16 RUPA: Beda Itu Biasa

Oleh: Nadira Chairani

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) merupakan gerakan global yang dibentuk oleh masyarakat dan berbagai lembaga/organisasi atas ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Indonesia turut memperingati 16HAKtP sejak tahun 1991 dan gerakan ini menjadi rutin dilakukan pada tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya.

Pada 16HAKtP tahun 2019, Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI, Pamflet Generasi dan Aliansi Satu Visi yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman atau KITASAMA ikut berkontribusi dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) dengan menyelenggarakan acara bertajuk 16 Hari RUang PuAn: Beda Itu Biasa atau juga yang kami sebut sebagai 16RUPA. 16RUPA  mengupayakan untuk menjadi ruang-ruang ekspresi bagi perempuan yang dibentuk atas dasar keprihatinan dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia. Bentuk yang diusung dalam 16RUPA adalah Instalasi Rupa-Rupa yang termasuk di dalamnya instalasi replika pakaian penyintas kekerasan seksual “Saat Itu Aku….”, 8 instalasi rupa ragam kelamin perempuan, 8 instalasi rupa ragam payudara perempuan, instalasi rupa lukis perempuan dalam sehari-hari, kelas-kelas seni, diskusi, pasar karya puan, dan ruang aman.

Instalasi “Saat Itu Aku…”
Sumber: Dokumentasi 16RUPA
Instalasi rupa vulva
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani
Instalasi rupa payudara
Sumber: Dokumentasi Nadira Chairani

16 Hari Ruang Puan membawa suara-suara perempuan yang tidak tersampaikan, membantah keraguan yang selalu terpikirkan. Semua pelakon utama dalam 16RUPA adalah perempuan dan tujuan utama dari 16RUPA adalah untuk memaparkan kenyataan bahwa perempuan masih berada pada posisi rentan, sekaligus memberikan penguatan pada perempuan itu sendiri bahwa setiap manusia memiliki keunikan masing-masing atas bentuk organ tubuh yang berbeda-beda. Rangkaian kegiatan ini dilakukan kembali untuk mengkampanyekan bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa. Selain untuk perempuan, secara umum 16RUPA disajikan untuk seluruh anggota masyarakat yang tertarik untuk belajar bersama dalam 16HAKtP.

Media massa ikut meliput dan menyebarluaskan kabar terkait kegiatan 16RUPA dengan pengemasan kabar yang bernada positif. Hasil peliputan dapat dilihat pada tautan berikut:

“…replika pakaian korban kekerasan seksual disertai narasi terkait kronologi peristiwa untuk membangun empati publik.” 2019. Tirto.id. Pameran Replika Pakaian Korban di 16 Hari Anti Kekerasan Perempuan. https://tirto.id/pameran-replika-pakaian-korban-di-16-hari-anti-kekerasan-perempuan-emmJ

“Ruang PuAn, wujud dari lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan di Indonesia.”2019. Magdalene. 16 RUPA: Beda Itu Biasa, Ruang Ekspresi untuk Perempuan. https://magdalene.co/story/16-ruoa-beda-itu-biasa

“16 RUPA menjadi ruang perempuan untuk berekspresi dan menjadi diri sendiri dalam keahlian masing masing.” 2019. Jawapos.com. Pameran “16 RUPA:Beda itu Biasa”. https://www.jawapos.com/photo/pameran-16-rupabeda-itu-biasa/

“Tidak semua kekerasan seksual terjadi karena korban memakai baju yang minim. Perempuan juga bukan satu-satunya korban. Laki-laki maupun waria pun bisa menjadi korban kekerasan seksual.” 2019. Jawapos.com. Siapa Saja Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual. https://www.jawapos.com/art-space/seni-rupa/27/11/2019/siapa-saja-bisa-menjadi-korban-kekerasan-seksual/

“Kampanye ini menampilkan berbagai instalasi mulai dari pakaian para korban kekerasan seksual, bentuk vagina dan payudara perempuan hingga beragam lukisan bertema perempuan.” 2019. KBR. Kampanye Anti Kekerasan Seksual Melalui Seni. https://kbr.id/berita/11-2019/kampanye_anti_kekerasan_seksual_melalui_seni/101495.html

2019. Prokal.co. Waspada…!! Siapa Saja Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual. https://kaltim.prokal.co/read/news/364013-waspada-siapa-saja-bisa-jadi-korban-kekerasan-seksual.html

HopeHelps

HopeHelps merupakan perkumpulan mahasiswa Universitas Indonesia yang menyediakan layanan tanggap kekerasan seksual bagi civitas academica Universitas Indonesia.

Jika mengalami atau mengetahui kekerasan seksual, hubungi HopeHelps melalui hotline atau email. HopeHelps akan memberikan pendampingan psikologis dan hukum sesuai dengan kebutuhan.

HOTLINE
082299788860
(Telepon, WhatsApp dan SMS buka 24 jam. Helpers aktif pukul 08.00 – 22.00 WIB)

EMAIL
advokasi.hopehelps@gmail.com (Dalam keadaan emergency, silahkan hubungi hotline hopehelps melalui WhatsApp dengan mengirimkan chat “EMERGENCY” terlebih dahulu)

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami di:
Line: line://ti/p/@vkk9381c
Instagram: @hopehelps.ui

Pembanguan dan Kontradiksinya: Sebuah Refleksi

Oleh: Sari Ratri[1]

Sejak setahun yang lalu, sebuah gedung bangunan baru, berdiri di Desa Tandima[2], di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bangunan tersebut merupakan Gedung Pustu (Puskesmas Pembantu) tambahan untuk warga di desa. Desa Tandima memiliki empat dusun yang berjarak cukup berjauhan. Dusun Manggalu, Dusun Telo, Dusun Rana, dan Dusun Bonga. Kecuali Dusun Telo yang letaknya lebih dekat dengan Puskemas di kota kecamatan, para warga di ketiga dusun lainnya mengakses layanan kesehatan dasar di Pustu yang berada di Dusun Manggalu. Kali ini, pustu yang baru, terletak di Dusun Bonga. Para ibu di Dusun Bonga, pikir saya, tidak perlu lagi berjalan jauh untuk memeriksakan kehamilan mereka dengan adanya Pustu yang baru, yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

Gambar 1:
Bangunan Pustu di Dusun Bonga
Foto: Hestu Prahara

Di kali ketiga kedatangan saya ke desa ini, banyak sekali perubahan yang terjadi di Tandima. Pada tahun 2015, jalan yang menghubungkan satu dusun ke dusun lain masih belum diperbaiki. Dalam kesempatan diskusi terfokus yang pernah saya lakukan, “kendala jalan yang tidak baik” menjadi salah satu keluhan utama para ibu yang kemudian mengabsahkan penjelasan para aktor pembangunan akan alasan kelahiran di rumah. Sejak tahun 2009, kelahiran di rumah tidak lagi diijinkan di seluruh Profinsi Nusa Tenggara Timur karena kehadiran program Revolusi KIA. Tentu tidak semua ibu yang melahirkan di rumah, menggunakan alasan yang sama ketika menjelaskan dan memahami pengalaman mereka melahirkan yang terjadi di rumah masing-masing.

Saat kembali di tahun 2017, hampir seluruh jalan di Desa Tandima telah berubah menjadi jalan aspalt. Hanya tertinggal sekitar lima ratus meter saja, jalan menuju ke rumah kepala desa yang masih berbatu. Kemudian, di tahun 2019, tiang-tiang listrik sudah terpasang di pinggir jalan utama yang membelah desa ini. Air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) ke setiap sumur warga dan sinyal 4G pun sudah ada. Luar biasa! Cepat sekali perubahan di desa ini, saya perhatikan.

Perbaikan infrastruktur di Desa Tandima mengingatkan saya akan temuan Jesse H. Grayman (2017) dalam penelitiannya di Manggarai Timur mengenai penerapan intervensi pembangunan berbasis masyarakat. Grayman (2017) menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan desa, khususnya di Nusa Tenggara, “kendala geografis,” “lanskap topografi yang sulit ditempuh,” umum diutarakan oleh beragam aktor (pemerintah, para ahli, maupun orang di desa) sebagai bagian dari wacana yang digunakan untuk menjelaskan hambatan percepatan pembangunan kesehatan desa. Saya setuju bahwa metafor geografi seperti “medan” dan “lapangan” bukanlah ujaran netral tanpa makna politik (Grayman 2017:67). Alih-alih, sebagai contoh, metafor tersebut memungkinkan lahirnya interfensi program lainnya, termasuk pembangunan jalan yang terjadi di Desa Tandima. Artinya, metafor-metafor yang diucapkan, memiliki kekuatan untuk menggerakan atau paling tidak mempengaruhi pemahaman publik akan hal-hal yang dianggap sebagai kendala pembangunan.

Saya melihat perbaikan jalan dan pembangunan fasilitas pendukung kebutuhan masyarakat desa, sebagai salah satu hasil dari pembentukan wacana tentang “masalah” pembangunan. Ujaran tersebut diutarakan dengan menggunakan metafor geografis yang dianggap bernuansa teknis dan non-politis. Akan tetapi, metafor geografis, nyatanya, mengarahkan perhatian seseorang hanya pada persoalan infrastruktur. Dampaknya, menurut saya, terdapat isu lain yang tidak tampak dan tak terdengar ketika pembangunan hanya dibayangkan sebagai persoalan keterbatasan infrastruktur.

Bila ujaran geografis mampu menggerakan roda perputaran praktik pembangunan, apakah hasil pembangunan lantas bisa dirasakan secara merata oleh seluruh warga desa? Jawaban dari pertanyaan tersebut, tentu tidak sederhana. Dalam refleksi singkat saya tentang pembangunan desa, saya mencoba menampilkan narasi yang lain dari kondisi pembangunan desa. Saya sadar bahwa tulisan ini tidak mampu menjawab pertanyaan yang saya ajukan secara menyeluruh. Penggalan etnografis yang akan saya sajikan berikutnya adalah tentang sebuah keluarga di Dusun Bonga dan pengalaman mereka dengan pembangunan.

Nde Marina adalah seorang petani yang tinggal di rumah berdinding bambu di pinggir tebing, di ujung Dusun Bonga. Ia tinggal bersama suaminya, Fradus. Saat bertemu pertama kali dengan pasangan ini di tahun 2017, mereka bercerita bahwa enam orang anaknya pergi merantau ke luar desa. Si bungsu baru saja masuk ke sekolah kejuruan di Kota Ruteng. Anak ketiga dan keempat mereka merantau di Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan mereka ke perguruan tinggi swasta. Anak kelima mereka masih berada di Makassar dan saat itu sedang menyelesaikan pendidikan perawatan di kota tersebut.

Gambar 2:
Keran di Dusun Manggalu, sumber air bagi yang belum memiliki saluran air pribadi.
Foto: Hestu Prahara

Saat saya kembali bertemu dengan Nde Marina dan Pak Fradus, mereka masih menempati rumah yang sama. Yang berbeda hanya tambahan ruang dapur. Rumah mereka masih berdinding bambu. Program bantuan rumah layak huni bagi rakyat miskin yang saat ini marak digalakkan dalam pembangunan desa, tidak lantas menyediakan rumah bendinding batu untuk pasangan ini. Saat sebagain besar warga di Desa Tandima telah memiliki saluran air bersih ke rumah masing-masing, Nde Marina dan Pak Fradus masih mandi dan mengambil air di aliran sungai tidak jauh dari rumah mereka. Ketika rumah-rumah di desa telah memasang penerangan sebagai hasil dari masuknya listrik ke desa, Nde Rina dan Pak Fradus tetap menggunakan lampu minyak yang mereka buat sendiri.

Dalam pertemuan kali ini, anggota keluarga Nde Rina bertambah. Anak sulung mereka, Yofina, datang bersama kedua anaknya dari Timika, Papua Barat. Yofina berbicara dengan logat yang berbeda dari kebanyakan orang Manggarai yang pernah saya temui. Ia telah lama menetap di Timika bersama suami dan kedua orang anaknya. Suami Yofina bekerja sebagai penambang disana. Kembalinya Yofina ke Desa Tandima, mengikuti saran Nde Rina dan Pak Fradus untuk menghemat pengeluaran. Lokasi sekolah di Timika yang berada di kota kecamatan membuat anak Yofina sering meminta uang jajan. “Kalau di desa kan mereka punya anak tidak bisa jajan, sebab disini tidak ada yang berjualan, biar dia tinggal dengan kami, mamanya saja yang kembali ke Timika” ucap Pak Fradus.

Nde Rina kemudian bercerita kepada saya, bahwa Yofina hanya tamat sampai Sekolah Dasar (SD). “Waktu saudari nya sekolah, itu dia [Yofina] yang usaha,” Nde Rina bercerita. Ucapan Nde Rina membuat saya berpikir, tentang bagaimana setiap individu mengalami pembangunan secara berbeda-beda. Jika pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan sebuah negara dan kualitas sumber daya manusia, pengalaman Yofina menyajikan ironi dari pembangunan. Paham moderen dan bayangan akan kemajuan yang disampaikan lewat system pendidikan, nyatanya menuntut sebagian orang untuk mengorbankan dirinya agar orang lain dapat mengalami pembangunan secara ideal. Agar saudarinya bisa meraih pendidikan, Yofina tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya. Dan kini, agar anaknya sekolah tanpa harus mengganggu tatanan ekonomi yang selama ini ia telah rancang bersama suaminya melalui bekerja di kota lain, Yofina harus menitipkan anaknya kepada orang tua di desa.  

Dua cerita tentang pembanguna desa yang saya sajikan dalam tulisan ini memotret pembangunan secara berbeda. Cerita pertama merupakan pengalaman saya ketika melihat pembangunan infrastruktur di desa yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun. Cerita kedua menggambarkan pertemuan saya dengan sebuah keluarga yang membantu saya melihat bagaimana keluarga tersebut mengalami pembangunan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Percepatan pembangunan infrastruktur, tidak lantas mengantarkan setiap individu ke gerbang kemajuan sebagaimana wacana tentang pembangunan sering digaungkan. Keluarga Nde Marina, menyiratkan bahwa, mesin pembangunan tidak lah bekerja secara otomatis. Agar wacana pembangunan yang ideal tetap tereproduksi, setiap individu harus “berstrategi” sesuai dengan kondisi realitas keseharian mereka. Strategi individu dalam menavigasi pembangunan lah, yang saya duga justru mengakomodasi dan memfasilitasi perputaran mesin pembangunan yang seringkali tak muncul dalam representasi yang disajikan dalam perbaikan insfrastruktur. Strategi di level individu ini yang saya kira penting untuk diperhatikan ketika hendak mamahami pembangunan dan kontradiksinya.

Acuan tulisan yang digunakan:

Grayman, J. H. (2017). “Topography and Scale in a Community-driven maternal and child health program in Eastern Indonesia” Medicine Anthropology Theory. Vol 4(1):46—78.

[1] Sari Ratri adalah mahasiswa doctoral pada Departemen Antropologi, di Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis melakukan penelitian dengan fasilitasi dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

[2] Seluruh nama (orang, desa dan dusun) dalam esai ini menggunakan nama samaran untuk menjamin kerahasiaan identitas dari para informan. Sedangkan Kabupaten Manggarai, merupakan salah satu daerah administratif di Profinsi Nusa Tenggara Timur.

Refleksi tentang Demokratisasi, Pengorganisasian Perempuan, dan Represi di Indonesia

Oleh: Sabina Puspita

Tiga pesan yang sering muncul menjelang Hari Ibu mengingatkan masyarakat tentang sejarah lahirnya Hari Ibu, perkembangan narasi sejarah Hari Ibu,[i] dan capaian serta stagnansi agenda perjuangan politik perempuan sejak kongres perempuan 1928. Artikel ini ingin melanjutkan semangat pesan ketiga, dengan merefleksikan bagaimana demokratisasi di Indonesia telah berperan dalam melanggengkan stagnansi tersebut. Secara khusus, artikel ini menitikberatkan aspek penindasan atau “represi” yang berpengaruh pada stagnansi agenda gerakan perempuan di Indonesia.

Demokratisasi dan Pengorganisasian Perempuan

Secara singkat, demokratisasi dapat diartikan sebagai proses 1) peningkatan persaingan politik; dan 2) pelibatan masyarakat termasuk kaum minoritas dalam persaingan itu (Dahl 1971). Untuk meningkatkan persaingan politik, tokoh-tokoh elite politik membuat berbagai macam aturan dan sanksi yang mereka sepakati dulu sebelum disosialisasikan ke masyarakat—misalnya, peraturan pemilu/pilkada. Sedangkan untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin kelompok masyarakat dalam sistem demokratis, tokoh-tokoh elite politik mendirikan berbagai landasan hukum untuk menjamin hak-hak politik setiap anggota masyarakat.

Pengaruh kongres perempuan tanggal 22 Desember 1928 dan seterusnya bagi awal demokratisasi Republik Indonesia besar untuk mendorong keikutsertaan perempuan Indonesia dalam persaingan dan inklusivitas politik. Perempuan Venezuela, Argentina, Belgia, India, dan Swiss baru mendapatkan hak-hak yang sama beberapa tahun setelah pemerintahan negaranya terbentuk (Paxton 2008).[ii] Pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan perempuan sejak kongres tersebut, terutama menjelang hari proklamasi yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta di tahun 1945, berhasil mewujudkan sosok pemimpin seperti Maria Ulfah yang menjadi anggota komite pembentukan negara Indonesia atau KNIP dan menteri sosial di kabinet Sjahrir.[iii]

Namun, intensitas pengorganisasian kelompok-kelompok perempuan dihentikan oleh rezim Orde Baru, melalui penindasan berat atau represi terhadap PKI dan kelompok-kelompok kiri. Selain penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan para anggota GERWANI setelah 30 September 1965 (Wieringa 2002), penutupan Universitas Rakyat yang berisikan mahasiswi-mahasiswi progresif dan Taman Kanak-Kanak Melati milik GERWANI di berbagai daerah pun dilakukan oleh rezim pasca 1965 (Wahid 2018). Demokratisasi di Indonesia, terutama kesempatan perempuan berorganisasi di akar rumput, pun tersendat sejak kejadian itu hingga turunnya Presiden Suharto di tahun 1998.

Demokratisasi di Indonesia bisa dikatakan mulai perlahan-lahan berlangsung kembali pada tahun 1985, ketika pemerintahan Presiden Suharto melegalisasi undang-undang berserikat. Kelompok-kelompok perempuan seperti Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta, Yasanti, dan sebagainya berdiri (Hadiwinata 2002). Meskipun demikian, mulainya kembali demokratisasi tidak serta merta melenyapkan resiko represi negara. Contoh: buruh perempuan Marsinah menggunakan hak berserikatnya, tetapi kemudian ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan.

Pasca krisis moneter Asia 1997, gerakan perempuan Indonesia mulai mendorong lagi. Pada awal episode aksi pro-reformasi Indonesia di tahun 1998, selain para anggota Suara Ibu Peduli ditahan dan diadili aparat pemerintahan Presiden Suharto, perkosaan masal perempuan terutama terhadap yang beretnis Tionghoa terjadi.[iv] Ketika Ita Martadinata siap berangkat ke PBB untuk memberikan kesaksiannya perihal perkosaan masal tersebut, ia pun ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan sebelum hari keberangkatannya. Meskipun demikian, pengorganisasian dari beberapa tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan berhasil mendorong Presiden Habibie untuk membuat pernyataan resmi yang: 1) menyesali tingginya angka kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998; dan 2) memulai pendirian Komnas Perempuan di bulan Oktober 1998.[v]

Represi dalam Demokratisasi: Kerangka Kerja Penelitian Pengorganisasian Perempuan

Artikel ini bermaksud menggarisbawahi pentingnya menganalisis pola represi negara untuk memahami betul stagnansi agenda perjuangan politik perempuan Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya. Sejarah demokratisasi Indonesia menunjukkan bahwa, ketika kelompok-kelompok perempuan mulai menjadi efektif dalam memenuhi agendanya, di saat itu juga mereka memicu represi ekstrim dari negara. Rezim pasca-reformasi pun tidak luput dari kemungkinan mengambil strategi represif untuk menahan kemajuan agenda perjuangan politik perempuan.

Menurut Davenport (2007), roda utama pemerintahan demokratis ada dua, yakni, aspek 1) voice atau peningkatan persaingan politik; dan 2) veto atau pelibatan masyarakat, baik kaum elite maupun minoritas, dalam persaingan itu. Semakin giatnya demokratisasi, yang diikuti dengan semakin berjalannya aspek voice dan veto dengan baik, maka tingkat represi di suatu negara pun dapat menjadi semakin rendah. Namun, adalah keberlangsungan dan kekuatan aspek veto yang mampu mengekang kecenderungan pemerintah untuk bersikap represif—baik dengan kekerasan maupun dengan  pembatasan atau pengabaian hak-hak sipil perempuan.

Komnas Perempuan adalah salah satu dari sekian banyak lembaga yang fungsinya lebih menyerupai mekanisme veto dalam sistem demokrasi. Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sudah menerima 1,6 juta aduan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun tingkat naiknya kasus kekerasan yang diterimanya menurun, jumlah aduan terus bertambah (Gambar 1).

Gambar 1.Peningkatan jumlah kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan menurun berdasarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (1999-2019)

Tren naiknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bisa diartikan menurut dua sisi. Di satu sisi, 20 tahun demokratisasi di Indonesia cukup berhasil membuat sebagian besar masyarakat sadar dan percaya pada mekanisme perlindungan hukum yang disediakan oleh negara. Di sisi lain, demokratisasi di Indonesia belum mampu menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian yang fokusnya pada represi dalam demokratisasi dapat berguna bagi perumusan strategi-strategi advokasi kelompok-kelompok perempuan, organisasi internasional, dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas: 1) mekanisme perlindungan hukum model Komnas Perempuan; dan 2) demokratisasi di Indonesia.

Menitikberatkan aspek represi dalam proses pembentukan hubungan antara perempuan dan negara sudah diserukan oleh beberapa pengamat budaya dan politik Indonesia (Heryanto 2000).[vi] Namun, aspek yang belum kita telusuri lebih lanjut adalah: kapan atau pada titik apa kelompok-kelompok perempuan dapat mengeskalasi atau meningkatkan daya gerakan demonstrasi dan lobi mereka ke pemerintah tanpa ancaman kekerasan setara 1965 atau 1998? Lebih spesifik lagi, aspek apa dari pemerintah Indonesia yang bisa kelompok-kelompok perempuan sasar advokasi dan lobinya untuk mencapai tujuan kesetaraan gender dengan lebih strategis, tanpa resiko represi?

Daftar Pustaka

Dahl, R. A. (1971). Polyarchy: Participation and opposition. New Haven; London: Yale University Press.

Davenport, C. (2007). State repression and the domestic democratic peace. Cambridge University Press.

Hadiwinata, B. S. (2003). The politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement. Routledge.

Heryanto, A. (2000). Perkosaan Mei 1998 Beberapa Pertanyaan Konseptual.” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Paxton, P. (2008). “Gendering Democracy” di Goertz, Gary, & Mazur, Amy. (2008). Politics, gender, and concepts: Theory and methodology. Cambridge; New York: Cambridge University Press.

Vreede-De, C. S. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Komunitas Bambu.

Wahid, A. (2018). Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil of 1950s-1960s. Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, (95), 31-52.

Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. Springer.

Catatan

[i] Baca juga Farid Muttaqin (2018) soal upaya-upaya mengubah narasi Hari Kartini dan sejarah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia belakangan ini.

[ii] Negara Swiss baru memberikan hak suara politik kepada perempuan di tahun 1970an. Baca kritik Paxton (2008) terhadap teori gelombang ketiga demokratisasi dunia karya Huntington (1991).

[iii] Baca Stuers (2008) untuk memahami kiprah Maria Ulfah di kongres perempuan pada awal berdirinya Republik Indonesia.

[iv] Baca Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998(Komnas Perempuan 1999) dan Jayani (2019).

[v] Baca Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa Disangkal! (Komnas Perempuan 2003).

[vi] Baca juga Listening to the Voices of Women Survivors of 1965 oleh Nadia et al. 2007.