Refleksi tentang Demokratisasi, Pengorganisasian Perempuan, dan Represi di Indonesia

Oleh: Sabina Puspita

Tiga pesan yang sering muncul menjelang Hari Ibu mengingatkan masyarakat tentang sejarah lahirnya Hari Ibu, perkembangan narasi sejarah Hari Ibu,[i] dan capaian serta stagnansi agenda perjuangan politik perempuan sejak kongres perempuan 1928. Artikel ini ingin melanjutkan semangat pesan ketiga, dengan merefleksikan bagaimana demokratisasi di Indonesia telah berperan dalam melanggengkan stagnansi tersebut. Secara khusus, artikel ini menitikberatkan aspek penindasan atau “represi” yang berpengaruh pada stagnansi agenda gerakan perempuan di Indonesia.

Demokratisasi dan Pengorganisasian Perempuan

Secara singkat, demokratisasi dapat diartikan sebagai proses 1) peningkatan persaingan politik; dan 2) pelibatan masyarakat termasuk kaum minoritas dalam persaingan itu (Dahl 1971). Untuk meningkatkan persaingan politik, tokoh-tokoh elite politik membuat berbagai macam aturan dan sanksi yang mereka sepakati dulu sebelum disosialisasikan ke masyarakat—misalnya, peraturan pemilu/pilkada. Sedangkan untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin kelompok masyarakat dalam sistem demokratis, tokoh-tokoh elite politik mendirikan berbagai landasan hukum untuk menjamin hak-hak politik setiap anggota masyarakat.

Pengaruh kongres perempuan tanggal 22 Desember 1928 dan seterusnya bagi awal demokratisasi Republik Indonesia besar untuk mendorong keikutsertaan perempuan Indonesia dalam persaingan dan inklusivitas politik. Perempuan Venezuela, Argentina, Belgia, India, dan Swiss baru mendapatkan hak-hak yang sama beberapa tahun setelah pemerintahan negaranya terbentuk (Paxton 2008).[ii] Pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan perempuan sejak kongres tersebut, terutama menjelang hari proklamasi yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta di tahun 1945, berhasil mewujudkan sosok pemimpin seperti Maria Ulfah yang menjadi anggota komite pembentukan negara Indonesia atau KNIP dan menteri sosial di kabinet Sjahrir.[iii]

Namun, intensitas pengorganisasian kelompok-kelompok perempuan dihentikan oleh rezim Orde Baru, melalui penindasan berat atau represi terhadap PKI dan kelompok-kelompok kiri. Selain penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan para anggota GERWANI setelah 30 September 1965 (Wieringa 2002), penutupan Universitas Rakyat yang berisikan mahasiswi-mahasiswi progresif dan Taman Kanak-Kanak Melati milik GERWANI di berbagai daerah pun dilakukan oleh rezim pasca 1965 (Wahid 2018). Demokratisasi di Indonesia, terutama kesempatan perempuan berorganisasi di akar rumput, pun tersendat sejak kejadian itu hingga turunnya Presiden Suharto di tahun 1998.

Demokratisasi di Indonesia bisa dikatakan mulai perlahan-lahan berlangsung kembali pada tahun 1985, ketika pemerintahan Presiden Suharto melegalisasi undang-undang berserikat. Kelompok-kelompok perempuan seperti Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta, Yasanti, dan sebagainya berdiri (Hadiwinata 2002). Meskipun demikian, mulainya kembali demokratisasi tidak serta merta melenyapkan resiko represi negara. Contoh: buruh perempuan Marsinah menggunakan hak berserikatnya, tetapi kemudian ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan.

Pasca krisis moneter Asia 1997, gerakan perempuan Indonesia mulai mendorong lagi. Pada awal episode aksi pro-reformasi Indonesia di tahun 1998, selain para anggota Suara Ibu Peduli ditahan dan diadili aparat pemerintahan Presiden Suharto, perkosaan masal perempuan terutama terhadap yang beretnis Tionghoa terjadi.[iv] Ketika Ita Martadinata siap berangkat ke PBB untuk memberikan kesaksiannya perihal perkosaan masal tersebut, ia pun ditemukan meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan sebelum hari keberangkatannya. Meskipun demikian, pengorganisasian dari beberapa tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan berhasil mendorong Presiden Habibie untuk membuat pernyataan resmi yang: 1) menyesali tingginya angka kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998; dan 2) memulai pendirian Komnas Perempuan di bulan Oktober 1998.[v]

Represi dalam Demokratisasi: Kerangka Kerja Penelitian Pengorganisasian Perempuan

Artikel ini bermaksud menggarisbawahi pentingnya menganalisis pola represi negara untuk memahami betul stagnansi agenda perjuangan politik perempuan Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya. Sejarah demokratisasi Indonesia menunjukkan bahwa, ketika kelompok-kelompok perempuan mulai menjadi efektif dalam memenuhi agendanya, di saat itu juga mereka memicu represi ekstrim dari negara. Rezim pasca-reformasi pun tidak luput dari kemungkinan mengambil strategi represif untuk menahan kemajuan agenda perjuangan politik perempuan.

Menurut Davenport (2007), roda utama pemerintahan demokratis ada dua, yakni, aspek 1) voice atau peningkatan persaingan politik; dan 2) veto atau pelibatan masyarakat, baik kaum elite maupun minoritas, dalam persaingan itu. Semakin giatnya demokratisasi, yang diikuti dengan semakin berjalannya aspek voice dan veto dengan baik, maka tingkat represi di suatu negara pun dapat menjadi semakin rendah. Namun, adalah keberlangsungan dan kekuatan aspek veto yang mampu mengekang kecenderungan pemerintah untuk bersikap represif—baik dengan kekerasan maupun dengan  pembatasan atau pengabaian hak-hak sipil perempuan.

Komnas Perempuan adalah salah satu dari sekian banyak lembaga yang fungsinya lebih menyerupai mekanisme veto dalam sistem demokrasi. Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sudah menerima 1,6 juta aduan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun tingkat naiknya kasus kekerasan yang diterimanya menurun, jumlah aduan terus bertambah (Gambar 1).

Gambar 1.Peningkatan jumlah kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan menurun berdasarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (1999-2019)

Tren naiknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bisa diartikan menurut dua sisi. Di satu sisi, 20 tahun demokratisasi di Indonesia cukup berhasil membuat sebagian besar masyarakat sadar dan percaya pada mekanisme perlindungan hukum yang disediakan oleh negara. Di sisi lain, demokratisasi di Indonesia belum mampu menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian yang fokusnya pada represi dalam demokratisasi dapat berguna bagi perumusan strategi-strategi advokasi kelompok-kelompok perempuan, organisasi internasional, dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas: 1) mekanisme perlindungan hukum model Komnas Perempuan; dan 2) demokratisasi di Indonesia.

Menitikberatkan aspek represi dalam proses pembentukan hubungan antara perempuan dan negara sudah diserukan oleh beberapa pengamat budaya dan politik Indonesia (Heryanto 2000).[vi] Namun, aspek yang belum kita telusuri lebih lanjut adalah: kapan atau pada titik apa kelompok-kelompok perempuan dapat mengeskalasi atau meningkatkan daya gerakan demonstrasi dan lobi mereka ke pemerintah tanpa ancaman kekerasan setara 1965 atau 1998? Lebih spesifik lagi, aspek apa dari pemerintah Indonesia yang bisa kelompok-kelompok perempuan sasar advokasi dan lobinya untuk mencapai tujuan kesetaraan gender dengan lebih strategis, tanpa resiko represi?

Daftar Pustaka

Dahl, R. A. (1971). Polyarchy: Participation and opposition. New Haven; London: Yale University Press.

Davenport, C. (2007). State repression and the domestic democratic peace. Cambridge University Press.

Hadiwinata, B. S. (2003). The politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement. Routledge.

Heryanto, A. (2000). Perkosaan Mei 1998 Beberapa Pertanyaan Konseptual.” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Paxton, P. (2008). “Gendering Democracy” di Goertz, Gary, & Mazur, Amy. (2008). Politics, gender, and concepts: Theory and methodology. Cambridge; New York: Cambridge University Press.

Vreede-De, C. S. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Komunitas Bambu.

Wahid, A. (2018). Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil of 1950s-1960s. Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, (95), 31-52.

Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. Springer.

Catatan

[i] Baca juga Farid Muttaqin (2018) soal upaya-upaya mengubah narasi Hari Kartini dan sejarah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia belakangan ini.

[ii] Negara Swiss baru memberikan hak suara politik kepada perempuan di tahun 1970an. Baca kritik Paxton (2008) terhadap teori gelombang ketiga demokratisasi dunia karya Huntington (1991).

[iii] Baca Stuers (2008) untuk memahami kiprah Maria Ulfah di kongres perempuan pada awal berdirinya Republik Indonesia.

[iv] Baca Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998(Komnas Perempuan 1999) dan Jayani (2019).

[v] Baca Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa Disangkal! (Komnas Perempuan 2003).

[vi] Baca juga Listening to the Voices of Women Survivors of 1965 oleh Nadia et al. 2007.