Fenomena AYLA (Anak yang Dilacurkan)

Ilustrasi : Retno Aji Prasetyo

Oleh : Reni Kartikawati

Berdasarkan klasifikasi Komnas Perempuan, salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah praktik perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dan eksploitasi seksual.[i] Di Indonesia, fenomena AYLA (anak yang dilacurkan) dalam kegiatan eksploitasi seksual komersil anak (ESKA) tidak dapat terhindarkan. UNICEF dalam dokumen A/50/456 mendefinisikan pelacuran anak (child prostitution) sebagai “the act of engaging of offering the service of a child to perform sexual act for money or other consideration with a person or any other person.” Dalam hal ini, pelacuran anak ialah perbuatan dengan menggunakan atau menawarkan jasa seksual anak untuk melakukan kegiatan seksual demi uang atau pertimbangan lainnya dengan seseorang atau beberapa orang. Praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk ESKA, yaitu pemanfaatan anak untuk tujuan seksual dengan kompensasi berupa imbalan tunai/bentuk lainnya oleh pembeli jasa seksual, perantara/agen dan pihak lainnya yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ini. Anak, dalam fenomena ESKA pada dasarnya tidak mampu membuat keputusan untuk memilih prostitusi sebagai profesinya.[ii]

Data BARESKRIM Polri dari tahun 2011 hingga 2013 yang dilansir KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyebutkan bahwa ESKA menduduki kasus eksploitasi terhadap anak terbesar, dengan jumlah kasus sebesar 205. Salah satu kasus eksploitasi seksual terhadap anak ini adalah kasus perdagangan (trafficking) anak. Kasus perdagangan anak ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data KPAI menunjukkan peningkatan tersebut dalam kurun waktu tiga tahun dari 2010-2012. Pada tahun 2010, terdapat 410 kasus, meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan 673 kasus pada tahun 2012. Hal ini juga dikuatkan hasil penelitian ECPAT Indonesia pada tahun 2013 yang memaparkan temuan adanya 150 ribu anak Indonesia yang dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. Sebagian dari mereka berada dalam usia produktif  (usia sekolah), dengan rata-rata usia 14-16 tahun. Indonesia dalam hal ini dikatakan sebagai salah satu negara asal, transit dan tujuan dari perdagangan perempuan dan anak, terutama untuk tujuan seksual.[iii]

Melihat banyaknya fenomena kasus AYLA serta berbagai faktor yang melatarbelakanginya, hal tersebut menjelaskan bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi agenda utama bagi pihak pemerintah, khususnya terkait dalam penyediaan regulasi perangkat hukum yang memadai untuk melindungi anak, khususnya anak perempuan yang rentan terhadap tindakan eksploitasi seks komersial. Hal tersebut penting karena hal tersebut merupakan bagian dari hak anak.

Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konsitusi negara UUD RI yaitu pasal 28b. Disebutkan dalam pasal tersebut ayat kedua, bahwa setiap anak berhak atas kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pasal 59 UU No. 35 tahun 2014, pengganti UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta anak yang diperdagangkan”.[iv]

Selain itu, Konvensi Hak Anak (KHA) pasal 34 dan 35 secara langsung mewajibkan negara untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelacuran anak. Pasal 34 menyebutkan bahwa “Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual” dan Pasal 35 mengatakan bahwa “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak, nasional, bilateral multilateral, untuk mencegah penculikan, penjualan, atau jual beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun.[v]

Dari berbagai fenomena kasus AYLA yang telah dijelaskan, kita dapat juga melihat dampak yang ditimbulkan terhadap AYLA tersebut, diantaranya yaitu:

  • Kerawanan terhadap kekerasan, baik fisik, maupun psikis. Adapun rentan secara fisik misalnya rentan akan kekerasan seksual (misalnya dipukuli) serta rentan terkena penyakit menular seksual (IMS) akibat berhubungan seksual berganti pasangan tanpa alat pengaman (kontrasepsi), atau bahkan HIV/AIDS. Selanjutnya, anak juga rentan secara psikologis karena anak yang dilacurkan berada dalam kondisi direndahkan dan dilecehkan. Mereka tidak punya kemampuan untuk melakukan pilihan karir dan menerima kondisi yang ada begitu saja;
  • Dampak sosial, adanya penolakan dari lingkungan tempat anak tersebut tinggal, umumnya masyarakat melihat pekerjaan mereka telah merusak moral, sehingga mereka didiskriminasikan dan mendaptkan stigma negatif dalam masyarakat. Dalam jangka waktu panjang, hal ini juga akan mengakibatkan hilangnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak merupakan pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual, khususnya anak perempuan. Anak perempuan menjadi komoditas yang menguntungkan namun berada pada posisi lemah. Mereka dijadikan alat pemuas kebutuhan bagi para pemilik modal (yang berkuasa) dalam lapisan struktur yang lebih tinggi dibandingkan mereka. Foucault, dalam bukunya History of Sexuality (1976), menjelaskan “seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari sebuah diskursus plural dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas hingga abad ke-20”. Prostitusi kemudian diartikan sebagai beralihnya peran tubuh perempuan dari wilayah privat ke publik. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, anak-anak yang melacurkan diri merupakan bagian dari eksploitasi seksual anak, termasuk bagi anak yang memutuskan masuk dalam dunia prostitusi tersebut secara ‘sukarela’. Keputusan anak untuk menjadi objek seks komersial tidak bisa diterima karena anak tidak cakap secara hukum untuk memutuskan diri menjadi objek seks.[vi] Praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM, khususnya hak anak.

Penyunting : Gabriella Devi Benedicta

[i] Mariana Amiruddin, Kekerasan Seksual : Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal, diakses dari http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2015/01/Kekerasan-Seksual-Bukan-Kejahatan-Kesusilaan-melainkan-Kriminal-Mariana-Amiruddin.pdf

[ii] Ahmad Fauzi., 2006., Anak yang Dilacurkan: Dari Perspektif Hukum Perlindungan Anak., Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, hlm. 14-16. (internet), [diakses 29 Oktober 2015]. Diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/86751-T16409-Ahmad%20Fauzi.pdf

[iii] TEMUAN DAN REKOMENDASI KPAI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI BIDANG PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DAN EKSPLOITASI TERHADAP ANAK, 6 Juni 2014. (internet), [diakses 28 Oktober 2015]. Diunduh dari: http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/.

[iv] Ibid.

[v] Farid Wadji,  2012., PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA : Dilema dan Solusinya., Jakarta: PT. SOFMEDIA, hlm. 114-115.

[vi] Ibid, hlm. 86-91.

Kekerasan Seksual dan Agama

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta 

Ruang yang dianggap sangat aman bagi sebagian pihak seperti rumah ibadah, nyatanya tidak terlepas dari praktik kekerasan seksual. Dilansir dari laman koran tempo.co, seorang pemilik pondok pesantren di Bogor dan Tangerang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia karena dugaan melakukan tindak pelecehan seksual. Alasan pengaduan tersebut didasarkan atas tuduhan dilakukannya perabaan dan persetubuhan dengan santri perempuan oleh pemilik pesantren.[i]

Belum lama ini, film Spotlight yang mendapatkan penghargaan film terbaik Oscar 2016 juga menyoroti tindak pedofilia yang terjadi di kalangan biarawan gereja Katolik di Boston, Amerika Serikat. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut diambil dari hasil investigasi wartawan the Boston Globe pada kurun waktu 2001-2003. Walaupun tidak dapat dipastikan keterkaitannya secara langsung, namun setelah film tersebut dirilis berbagai kesaksian tentang kasus pelecehan seksual terhadap anak di dunia mulai terungkap. Reuters dalam tempo.co menyajikan kesaksian bendahara Vatikan, Pell (2016), terkait masalah pelecehan sistemik dalam tubuh gereja Katolik yang melibatkan ratusan anak di Australia pada tahun 1960-1190. Kesaksian tersebut dilakukan di hadapan Australian Royal Commission, Lembaga Peradilan untuk kasus Pelecehan Seksual Anak.[ii]

Berdasarkan ilustrasi dari dua kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam institusi keagamaan di atas, dapat dilihat bahwa pelaku kekerasan seksual adalah pihak yang memiliki kuasa lebih atas korbannya. Posisi kuasa lebih tinggi di dalam suatu institusi menciptakan ruang untuk menunjukkan dominasi hasrat seksual kepada pihak yang lebih lemah. Keenan (2006) mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kewajiban untuk hidup selibat sebagai seorang biarawan dengan praktik pelecehan seksual terhadap anak. Hidup tidak menikah yang menjadi salah satu kewajiban bagi biarawan dan biarawati seharusnya bukan menjadi alasan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan di balik tembok biara. Praktik hidup selibat nyatanya tidak berakhir pada tindakan pelecehan seksual pada sebagian besar biarawan dan biarawati yang menjalankannya. Namun, ia menjelaskan bahwa hidup selibat rentan terhadap konflik personal, terlebih ketika secara institusional gereja Katolik sendiri melarang seks dalam bentuk apapun bagi biarawan. Namun di lain sisi, ia harus hidup di bawah pengajaran agama Katolik sendiri tentang seksualitas. Lebih lanjut, isu pelecehan anak dalam gereja secara dilematis menyentuh isu yang sangat personal/individual maupun kelembagaan; otoritas dan struktur kuasa.[iii]

Sedikit berbeda, di dalam pesantren tidak ada kewajiban untuk hidup selibat bagi pemimpin agamanya seperti dalam gereja Katolik. Akan tetapi, hal tersebut tidak meniadakan praktik kekerasan seksual di dalam institusi mereka. Kekerasan seksual adalah bentuk perolehan kuasa dan perasaan untuk mendominasi orang lain. Dominasi atas kuasa dan kontrol atas tubuh seseorang dapat terjadi di berbagai ranah, termasuk di balik tembok biara maupun pesantren, tempat yang dianggap ‘aman’ bagi orangtua untuk membiarkan anaknya beraktivitas dan belajar ilmu agama.

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak banyak kasus kekerasan seksual di dalam institusi agama bisa dengan mudah terungkap? Keengganan untuk mengungkap kasus tersebut terjadi karena perbedaan status yang membuat korban lebih banyak memilih diam. Pemuka agama yang secara sosial lekat dengan penilaian moral sebagai pribadi yang baik, dianggap jauh dari hal-hal tercela yang umumnya dilakukan oleh mereka yang liyan. Status sebagai pemimpin agama yang terpandang, dihormati dan menjadi representasi agama yang dianut membuat korban ataupun orang tua korban enggan bahkan takut untuk memperkarakannya. Akankah kebenaran bisa terungkap, jika keadilan hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berkuasa? Deskripsi kasus-kasus di atas merupakan contoh dari kesulitan yang ditemui dalam kasus pelecehan seksual; ketika moral dan agama menjadi tameng dan ditujukan untuk menaklukan mereka yang lemah dan tak berdaya.

Penyunting : Sari Damar Ratri

[i] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2015/09/17/079701510/diduga-mencabuli-santri-pemilik-pesantren-diadukan-ke-kpai

[ii] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2016/03/06/117751206/korban-pelecehan-seksual-kecewa-kepada-paus-fransiskus

[iii] Marie Keenan, January 2006, “The Institution and the Individual : Child Sexual Abuse by Clergy”. The Furrow. Volume 57, No. 1, p. 5-7.