Mengakhiri ‘Merariq Kodeq’

Ilustrasi : R. Aji Prasetyo

Oleh : Reni Kartikawati

Perkawinan dengan mekanisme merariq (kawin lari) sejatinya harus dilihat sebagai sebuah kearifan adat yang telah menjadi suatu bagian budaya karena merupakan ritual asli dari leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun, termasuk di Desa Surabaya Utara, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Jika ditelusuri lebih jauh, budaya merariq pada dasarnya memiliki nilai keagamaan dan kesusilaan yang sakral, serta hingga batas tertentu dapat menekan perkawinan usia anak.

Saat ini, istilah perkawinan usia anak (merariq kodeq) menjadi hal yang dipermasalahkan, padahal pada zaman dahulu istilah tersebut tidak dikenal. Permasalahan yang terjadi adalah perubahan sosial yang turut mengubah struktur sosial masyarakat Sasak, termasuk nilai, norma, hubungan kelembagaan, serta aturan kebijakan dari pemerintah yang baru dan diseragamkan bagi setiap daerah, seperti pada UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 serta UU Perlindungan Anak No.35 Tahun 2014 yang mengatur tentang masalah batasan usia perkawinan.[1] Hal ini secara tidak langsung menggantikan dan mendegradasi nilai-nilai kearifan lokal suku Sasak yang sudah ada, tidak terkecuali perkawinan merariq. Selain itu, aturan kebijakan nasional tersebut nyatanya tidak sesuai dan justru membuat jurang pemisah antara adat dengan kehidupan sosial yang lebih besar yang mana menurut sudut pandang kriminologi budaya, adat merariq dianggap sebagai budaya yang menyimpang (culture as crime), serta menimbulkan konflik norma tingkah laku[2] bagi masyarakat adat Sasak di Desa Surabaya Utara, tidak terkecuali pada generasi muda suku Sasak saat ini.

“Zaman dahulu sesudah masuknya agama Islam ke Lombok untuk perempuan kalau sudah menstruasi, perempuan itu boleh dikawini. Kalau sekarang ini nikah muda dianggap salah, tidak boleh dilakukan karena ada peraturan dari pemerintah..” (Wawancara Lalu IT, Wakil Ketua Majelis Adat Sasak Paer Timuq, Desa Sakra, Kab. Lombok Timur, 30 April 2016)

Pada perkembangannya, praktik merariq dalam tradisi perkawinan suku Sasak di Desa Surabaya Utara ternyata dipahami hanya sekedar ‘ritual’ praktiknya saja. Nilai-nilai budaya merariq yang dahulu ada dan terus dipertahankan perlahan-lahan mulai bergeser dari pemaknaan nilai aslinya. Perubahan tersebut nyatanya juga tidak diikuti oleh restrukturisasi kelembagaan sosial termasuk peran agen-agen sosial di dalam masyarakatnya, seperti orang tua, lembaga sosial non formal (tokoh adat/tokoh agama/tokoh masyarakat) dan lembaga formal seperti sekolah dan madrasah. Ketika peran agen sosial yang lama berubah, sementara agen sosial baru yang terbentuk belum dipersiapkan untuk menggantikan dalam mensosialisasikan nilai, norma, pengetahuan, serta kebijakan yang lebih baru, dan negara tidak hadir dalam menjaga tatanan masyarakat maka yang terjadi adalah ketidakjelasan peran kontrol sosial dalam masyarakat.

Adanya kekosongan peran agen pengendalian sosial inilah yang membawa konsekuensi logis pada munculnya persoalan perkawinan usia anak yang dilakukan oleh generasi muda Sasak, tidak terkecuali anak perempuan Sasak sebagai pihak korban yang paling rentan mengalami viktimisasi struktural[3] dari akibat perkawinan usia anak melalui mekanisme merariq di Desa Surabaya Utara.

Untuk itu, diperlukan beberapa upaya bersama dari semua pemangku kepentingan mulai dari tingkat dusun, desa, hingga kabupaten/kota dan provinsi secara lebih luas dalam mencegah dan mengakhiri perkawinan usia anak yang hingga batas tertentu mengatasnamakan adat merariq. Beberapa upaya yang dapat dilakukan, yaitu :

  1. Merevitalisasi peran lembaga adat serta mengintegrasikannya dengan peran agen sosial untuk mensosialisasikan nilai perkawinan yang baru sesuai dengan nilai adat perkawinan merariq;
  2. Pemerintah sebagai leading sector berkewajiban memfasilitasi masyarakat adat termasuk para agen sosial untuk mendorong kesepakatan bersama, membuka forum dialog terkait pencegahan praktik perkawinan usia anak yang tidak bertolak belakang dengan hukum adat Sasak;
  3. Pemerintah membuat program nyata yang mendukung pencegahan perkawinan usia anak melalui lembaga terkait, seperti BP4 dan KUA yang sifatnya tidak menjadi agenda formalitas saja.
  4. Pemerintah perlu memberikan informasi pendidikan nilai adat perkawinan merariq, serta pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif, termasuk dampak perkawinan usia muda kepada anak sejak dini baik secara formal melalui sekolah dan non-formal melalui forum kelembagaan agama dan daerah.
  5. Memastikan dan mendorong pelibatan remaja atau forum remaja di tingkat sekolah, dusun dan desa, kabupaten/kota hingga nasional untuk sama-sama mensosialisasikan program pemerintah terkait Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang selaras dengan nilai adat masyarakat Sasak.

[1]Batasan usia perkawinan (kedewasaan) menurut UU Perkawinan dan Perlindungan Anak dilihat berdasarkan usia biologis, sementara dalam adat Sasak usia biologis bukanlah satu-satunya prasyarat kedewasaan seorang anak. Usia secara sosial seperti telah baligh, memiliki kemampuan mengerjakan pekerjaan domestik, menenun (bagi perempuan) dan mampu bekerja menghasilkan uang (bagi laki-laki).

[2]Menurut Sellin, apabila berkaitan dengan norma hukum, hukum dari suatu kebudayaan yang lebih besar diperluas yurisdiksi wilayah keberlakuannya ke wilayah kebudayaan lain (kebudayaan yang lebih kecil) dan aturan tersebut dipaksakan maka akan terjadi konflik norma tingkah laku dalam masyarakat (Sellin, 1938).

[3] Viktimisasi struktural yaitu korelasi positif antara ketidakberdayaan, kekurangan dan frekuensi korban kejahatan. Selain itu, stigmatisasi budaya dan marjinalisasi juga meningkatkan risiko korban kejahatan dengan menunjuk kelompok tertentu sebagai ‘fair game’ atau korban budaya yang sah (Fattah, 1999: 65-66).

Referensi :

Fattah, Ezzat A. (1999). Victimology Today: Recent Theoretical and Applied Developments,  Resource Material Series No.56 (1999), pp. 60–70. (internet), [25 Oktober 2016]. Di unduh:

http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No56/No56_09VE_Fattah2.pdf.

Kartikawati, Reni. (2016). Viktimisasi Struktural terhadap Perkawinan Adat ‘Merariq’ Pada Anak Perempuan (Studi Kasus Perkawinan Usia Anak di Desa Surabaya Utara, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB). Tesis : Program Pasca Sarjana Kriminologi, Peminatan Perlindungan Anak, FISIP UI.

Sellin, Thorsten. (1938). Culture Conflict and Crime, American Journal of Sociology, Vol. 44, No. 1 (Jul., 1938), pp. 97-103. Published by: The University of Chicago Press. (internet), [25 Oktober 2016]. Di unduh dari: http://www.jstor.org/stable/2768125.

Editor : Gabriella Devi Benedicta

Indeks Penerimaan atas Perkawinan Anak di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Fenomena perkawinan anak di Indonesia berlangsung dengan tingkat yang berbeda-beda berdasarkan wilayah. Sekalipun tingkat pendidikan anak perempuan dan laki-laki terus meningkat, namun praktik perkawinan anak masih mudah ditemukan di perdesaan dan perkotaan. Ada sejumlah faktor lain yang mendorong bertahannya praktik perkawinan anak, seperti kemiskinan, agama, adat, dan seks pranikah. Akibatnya kehamilan usia anak pun tidak terhindarkan yang sesungguhnya membawa akibat jangka panjang bagi kesehatan anak perempuan maupun bayi yang dilahirkannya.

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI melakukan survei terhadap 1.534 remaja usia 15-24 tahun yang terdiri dari 1.157 responden perempuan dan 377 responden laki-laki di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi tahun 2016 lalu.[i] Berdasarkan hasil survei, terdapat 15.4% responden perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun dan 12.1% responden perempuan yang menikah sebelum usia 16 tahun. Dibandingkan dengan perempuan, jumlah laki-laki yang menikah di bawah 18 tahun hanya sebesar 1.1%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa perkawinan pada anak perempuan di bawah 18 tahun lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki pada rentang usia yang sama, walaupun dengan persentase sampel yang berbeda antara responden perempuan dan laki-laki.

Berdasarkan data BP3AKB Provinsi NTB 2015, terdapat 38.37% perempuan yang menikah pertama di usia 10-19 tahun. Sedangkan data survei di Kabupaten Lombok Barat menunjukkan terdapat 32% responden  perempuan yang menikah pertama kali di bawah usia 17 tahun. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi, terdapat 20.2% responden perempuan yang menikah di usia di bawah 17 tahun, sedangkan terdapat 7.7% responden laki-laki yang sudah menikah di Kabupaten Sukabumi.

Pilihan untuk menikah di usia anak ini sangat dipengaruhi bagaimana persepsi yang terbentuk terhadap perkawinan di usia anak ini, apakah hal tersebut dapat diterima atau tidak, baik di tataran individual ataupun komunitas. Dalam studi ini, peneliti membuat indeks penerimaan (acceptability index) atas perkawinan anak yang dibagi ke dalam 7 kategori, yaitu sangat rendah penerimaan terhadap perkawinan anak, rendah, agak rendah, netral, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, mayoritas responden memiliki penerimaan yang agak tinggi terhadap perkawinan anak (61%), sedangkan 32% responden lainnya merasa netral terhadap perkawinan anak. Indeks ini juga menunjukkan bahwa tidak ada responden yang keberatan terhadap perkawinan anak.

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin responden, maka persentase penerimaan responden perempuan terhadap perkawinan anak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan responden laki-laki (63% : 54,4%). Sedangkan jika dilihat berdasarkan wilayah, maka responden yang berada di Kabupaten Sukabumi memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap perkawinan anak dibandingkan dengan responden yang berada di Kabupaten Lombok Barat (63,6%, 58%).

[i] Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. (2016). Survei Baseline ‘Yes I Do Alliance’ (YID) : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Anak, Kehamilan Remaja dan Sunat Perempuan Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi, Indonesia.

 

Perkawinan Anak : Antara Harapan dan Realitas

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Berapakah usia yang dianggap ideal untuk menikah? Pertanyaan mengenai hal ini kerap kali ditanyakan dan menjadi problematika tersendiri bila ‘tidak dapat dipenuhi’. Anggapan tentang usia ideal untuk menikah ini dapat berbeda, tergantung konteks di masing-masing wilayah. Berdasarkan hasil studi kuantitatif yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2016 terhadap 1.534 remaja usia 15-24 tahun mengenai perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi[i], diketahui bahwa secara umum, usia yang dianggap ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 24 tahun. Secara lebih spesifik, usia rata-rata yang diinginkan untuk menikah pada perempuan di Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi adalah 23 tahun. Sementara itu, pada laki-laki usia rata-rata yang diinginkan untuk menikah lebih tua dibandingkan pada perempuan, yaitu 24 tahun di Lombok Barat dan 25 tahun di Sukabumi.

Pandangan tentang usia ideal di angka di atas 20 tahun tersebut ternyata tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada. Hasil penelitian Plan Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM tahun 2011 tentang ‘Praktik Pernikahan Dini di Indonesia’ di 8 wilayah: Indramayu, Grobogan, Rembang, Tabanan, Dompu, Sikka, Lembata dan Timur Tengah Selatan (TTS) menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah di seluruh wilayah penelitian adalah 16 tahun.[ii] Menurut hasil survei penelitian Puska GenSeks FISIP UI, usia rata-rata menikah responden Kabupaten Lombok Barat maupun Sukabumi adalah 18 tahun.

Masyarakat di kedua wilayah studi menanggap bahwa waktu menikah sebetulnya terkait erat dengan ‘jodoh’ masing-masing individu. Setiap orang akan menikah jika sudah bertemu dengan jodohnya. Pandangan mengenai jodoh ini yang menjadi dasar kuat bagi masyarakat di kedua wilayah studi untuk memutuskan waktu menikah. Bila seorang perempuan bertemu laki-laki yang dianggap jodohnya, maka saat itu merupakan saat yang tepat untuk menikah, termasuk dalam usia yang masih sangat muda.

Terkait dengan pandangan tentang usia menikah pada perempuan dan laki-laki di kedua wilayah, terdapat juga batasan usia yang dianggap terlalu muda ataupun terlambat untuk menikah.

Usia terlambat menikahSecara umum, usia rata-rata yang dianggap terlalu muda untuk menikah adalah 15.5 tahun sedangkan usia rata-rata yang dianggap terlambat menikah bagi perempuan adalah 29 tahun dan laki-laki adalah 34 tahun.Di Kabupaten Lombok Barat, usia rata-rata perempuan dianggap telat untuk menikah adalah 30 tahun, sementara untuk laki-lakinya 34 tahun. Tidak jauh berbeda dengan Sukabumi, rata-rata perempuan dianggap terlambat menikah jika usianya mencapai 29 tahun dan laki-lakinya 35 tahun.

Walaupun kepercayaan masyarakat di kedua wilayah studi terhadap jodoh sangat besar, namun di dalam masyarakat sendiri memiliki pandangan terhadap usia yang dianggap tepat untuk menikah bagi perempuan maupun laki-laki. Jika seorang perempuan yang dianggap sudah ‘pantas’ menikah namun belum juga menikah, ia akan dianggap sebagai ‘perawan tua’.

Di Lombok Barat, istilah ‘perawan tua’ ini disebut juga ‘mosot’ dalam bahasa Sasak. Menjadi ‘mosot’ adalah momok yang ditakuti, baik oleh remaja maupun orang tua sehingga menikah di usia anak dianggap lebih baik daripada menikahpada usia yang dianggap terlalu tua/terlambat untuk menikah untuk menghindari pembicaraan di antara tetangga maupun kerabat. Namun, ada perubahan pandangan terkait usia perkawinan ini.  Dalam FGD remaja perempuan di Lombok Barat maupun Sukabumi, usia yang dianggap ideal untuk menikah bagi perempuan adalah antara 17-24 tahun.  Perempuan yang menempuh pendidikan tinggi di universitas dan belum menikah padahal usianya melampaui usia yang dianggap ideal untuk menikah dianggap bukan ‘perawan tua’. Pandangan ini tidak berlaku bagi perempuan yang belum menikah di usia yang dianggap ideal untuk menikah dan tidak melanjutkan studinya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pandangan tentang ‘perawan tua’ inilah yang kadang dianggap sebagai tekanan untuk menikah dari masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara pandangan ideal terkait usia untuk menikah di atas 20 tahun bagi perempuan dan laki-laki ternyata berbeda dengan realitas yang ditemui, yaitu 18 tahun.

Keterangan foto : tradisi nyongkolan (arak-arakan pada prosesi pernikahan) dalam adat Sasak di Kabupaten Lombok Barat

[i] Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. (2016). Survei Baseline ‘Yes I Do Alliance’ (YID) : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Anak, Kehamilan Remaja dan Sunat Perempuan Kabupaten Lombok Barat dan Sukabumi, Indonesia.

[ii] Plan International & CPPS GMU. (2011). Child marriage in Indonesia. Jakarta, Indonesia: Plan International.

Pemutaran Film ‘Memoria’ dan ‘Bulu Mata’ untuk 16HAKTKP 2016

Kasus kekerasan seksual tidak dapat dinafikan terjadi di tengah masyarakat kita. Pemberitaan di Indonesia diwarnai oleh kasus YY (14 tahun) di Bengkulu yang menyentak berbagai pihak. Serupa dengan kasus YY, Nona (13 tahun) di Surabaya juga mengalami hal serupa, ia diperkosa oleh 8 orang temannya yang masih berusia anak. Dalam catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2016, dicatat bahwa terdapat 321.752 kasus terlapor dengan persentase terbesar adalah kasus kekerasan di ranah personal dengan bentuk kekerasan paling banyak adalah kekerasan fisik dan seksual. Jumlah kasus kekerasan seksual ini meningkat dari tahun lalu di peringkat ketiga, menjadi peringkat kedua pada tahun ini dengan persentase terbesar adalah bentuk perkosaan sebanyak 2.399 kasus (72%), pencabulan sebanyak 601 kasus (18%) dan pelecehan seksual (5%). Sedangkan di ranah komunitas terdapat 5002 kasus dengan jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%).[i]

Menanggapi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan menggagas  Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) di Indonesia. Kampanye ini merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Kampanye ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya dilaksanakan sejak tanggal 25 November yang merupakan hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Enam belas (16) hari ini dipilih dengan harapan seluruh komponen masyarakat, baik aktivis, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat secara umum, memiliki waktu yang cukup untuk membangun strategi dan bergerak serentak dalam agenda bersama untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.

Terkait dengan agenda bersama 16HAKTP 2016 di Indonesia, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI yang memiliki salah satu fokus utama pada isu perempuan dan seksualitas, mengadakan pemutaran film ‘Memoria’ dan ‘Bulu Mata’ serta diskusi sebagai bentuk aksi anti kekerasan terhadap perempuan pada hari Jumat, 9 Desember 2016 pukul 13.00-17.00 WIB.

[i] http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-catatan-tahunan-catahu-2016-7-maret-2016/

Peluncuran Hasil Penelitian Sunat Perempuan di Indonesia

Dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan HIVOS melakukan peluncuran hasil penelitian yang dilakukan mengenai sunat perempuan di tujuh (7) wilayah di Indonesia, yaitu : Kota Gorontalo (Gorontalo),  Kota Medan (Sumatera Utara), Kabupaten Polewali Mandar (Sulawesi Barat),  Kabupaten Bima (NTB),  Kabupaten Sumenep (Jawa Timur),  Kota Ambon (Maluku) dan Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi kuantitatif dan kualitatif. Studi kuantitatif dilakukan melalui survei terhadap terhadap 700 reponden yang tersebar di seluruh lokasi penelitian, dengan pembagian merata 100 responden di tiap lokasi (50 responden Ibu yang pernah menyunatkan anak perempuannya dan 50 responden Ibu yang tidak pernah menyunatkan anak perempuannya).  Sedangkan studi kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci dan informan pendukung.

 

Fenomena AYLA (Anak yang Dilacurkan)

Ilustrasi : Retno Aji Prasetyo

Oleh : Reni Kartikawati

Berdasarkan klasifikasi Komnas Perempuan, salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah praktik perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dan eksploitasi seksual.[i] Di Indonesia, fenomena AYLA (anak yang dilacurkan) dalam kegiatan eksploitasi seksual komersil anak (ESKA) tidak dapat terhindarkan. UNICEF dalam dokumen A/50/456 mendefinisikan pelacuran anak (child prostitution) sebagai “the act of engaging of offering the service of a child to perform sexual act for money or other consideration with a person or any other person.” Dalam hal ini, pelacuran anak ialah perbuatan dengan menggunakan atau menawarkan jasa seksual anak untuk melakukan kegiatan seksual demi uang atau pertimbangan lainnya dengan seseorang atau beberapa orang. Praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk ESKA, yaitu pemanfaatan anak untuk tujuan seksual dengan kompensasi berupa imbalan tunai/bentuk lainnya oleh pembeli jasa seksual, perantara/agen dan pihak lainnya yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ini. Anak, dalam fenomena ESKA pada dasarnya tidak mampu membuat keputusan untuk memilih prostitusi sebagai profesinya.[ii]

Data BARESKRIM Polri dari tahun 2011 hingga 2013 yang dilansir KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyebutkan bahwa ESKA menduduki kasus eksploitasi terhadap anak terbesar, dengan jumlah kasus sebesar 205. Salah satu kasus eksploitasi seksual terhadap anak ini adalah kasus perdagangan (trafficking) anak. Kasus perdagangan anak ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data KPAI menunjukkan peningkatan tersebut dalam kurun waktu tiga tahun dari 2010-2012. Pada tahun 2010, terdapat 410 kasus, meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan 673 kasus pada tahun 2012. Hal ini juga dikuatkan hasil penelitian ECPAT Indonesia pada tahun 2013 yang memaparkan temuan adanya 150 ribu anak Indonesia yang dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. Sebagian dari mereka berada dalam usia produktif  (usia sekolah), dengan rata-rata usia 14-16 tahun. Indonesia dalam hal ini dikatakan sebagai salah satu negara asal, transit dan tujuan dari perdagangan perempuan dan anak, terutama untuk tujuan seksual.[iii]

Melihat banyaknya fenomena kasus AYLA serta berbagai faktor yang melatarbelakanginya, hal tersebut menjelaskan bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi agenda utama bagi pihak pemerintah, khususnya terkait dalam penyediaan regulasi perangkat hukum yang memadai untuk melindungi anak, khususnya anak perempuan yang rentan terhadap tindakan eksploitasi seks komersial. Hal tersebut penting karena hal tersebut merupakan bagian dari hak anak.

Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konsitusi negara UUD RI yaitu pasal 28b. Disebutkan dalam pasal tersebut ayat kedua, bahwa setiap anak berhak atas kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pasal 59 UU No. 35 tahun 2014, pengganti UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta anak yang diperdagangkan”.[iv]

Selain itu, Konvensi Hak Anak (KHA) pasal 34 dan 35 secara langsung mewajibkan negara untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelacuran anak. Pasal 34 menyebutkan bahwa “Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual” dan Pasal 35 mengatakan bahwa “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak, nasional, bilateral multilateral, untuk mencegah penculikan, penjualan, atau jual beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun.[v]

Dari berbagai fenomena kasus AYLA yang telah dijelaskan, kita dapat juga melihat dampak yang ditimbulkan terhadap AYLA tersebut, diantaranya yaitu:

  • Kerawanan terhadap kekerasan, baik fisik, maupun psikis. Adapun rentan secara fisik misalnya rentan akan kekerasan seksual (misalnya dipukuli) serta rentan terkena penyakit menular seksual (IMS) akibat berhubungan seksual berganti pasangan tanpa alat pengaman (kontrasepsi), atau bahkan HIV/AIDS. Selanjutnya, anak juga rentan secara psikologis karena anak yang dilacurkan berada dalam kondisi direndahkan dan dilecehkan. Mereka tidak punya kemampuan untuk melakukan pilihan karir dan menerima kondisi yang ada begitu saja;
  • Dampak sosial, adanya penolakan dari lingkungan tempat anak tersebut tinggal, umumnya masyarakat melihat pekerjaan mereka telah merusak moral, sehingga mereka didiskriminasikan dan mendaptkan stigma negatif dalam masyarakat. Dalam jangka waktu panjang, hal ini juga akan mengakibatkan hilangnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak merupakan pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual, khususnya anak perempuan. Anak perempuan menjadi komoditas yang menguntungkan namun berada pada posisi lemah. Mereka dijadikan alat pemuas kebutuhan bagi para pemilik modal (yang berkuasa) dalam lapisan struktur yang lebih tinggi dibandingkan mereka. Foucault, dalam bukunya History of Sexuality (1976), menjelaskan “seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari sebuah diskursus plural dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas hingga abad ke-20”. Prostitusi kemudian diartikan sebagai beralihnya peran tubuh perempuan dari wilayah privat ke publik. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, anak-anak yang melacurkan diri merupakan bagian dari eksploitasi seksual anak, termasuk bagi anak yang memutuskan masuk dalam dunia prostitusi tersebut secara ‘sukarela’. Keputusan anak untuk menjadi objek seks komersial tidak bisa diterima karena anak tidak cakap secara hukum untuk memutuskan diri menjadi objek seks.[vi] Praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM, khususnya hak anak.

Penyunting : Gabriella Devi Benedicta

[i] Mariana Amiruddin, Kekerasan Seksual : Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal, diakses dari http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2015/01/Kekerasan-Seksual-Bukan-Kejahatan-Kesusilaan-melainkan-Kriminal-Mariana-Amiruddin.pdf

[ii] Ahmad Fauzi., 2006., Anak yang Dilacurkan: Dari Perspektif Hukum Perlindungan Anak., Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, hlm. 14-16. (internet), [diakses 29 Oktober 2015]. Diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/86751-T16409-Ahmad%20Fauzi.pdf

[iii] TEMUAN DAN REKOMENDASI KPAI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI BIDANG PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DAN EKSPLOITASI TERHADAP ANAK, 6 Juni 2014. (internet), [diakses 28 Oktober 2015]. Diunduh dari: http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/.

[iv] Ibid.

[v] Farid Wadji,  2012., PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA : Dilema dan Solusinya., Jakarta: PT. SOFMEDIA, hlm. 114-115.

[vi] Ibid, hlm. 86-91.

Kekerasan Seksual dan Agama

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Gabriella Devi Benedicta 

Ruang yang dianggap sangat aman bagi sebagian pihak seperti rumah ibadah, nyatanya tidak terlepas dari praktik kekerasan seksual. Dilansir dari laman koran tempo.co, seorang pemilik pondok pesantren di Bogor dan Tangerang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia karena dugaan melakukan tindak pelecehan seksual. Alasan pengaduan tersebut didasarkan atas tuduhan dilakukannya perabaan dan persetubuhan dengan santri perempuan oleh pemilik pesantren.[i]

Belum lama ini, film Spotlight yang mendapatkan penghargaan film terbaik Oscar 2016 juga menyoroti tindak pedofilia yang terjadi di kalangan biarawan gereja Katolik di Boston, Amerika Serikat. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tersebut diambil dari hasil investigasi wartawan the Boston Globe pada kurun waktu 2001-2003. Walaupun tidak dapat dipastikan keterkaitannya secara langsung, namun setelah film tersebut dirilis berbagai kesaksian tentang kasus pelecehan seksual terhadap anak di dunia mulai terungkap. Reuters dalam tempo.co menyajikan kesaksian bendahara Vatikan, Pell (2016), terkait masalah pelecehan sistemik dalam tubuh gereja Katolik yang melibatkan ratusan anak di Australia pada tahun 1960-1190. Kesaksian tersebut dilakukan di hadapan Australian Royal Commission, Lembaga Peradilan untuk kasus Pelecehan Seksual Anak.[ii]

Berdasarkan ilustrasi dari dua kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam institusi keagamaan di atas, dapat dilihat bahwa pelaku kekerasan seksual adalah pihak yang memiliki kuasa lebih atas korbannya. Posisi kuasa lebih tinggi di dalam suatu institusi menciptakan ruang untuk menunjukkan dominasi hasrat seksual kepada pihak yang lebih lemah. Keenan (2006) mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kewajiban untuk hidup selibat sebagai seorang biarawan dengan praktik pelecehan seksual terhadap anak. Hidup tidak menikah yang menjadi salah satu kewajiban bagi biarawan dan biarawati seharusnya bukan menjadi alasan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan di balik tembok biara. Praktik hidup selibat nyatanya tidak berakhir pada tindakan pelecehan seksual pada sebagian besar biarawan dan biarawati yang menjalankannya. Namun, ia menjelaskan bahwa hidup selibat rentan terhadap konflik personal, terlebih ketika secara institusional gereja Katolik sendiri melarang seks dalam bentuk apapun bagi biarawan. Namun di lain sisi, ia harus hidup di bawah pengajaran agama Katolik sendiri tentang seksualitas. Lebih lanjut, isu pelecehan anak dalam gereja secara dilematis menyentuh isu yang sangat personal/individual maupun kelembagaan; otoritas dan struktur kuasa.[iii]

Sedikit berbeda, di dalam pesantren tidak ada kewajiban untuk hidup selibat bagi pemimpin agamanya seperti dalam gereja Katolik. Akan tetapi, hal tersebut tidak meniadakan praktik kekerasan seksual di dalam institusi mereka. Kekerasan seksual adalah bentuk perolehan kuasa dan perasaan untuk mendominasi orang lain. Dominasi atas kuasa dan kontrol atas tubuh seseorang dapat terjadi di berbagai ranah, termasuk di balik tembok biara maupun pesantren, tempat yang dianggap ‘aman’ bagi orangtua untuk membiarkan anaknya beraktivitas dan belajar ilmu agama.

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak banyak kasus kekerasan seksual di dalam institusi agama bisa dengan mudah terungkap? Keengganan untuk mengungkap kasus tersebut terjadi karena perbedaan status yang membuat korban lebih banyak memilih diam. Pemuka agama yang secara sosial lekat dengan penilaian moral sebagai pribadi yang baik, dianggap jauh dari hal-hal tercela yang umumnya dilakukan oleh mereka yang liyan. Status sebagai pemimpin agama yang terpandang, dihormati dan menjadi representasi agama yang dianut membuat korban ataupun orang tua korban enggan bahkan takut untuk memperkarakannya. Akankah kebenaran bisa terungkap, jika keadilan hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berkuasa? Deskripsi kasus-kasus di atas merupakan contoh dari kesulitan yang ditemui dalam kasus pelecehan seksual; ketika moral dan agama menjadi tameng dan ditujukan untuk menaklukan mereka yang lemah dan tak berdaya.

Penyunting : Sari Damar Ratri

[i] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2015/09/17/079701510/diduga-mencabuli-santri-pemilik-pesantren-diadukan-ke-kpai

[ii] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2016/03/06/117751206/korban-pelecehan-seksual-kecewa-kepada-paus-fransiskus

[iii] Marie Keenan, January 2006, “The Institution and the Individual : Child Sexual Abuse by Clergy”. The Furrow. Volume 57, No. 1, p. 5-7.

 

Surat Pernyataan Sikap terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Foto : Gabriella Devi Benedicta

Oleh : Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual belum menjadi prioritas bagi para pemangku kebijakan di tingkat legislatif. Dengan semakin banyaknya korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak akhir-akhir ini maka hal yang paling mendesak adalah mendorong RUU ini sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2014, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.[i] Sementara itu menurut Pusat Data dan Informasi (Pusdatin Komnas Anak), pada tahun 2013, terdapat 3.339 kasus pelanggaran hak anak, sebanyak 54% di antaranya adalah kasus kejahatan seksual. Pada tahun 2014 kasus tersebut meningkat menjadi 4.654 kasus yang 52% di antaranya adalah kekerasan seksual.[ii]

Kami melihat bahwa, selama ini basis hukum atau perlindungan hukum yang ada mengenai kekerasan seksual belum memadai untuk memberikan rehabilitasi dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Dengan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, korban kekerasan seksual mampu mendapatkan layanan pengaduan dan peluang mendapatkan keadilan atas kasus yang menimpanya. Selama ini masyarakat tidak memiliki perangkat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sehingga masyarakat cenderung pasif (mendiamkan, membiarkan, hingga menyalahkan) korban kekerasan seksual. RUU ini juga membuka peluang bagi masyarakat sebagai kolektif untuk mengadukan dan melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual yang umumnya menjadi persoalan personal dan/atau persoalan keluarga kini melibatkan kolektif masyarakat. Beban yang ditanggung korban dan keluarga, melalui RUU ini dibagi secara merata menjadi tanggung jawab bersama anggota masyarakat di sekitar mereka. Lebih dalam lagi, dengan disahkannya RUU ini, merupakan perwujudan perlindungan terhadap tubuh perempuan dan anak yang selama ini diabaikan oleh Negara.

Meski demikian, kami melihat masih ada kelemahan dalam RUU Penghapusan Kekerasan ini, khususnya dalam perumusan sanksi pidana. Lebih lanjut, kami melihat perlunya upaya peninjauan ulang terhadap batas minimum pidana penjara dan waktu rehabilitasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Kami berpendapat, rancangan RUU ini sepatutnya menentukan batas minimum sanksi pidana yang cukup tinggi termasuk juga dalam menentukan batas minimal rehabilitasi perlu ditetapkan dengan jelas dan tegas.

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas pada prinsipnya menyatakan dukungan penuh terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk masuk sebagai prioritas dalam Prolegnas 2016 mengingat penting dan strategisnya RUU ini. RUU ini akan menjadi payung hukum yang komprehensif dalam upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi berbagai kasus kekerasan seksual. Namun, kami mendorong masih perlunya perhatian lebih serius dalam perumusan, penyempurnaan RUU ini sebelum disahkan sebagai UU. Adanya UU Perhapusan Kekerasan Seksual merupakan wujud nyata dari kewajiban konstitusional negara, sebagaimana pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 karena setiap warga negara memiliki hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. Bagaimanapun UU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan instrumen untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

[i]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151125_indonesia_kekerasan_seksual_inferioritas, diakses pada tanggal 5 Mei 2016, pukul 18:15 WIB.

[ii]http://www.mediaindonesia.com/news/read/28188/kejahatan-luar-biasa-terhadap-anak/2016-02-11, diakses pada tanggal 5 Mei 2016, pukul 18:10 WIB.

KTD dan akibatnya bagi remaja

Ketika Kehamilan Terjadi dan Akibatnya Terhadap Remaja

oleh

Endah Sulistyowati

Kehamilan tidak diinginkan atau disingkat menjadi KTD biasanya sering dianggap sebagai kehamilan yang terjadi akibat hubungan seks di luar ikatan perkawinan. Namun KTD bisa juga terjadi pada pasangan yang sudah menikah tetapi belum ingin memiliki anak atau justru sudah memiliki banyak anak. Selain itu, KTD juga sering terjadi pada korban perkosaan, terlepas dari status korban yang masih lajang ataupun sudah menikah. Dampak dari semakin tingginya aktivitas seksual pada kelompok remaja tanpa diikuti oleh pengetahuan mengenai reproduksi dan seksual, berperan dalam terjadinya kasus KTD. Data SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) 2012 menunjukkan 8% atau 6835 orang remaja laki-laki dan 0,7% atau 6018 orang remaja perempuan usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2013).

Kasus video yang merekam perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA pun semakin marak, kehendak untuk menyebarluaskan video perilaku seksual oleh remaja diduga disebabkan oleh adanya rasa haus atas sebuah pengakuan. Video-video yang beredar tersebut seolah juga menjadi bukti ‘kejantanan’ remaja laki-laki atau bukti ‘kedewasaan’ remaja perempuan untuk ditunjukkan ke teman-teman kelompoknya (peer group). Hubungan seks yang dilakukan para remaja biasanya diawali oleh rasa ingin tahu dan coba-coba, selain didorong oleh hasrat biologis dalam tubuh, ditambah rangsangan akibat menonton video porno, serta bisa juga disebabkan oleh tekanan teman sebaya (peer pressure). Untuk membuktikan bahwa dirinya bukan lah remaja ‘kuper’ alias kurang pergaulan, faktor tersebut merupakan dasar perlakuan kasar yang dilakukan remaja, seperti memaksa pacarnya berhubungan seksual dengan ancaman atau lebih jauh memaksa dengan kekerasan.

Ketika kehamilan terjadi, yang sering menjadi korban adalah remaja perempuan. Mulai dari dimarahi keluarga, dilecehkan/dikucilkan oleh teman, dikeluarkan dari sekolah, sampai dihujat oleh masyarakat. Sedangkan terkadang remaja laki-laki bebas melenggang pergi tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Saat kehamilan terjadi, pilihan yang biasanya diambil oleh remaja adalah aborsi atau MBA (Married by Accident) apabila gagal melakukan aborsi dan akhirnya terpaksa dinikahkan oleh keluarga untuk menutup aib jikalau si bayi lahir tanpa ayah. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksulitas (PKRS) membuat banyak remaja melakukan hubungan seks tanpa menyadari resiko yang terjadi sesudahnya. KTD menjadi salah satu bukti atas kurang/tidak adanya PKRS bagi remaja. Keadaan tersebut diperparah dengan upaya aborsi yang tidak aman melalui rekomendasi teman yang juga kurang/tidak paham soal kespro, entah melalui dukun beranak atau dilakukan sendiri dengan obat atau jamu-jamuan. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman itu seolah bukan hal yang besar bagi remaja tersebut. Hasil penelitian Simanjorang (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 15% remaja dari 2,3 juta perempuan melakukan aborsi yang berakibat pada tingginya AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia dalam EM Simarmata Ketika usaha aborsi mengalami kegagalan maka pilihan terakhir adalah menikah di usia dini.

Beberapa guru SMU/SMK di kota Bandung mengakui bahwa ada beberapa kasus KTD di sekolah mereka (Puska Genseks 2013) Dalam suatu kasus, siswi yang hamil tersebut akhirnya mengundurkan diri karena malu. Ada pula yang menyebutkan bahwa pihak sekolah tidak pernah mengeluarkan siswi yang hamil tetapi memang sudah ada surat perjanjian sejak awal bahwa siswa/siswi yang melanggar aturan sekolah (memakai narkoba, melakukan hubungan seks, KTD) akan mengundurkan diri. Dengan kata lain, dikeluarkan dari sekolah secara ‘halus’. Di sisi lain, ada juga guru menyebutkan bahwa siswi yang hamil bisa ikut ujian di rumah karena tidak mungkin datang ke sekolah dengan perut besar. Meskipun tidak ada aturan baku dari Kemendiknas yang menyebutkan bahwa siswi yang hamil harus dikeluarkan dari sekolah, diakui oleh beberapa guru bahwa masing-masing sekolah memiliki kebijakan tersendiri dalam menyikapi kasus KTD.

Pernyataan Bapak M.Nuh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayan, saat masih menjabat sebagai menteri pendidikan, mengenai siswi hamil agar diperbolehkan mengikuti ujian seolah menjadi ‘angin segar’ bagi remaja putri yang mengalami KTD. Meski menuai kritik dari berbagai pihak, pernyataan M. Nuh tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah upaya untuk memenuhi hak anak/remaja (terutama perempuan) dalam memperoleh pendidikan yang sering terabaikan karena masalah KTD. Lebih lanjut, persoalan KTD di Indonesia tidak hanya akan mempengaruhi AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) semata, secara luas, derajat keselamatan dan perkembangan sebuah generasi pun dipengaruhi oleh bagaimana Negara dan masyarakat melihat kesehatan reproduksi dan seksual remaja.

Editor: Denizy Wahyuadi

Photo: Sari Damar Ratri