dulu, baru mencobanya? Ibarat pandemi yang menuntut warga masyarakat untuk mengubah pola hidup secara signifikan demi pembasmian virus mematikan, maka masyarakat pun harus mulai mengubah pandangannya dan memperlakukan juga segala perilaku dan pelaku kekerasan seksual sebagai sesuatu yang mematikan kesempatan hidup orang lain dan harus dibasmi. Semoga ada pihak-pihak berkuasa yang bersedia serius memikirkan (atau mungkin mengadopsi) pendekatan dan metode seutopis ide-ide yang ditawarkan tulisan ini.


Catatan Penulis

[i] Baca reportase dari lembaga-lembaga pers mahasiswa seperti “Di Bawah Cengkraman Dosen Mesum” (LPM Humanika IAIN Gorontalo) dan “Keberlanjutan Kasus Agni” (Balairung Press) untuk contoh-contoh kasus di lingkungan pendidikan tinggi; baca juga “Divonis 10 Bulan Penjara karena Lecehkan 5 Siswi” untuk contoh kasus di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.

[ii] Lihat model yang dibangun Tirto berdasarkan 174 testimoni penyintas untuk proyek #NamaBaikKampus; baca juga Ardi dan Muis (2014) yang menemukan 40% dari 304 mahasiswa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi; dan Rusyidi, Bintari, dan Wibowo (2019) untuk mehami keterkaitan antara pengalaman dan pengetahuan tentang kekerasan seksual mahasiswa perguruan tinggi Indonesia melalui metode kuantitatif.

[iii] Baca “Predator Seksual di Kampus” (Ghaliyah 2019); Widyasari dan Aryastami (2018) untuk konteks mahasiswa berpacaran di Yogyakarta; dan Artaria (2002) untuk konteks mahasiwa di Surabaya.

[iv] Paludi et al. (2006) menyebut fenomena kekerasan seksual dalam kampus di berbagai negara sebagai The Sound of Silence atau “suara lantang kesunyian.”

[v] Menurut survei yang dilakukan di kalangan mahasiswa Republik Rakyat Tiongkok, sebagian besar mahasiswa tidak menganggap perilaku seksis dan misoginis sebagai bentuk intimidasi, diskriminasi atau pelecehan seksual (Tang et al. 1995).

[vi] Menurut sebuah kajian perbandingan mancanegara, mahasiswa dalam konteks masyarakat demikian harus mendapatkan pelatihan dan pendidikan berkala dulu untuk dapat mengenali bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual (Paludi et al. 2006); dan di konteks Indonesia, mereka yang belum pernah mengalami langsung kekerasan seksual cenderung tidak bisa mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual (Rusyidi, Bintari, dan Wibowo 2019).

[vii] Koss et al. (2014)

[viii] Maksud “negara” di sini adalah kementerian dan lembaga nasional terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (apabila pelaku itu Aparat Sipil Negara), dan sebagainya.

[ix] Di konteks Amerika Serikat, keadaan terjadinya kekerasan seksual di kampus bisa digolongkan menjadi dua, yakni, quid pro quo atau hostile environment; golongan pertama merujuk pada keadaan di mana korban dilecehkan karena tekanan atau ancaman dari pelaku yang sifatnya transaksional, dan golongan kedua merujuk pada kasus di mana korban dilecehkan karena lingkungan perguruan tingginya yang tidak mendukung atau malah memungkinkan terjadinya kekerasan seksual (Paludi et al. 2019).

[x] Lihat cuplikan video pernyataan Dr. Michelle Au.

[xi] Baca Artaria (2002) untuk memahami bagaimana pengalaman kekerasan seksual pada mahasiswa korban berdampak pada rambutnya yang rontok dan depresi berat; Jackson (2018) untuk dampak lain kekerasan seksual dalam konteks Amerika Serikat; Paludi et al. (2006) dalam konteks negara-negara Latin Amerika dan Afrika; dan Fairbairn (2015) dalam konteks dunia maya.

Daftar Pustaka

Artaria, M. D. (2002). Efek Pelecehan Seksual Di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer.

Ardi, N. M. S., & Muis, T. (2014). Perilaku Seksual Remaja Mahasiswa Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Mahasiswa Bimbingan Konseling Unesa4(3).

Fairbairn, J. (2015). Rape threats and revenge porn: Defining sexual violence in the digital age. University of Ottawa Press: EGirls, ECitizens, 229-252.

Fitzgerald, L. F., Magley, V. J., Drasgow, F., & Waldo, C. R. (1999). Measuring sexual harassment in the military: The sexual experiences questionnaire (SEQ-DoD). Military Psychology, 11, 243–263.

Jackson, M. D. C. (2018). Litigation and the Title IX Coordinator: A Look Into the Effects of Litigation on the 23 CSU System Campuses after Implementation of a Title IX Coordinator (Doctoral dissertation, California Baptist University).

Koss, M. P., Wilgus, J. K., & Williamsen, K. M. (2014). Campus sexual misconduct: Restorative justice approaches to enhance compliance with Title IX guidance. Trauma, Violence, & Abuse15(3), 242-257.

Paludi, M., Nydegger, R., DeSouza, E., Nydegger, L., & Dicker, K. A. (2006). International perspectives on sexual harassment of college students: the sounds of silence.

Rusyidi, B., Bintari, A., & Wibowo, H. (2019). Pengalaman Dan Pengetahuan Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal Di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi. Share: Social Work Journal9(1), 75-85.

Tang, C. S. K., Yik, M. S., Cheung, F. M., Choi, P. K., & Au, K. C. (1995). How do Chinese college students define sexual harassment? Journal of Interpersonal Violence10(4), 503-515.

Widyasari, R., & Aryastami, N. K. (2018). Kajian Sosiologis Perilaku Beresiko Kesehatan Pada Kekerasan Dalam Berpacaran Mahasiswa Di Yogyakarta. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan21(1), 48-59.

Capaian-Capaian Kunci dalam Perayaan Hari Perempuan Internasional 2020

Oleh: Sabina Puspita, Jakarta, 12 Maret 2020

Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun ini aktif bekerja sama dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan masyarakat sipil dalam aliansi GERAK Perempuan (singkatan dari Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan). Selain mensosialisasikan isu-isu penting yang perempuan Indonesia masih hadapi, GERAK Perempuan juga mengkoordinasikan beragam kegiatan yang masing-masing organisasi anggotanya selenggarakan untuk merayakan Hari Perempuan Internasional 2020 (IWD)  dengan makna dan agenda yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Tulisan ini membahas tiga capaian kunci dalam IWD.

  • Pembentukan Aliansi dan Agenda Gerakan yang Interseksional

Perwakilan Puskagenseks menghadiri rapat perdana konsolidasi persiapan menuju IWD pada tanggal 24 Januari 2020. Rapat diadakan di sebuah ruang kecil lantai dua kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ruang berisikan puluhan orang yang terdiri dari (beberapa) pemuda, (banyak sekali) pemudi dan (tidak kalah banyak) perempuan dewasa dari sekitar 65 organisasi mahasiswa, akar rumput, dan buruh di Jakarta, Tangerang, Pamulang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor, dan Bandung.

Setiap tahun menjelang IWD, rapat konsolidasi pasti diadakan. Namun, keunggulan dari tahun ini terletak pada persiapannya yang lebih lama, dan hal-hal yang dibicarakan pun lebih substantif atau mendalam, melampaui hal-hal teknis seperti strategi memobilisasi aksi IWD pada tanggal 8 Maret.[i] Dari isu-isu yang menjadi perhatian gerakan #NamaBaikKampus dan #ReformasiDikorupsi, hingga yang teraktual seperti RUU Omnibus Law dan RUU Ketahanan Keluarga, peserta rapat mengkonsolidasi suara mereka sebagai sebuah aliansi atau gerakan koalisi besar yang “Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan.”[ii]

Terkait dengan kekerasan sistematis, banyak sekali organisasi mahasiswa organik—yang belum tentu terdaftar sebagai organisasi ekstra kurikuler kampus—hadir pula di rapat tersebut. Mereka tergabung dalam Jaringan Muda Setara. Karena tidak adanya mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang jelas, pro-korban, dan transparan di kampus-kampus mereka,[iii] fokus organisasi-organisasi yang tergabung dalam jaringan ini adalah pada pemantauan dan pencegahan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus, termasuk penguatan korban dan pendampingnya.

Terlebih dari itu, IWD kali ini bersejarah karena Nining Elitos menjabat sebagai Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Baru kali ini konfederasi buruh sebesar KASBI dipimpin oleh seorang perempuan. Kehadiran seorang perempuan sebagai pemimpin serikat-serikat buruh, memproyeksikan jumlah dan komposisi peserta aksi IWD kali ini yang sangat besar dan beragam atau interseksional (lintas kelas, agama, suku, dan identitas gender).

  • Penguatan Solidaritas dan Pertukaran Pengetahuan Antar-Anggota Aliansi

Untuk mengisi agenda aliansi yang disepakati—melawan kekerasan sistematis terhadap perempuan—Puskagenseks pada tanggal 3 Maret mengadakan acara diskusi “Seks, Pacaran, dan Perkawinan: Campur Tangan Negara dalam Seksualitas.” Beberapa perwakilan dari aliansi GERAK Perempuan seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Lingkar Studi Feminis, Indonesia Feminis, Perempuan Agora, Perempuan Mahardhika, dan Aliansi Satu Visi turut hadir.

Pembicara Talk Show (kiri ke kanan: Reni Kartikawati, Diana Pakasi, Sabina Puspita, Nadira Chairani)
Sumber: Dokumentasi Puskagenseks 2020

Khususnya, Puskagenseks berkoordinasi dengan Aliansi Satu Visi dalam segmen diskusi dan nonton bareng film Vessel (Kapal Penyelamat). Koordinasi ini menghadirkan Profesor Meiwita Budiharsana, Yanose Syahni, dan Shafira Jelita sebagai narasumber kunci diskusi film. Paparan mereka memicu tanya-jawab dari peserta lain soal kesulitan akses perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi, aborsi aman, dan pendidikan seks komprehensif di Indonesia.

Akses mahasiswa terhadap layanan pengaduan kekerasan seksual di kampus belum dibicarakan dalam acara ini. Minimnya diskusi terbuka terkait seks dan tingginya tingkat keberagaman praktik pacaran dan perkawinan di tengah masyarakat muda Indonesia, bisa jadi adalah penyebab minimnya pengetahuan mahasiswa dan orang dewasa Indonesia tentang perilaku dan penanganan kekerasan seksual. Campur tangan negara dalam relasi atau urusan privat warga, dan cuci tangan lembaga atau negara yang berwenang dari urusan perlindungan korban kekerasan seksual, adalah sebuah fenomena yang harus dikritisi lebih dalam.

Maka, dalam segmen talk show sebelum segmen nobar, Nadira Chairani melalui analisis pemantauan media dan lapangan risetnya,  menunjukkan bagaimana remaja Indonesia memahami dan menjalankan hubungan pacaran mereka sangat beragam, dan terlalu kompleks untuk dibahasakan dengan satu terminologi saja. Diana Pakasi, dengan menggunakan beberapa contoh kasus risetnya, menunjukkan bagaimana usaha dan campur tangan negara dalam mengelompokkan apa yang tergolong perkawinan sah itu sangat tidak mencerminkan kenyataan atau praktik-praktik perkawinan masyarakat Indonesia. Menurut analisis Sabina Puspita, hal-hal yang dipaparkan oleh Nadira dan Diana menunjukkan bahwa perkembangan seksualitas remaja dan khususnya perempuan itu bukan sebuah proses yang alami, tapi proses pertarungan ide dan nilai antara negara dan warganya.

  • Penindaklanjutan Kasus Pelecehan Seksual yang Responsif  dan Reflektif

Dalam acara puncak IWD pada aksi turun ke jalan pada tanggal 8 Maret, GERAK Perempuan mendapatkan banyak laporan pelecehan seksual dari peserta aksi. Berbagai pemberitaan di media juga menggaris bawahi ironi dari aksi IWD GERAK Perempuan. Bahwa dalam sebuah kegiatan aksi yang diselenggarakan oleh 60 lebih organisasi perempuan dan buruh, banyak peserta aksi–perempuan, transpuan, dan laki-laki berekspresi feminin–mengalami intimidasi verbal dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama peserta aksi dan juga aparat keamanan. [iv]

Peserta march IWD 2020, Jakarta
Sumber: Dokumentasi Sabina 2020

Patut diapresiasi, sehari setelah aksi berlangsung, KASBI sebagai anggota aliansi GERAK Perempuan langsung mengeluarkan pernyataan permohonan maaf secara publik atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota serikatnya. Respon cepat tanggap serupa tidak banyak dilakukan oleh organisasi lain ketika terjadi dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota organisasi. Hingga saat penulisan artikel ini, GERAK Perempuan masih membuka layanan aduan dan melakukan pendataan lengkap bentuk-bentuk pelecehan yang terjadi.

Resolusi yang dicapai oleh GERAK Perempuan, secara garis besar, meliputi dua hal. Pertama, KASBI mengadakan penyelidikan internal terkait pengidentifikasian pelaku pelecehan tersebut. Kedua, GERAK Perempuan mengakui kekurangannya dalam: 1) menguatkan solidaritas serta pertukaran pengetahuan antara organisasi anggota buruh dan non-buruh; dan 2) mengantisipasi permasalahan keamanan dan strategi pencegahannya saat aksi.

Penutup

Tradisi merayakan IWD sudah dilakukan sejak 8 Maret 1911.[v] Barisan kelompok-kelompok perempuan di Paris, Boston, New York, dan kota-kota kerajaan Austro-Hungaria berdemonstrasi untuk memperoleh, baik hak mereka sebagai buruh, maupun hak suara politik sebagai warga negara untuk mencegah Perang Dunia I. Seruan aksi turun ke jalanan mereka ditujukan untuk meningkatkan kesadaran orang tentang hal-hal yang sudah dan belum dicapai oleh perempuan—lintas kelas, suku, agama, identitas gender dan seksualitas—dalam struktur masyarakat yang cenderung mengekang kebebasan dan kesempatan perempuan.

Kesalahan dan tantangan yang dihadapi oleh aliansi GERAK Perempuan pada saat dan setelah aksi 8 Maret, terutama kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam konteks IWD, merupakan pukulan terberat bagi GERAK Perempuan. Namun, kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa menghentikan kekerasan sistematis terhadap perempuan membutuhkan perlawanan yang lebih besar.

“Bebaskan Tahanan Politik Perempuan Papua”
Sumber: Dokumentasi Sabina 2020

[i] Korespondensi antara Penulis dan Sekjen Perempuan Mahardhika, Ika (7 Maret 2020).

[ii] Tema besar yang diusung oleh penyelenggara IWD di tingkat internasional adalah “Semua untuk Kesetaraan” atau Each for Equal.[ii] 

[iii] Wawancara antara Penulis dan Ketua salah satu organisasi anggota Jaringan Muda Setara.

[iv] Korespondensi antara Penulis dan Narahubung tim penyusun kertas sikap, Lini Zurlia (12 Maret 2020)

[v] Kaplan, Temma. “On the Socialist Origins of International Women’s Day.” Off Our Backs 21, no. 3 (1991): 27-36.