Agama dan Pendidikan Kespro dan Seksual

Perspektif Agama dan Implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual

 Agama berperan penting dalam implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) di Indonesia. Di negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, pengajaran PKRS yang sesuai dengan ajaran agama (religiously appropriate) menjadi salah satu kriteria penting keberhasilan program di Indonesia. Hal ini seperti yang ditulis pula oleh Bannett (2007) dalam artikelnya yang berjudul “Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth”.

Dalam artikel yang ditulisnya, Bannett mencoba menjelaskan kondisi pendidikan seks di kalangan pemuda Indonesia yang multiperspektif dan tumpang tindih antara kesehatan, hak asasi manusia dan perspektif Islam. Ia juga memberikan argumen yang mendukung terkait penggunaan kurikulum berperspektif Islam sebagai kerangka pengembangan pendidikan seksual bagi kaum muda Muslim di Indonesia. Menurutnya, kesesuaian kerangka kerja yang berperspektif Islam ini juga menjadi perhatian dari para guru/ustad/ustadzah/ibu nyai/kyai di beberapa pondok pesantren atau madrasah yang ingin memberikan materi mengenai PKRS untuk para santrinya.

Berdasarkan data kajian penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2012-2013 mengenai “Advokasi Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Sekolah” yang dilakukan di beberapa Pondok Pesantren di wilayah Jombang, Banyuwangi, serta Lamongan, didapatkan hasil bahwa guru-guru setuju jika PKRS ini diberikan kepada para santri selama mengacu pada ajaran Agama Islam. Namun, terdapat beberapa catatan yang diberikan terkait implementasi program PKRS ini di tingkat pesantren.

Dalam hal ini, pengajaran substansi atau materi yang diajarkan terkait kespro dan seksual diperbolehkan, tetapi tata cara pengajarannya tetap disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan pesantren atau sesuai dengan ajaran Agama Islam. Di beberapa pesantren yang menjadi wilayah penelitian, diketahui bahwa sebenarnya Pondok Pesantren secara tidak langsung sudah mengajarkan PKRS kepada para santrinya melalui Ilmu Fiqih dan juga “Kitab Kuning”, seperti Risalatul Mahid, Qurratul Uyun dan Kitab kuning lainnya.

Meskipun adaptasi dengan norma agama merupakan hal yang penting, namun terdapat kekhawatiran dari kalangan organisasi masyarakat sipil bahwa PKRS yang diberikan hanya akan bersifat ‘normatif’ –hanya menekankan larangan – dari sudut pandang agama. Bila hanya diberikan melalui satu sudut pandang saja dan tanpa memahami realitas dan kebutuhan remaja dari aspek lainnya termasuk aspek kesehatan, PKRS yang disampaikan tetap akan membingungkan.

Kekhawatiran tersebut juga diafirmasi oleh Smerecnik et.al (2010). Dalam penelitiannya mengenai “An exploratory study of Muslim adolescents’ views on sexuality: Implication for sex education and prevention”, pendidikan seksualitas yang terlalu menekankan pada norma agama tanpa memperhatikan pandangan dari remaja cenderung untuk gagal dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan kespro dan seksual yang komprehensif dan tidak mendasarkan pada satu aspek tertentu saja menjadi penting untuk dilakukan. Hal tersebut terkait dengan pertimbangan pada aspek lain terkait berbagai dimensi seksualitas remaja yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menjalani seks berisiko atau tidak.

Adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, serta resiko sosial yang akan dihadapi perlu didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman yang dijalani oleh mereka sendiri. Karena berdasarkan penelitian ini, terdapat siswa yang telah mempraktikkan perilaku seks yang tidak terlindungi, akibatnya cukup banyak remaja saat ini yang sudah terkena IMS (Infeksi Menular Seksual) dan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) tanpa mereka tahu bagaimana cara mencegah atau mengatasinya.

Video oleh CNN diatas menunjukkan salah sedikit dari orang dewasa yang merasa mengenalkan pendidikan seks di usia dini adalah sesuatu yang sangat diperlukan. PKRS yang komperehensif tentu saja tidak semata-mata mengajarkan anak-anak ini tentang seks, melainkan mengetahui organ reproduksi mereka, menghormati tubuh sendiri dan orang lain, serta cara berelasi yang setara dengan orang lain. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang tidak mengerti bahwa seks tanpa pengetahuan yang memadai sama saja dengan perilaku berisiko lainnya seperti berkendara tanpa helm, berkendara saat mabuk dan bekerja tanpa istirahat.

Penulis: Diana Pakasi dan Reni Kartikawati

Penyunting: Gabriella Devi Benedicta dan Sari Damar Ratri

Web content: Sari Damar Ratri

Stop homofobia di Indonesia mulai sekarang

“Selama ini kita kenal keberagaman. Tetapi keberagaman yang kita kenal hanya suku, agama, ras, dan budaya. Padahal sebagai negara Indonesia juga punya keberagaman seksualitas,” Irwan M. Hidayana.

“Negara seharusnya mampu melindungi keberagaman itu. Jika ada peraturan yang justru mendiskriminasi kelompok tertentu, tidak hanya LGBT, mestinya peraturan itu dihapus dengan langkah hukum juga,” Irwan M. Hidayana

Jadi berhenti mendiskriminasi dan menyakiti! Stop Homofobia Sekarang.

Kompas.com: Stop Homofobia di Indonesia Mulai Sekarang

Masihkan berpikir tentang RUU Kebiri???

The Jakarta Post melaporkan bahwa kasus pelecehan seks pada anak diketahui dilakukan oleh bekas korban pelecahan anak juga. Hal ini didukung oleh hasil investigasi dari beberapa kasus di berbagai daerah di Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil dalam memutus mata rantai kekerasan seksual pada anak juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa jadi merupakan korban sebelumnya. Apalagi para pakar berpendapat bahwa setiap manusia berbeda berdasarkan pengalaman dan bagaimana ia menghadapi trauma yang dialami. Dengan kata lain masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memutus rantai kekerasan seksual pada anak selain dengan kebiri. Salah satunya adalah dengan perawatan atas trauma secara tepat. Orang tua juga penting untuk lebih sensitif dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak, yang kemudian terbuka dalam mengajak diskusi kepada anak-anak korban kekerasan seksual. The Jakarta Post: child abuser are often former victims, says policy expert

On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Tulisan oleh Irwan M. Hidayana di The Conversation mengulas mengenai posisi identitas komunitas transgender dalam media di Indonesia. Dalam mengulas hal ini, Hidayana mengambil contoh bagaimana drama sinetron membayangkan dan membingkai posisi waria di dalam masyarakat. Hidayana mengulasnya dalam diskusi antara hak dan agama yang mana keduanya menjadi dasar penentu normalitas kehidupan seseorang.

The Conversation: On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc

Parade Film dan Seminar: Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja

poster parade film

 

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, bekerja sama dengan UN Women, SGRC UI  menyelanggarakan 2 hari seminar dan parade film di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991. Di Indonesia sendiri, kampanye ini diprakarsai pertama kali oleh Komnas Perempuan pada tahun 2003. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya dilaksanakan sejak tanggal 25 November yang merupakan hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Enam belas (16) hari ini dipilih dengan harapan seluruh komponen masyarakat, baik aktivis, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat secara umum, memiliki waktu yang cukup untuk membangun strategi dan bergerak serentak dalam agenda bersama untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Acara ini terbuka untuk umum, partisipasi kalian sangat dinantikan!!!!