‘Tesuci’, Praktik Sunat Perempuan dalam Suku Sasak

Foto : kepeng bolong yang digunakan dalam tesuci

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Di Indonesia, sunat perempuan masih menjadi praktik yang dilakukan di berbagai wilayah. Praktik ini dilakukan dengan metode yang berbeda-beda. Population Council tahun 2003 pernah melakukan penelitian tentang  sunat perempuan di beberapa daerah seperti Padang, Banten, Madura, Gorontalo, Makassar, Kutai Kartanegara, Yogyakarta, Lombok, dan Sukabumi. Studi menunjukkan variasi sunat perempuan yang dilakukan oleh praktisi tradisional seperti menusuk, menggores, dan gesekan, sementara penyedia layanan kesehatan terlatih  cenderung untuk melakukan pengangkatan sebagian klitoris dan/atau preputium.[1]

Di Kabupaten Lombok Barat, NTB, tradisi sunat perempuan juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya sejak dulu. Sunat pada anak perempuan, seperti halnya pada anak laki-laki menjadi praktik yang melekat dengan nilai-nilai Islami. Walaupun ada perbedaan tata cara penyunatan antara anak laki-laki dan perempuan, khitan/sunat pada keduanya dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Sasak sebagai kewajiban yang harus dilakukan menurut pandangan agama Islam.

Jika pada anak laki-laki, sunat disebut ‘besunat’ dan dilakukan pada usia menjelang akil baliq, sunat pada anak perempuan disebut dengan ‘tesuci’ atau ‘tesucian’ dalam bahasa Sasak. Tujuan tesuci ini adalah untuk menyucikan diri anak perempuan supaya ibadah sholat yang akan dilakukannya sah nantinya serta untuk menekan hasrat seksual perempuan ; supaya perempuan tidak menjadi ‘belang’ nantinya.

Sunat perempuan ini pada umumnya dilakukan pada waktu bayi setelah ia dipotong tali pusatnya (disebut perapi dalam bahasa Sasak), hingga rentang waktu usia tiga bulan. Pada umumnya sunat dilakukan oleh seorang belian (dukun bayi) dengan menggunakan dua keping uang logam kuno yang disebut kepeng bolong.

Menurut salah seorang belian di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, sebelum memulai prosesi penyunatan, ia akan melakukan sembahyang/doa terlebih dahulu. Kemudian ia menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk menyunat seperti uang logam serta gelas yang berisi air. Orang tua si anak yang datang juga membawa andang-andang (persembahan/penghormatan bagi belian) berupa buah pinang, daun sirih, beras serta sejumlah uang. Setelah belian selesai berdoa, ia akan membersihakan vagina anak perempuan yang akan disunat dengan air dan kapas, kemudian ia menggunakan kedua uang logam untuk menjepit dan mengambil ‘bagian hitam’ di yang menurutnya terdapat dalam klitoris anak perempuan yang belum disucikan.

Namun, tidak hanya dilakukan oleh belian saja, di beberapa kecamatan lain, tesuci juga dilakukan oleh bidan dengan membuat torehan pada klitoris dengan menggunakan silet. Tidak adanya acuan tata cara penyunatan terhadap anak perempuan yang baku dari Kementerian Kesehatan membuat tradisi sunat perempuan di berbagai wilayah di Indonesia dilakukan dengan cara yang beragam. Di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, salah satu bidan desa mengatakan bahwa ia tidak pernah menyarankan sunat untuk anak perempuan karena ia menilai tidak ada manfaatnya, baik dari segi medis maupun agama. Namun ia juga tidak melarang praktik tersebut yang masih dilakukan di daerahnya oleh para belian. Ia hanya tidak memperbolehkan jika ada bagian dari vagina perempuan yang dipotong dalam praktik sunat tersebut.

 

[1] Budiharsana, M. et.al. 2003. Female Circumcision in Indonesia. Research report. Jakarta: Population Council dan USAID.