Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia Berjalan Mundur

Foto: Sari Damar Ratri

Oleh: Muhammad Nurun Najib (Najib)

Sudah tak asing lagi kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Namun banyak peneliti beranggapan bahwa, proporsi jumlah penduduk ini ternyata tidak berbanding lurus dengan perkembangan sumber daya manusianya (SDM). Jika kita melihat pada sektor kesehatan misalnya, Angka Kematian Ibu (AKI) ternyata masih menempati urutan teratas di antara negara-negara tetangga. Artikel-artikel ilmiah dan popular yang menyatakan tentang ini bisa dengan mudah di dapatkan di internet. Prakarsa, sebuah perkumpulan yang bekerja dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesejahteraan ide dan penelitian menyatakan, ada kenaikan yang signifikan atas Angka Kematian Ibu (Prakarsa, Oktober 2013)[1]. Misalnya saja hasil dari Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang menunjukkan bahwa terdapat 359 AKI di antara 100.000 kelahiran hidup. Angka ini melambung tinggi ketika dibandingkan data SDKI pada tahun 2007, di mana angkanya menunjukkan terjadi 228 kasus AKI di antara 100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), yaitu sebesar tiga-perempatnya pada tahun 2015. Sementara target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar dua-pertiga. Dari kesepakat global tersebut Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH), Angka Kematian Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada tahun 2015[2]. Target-target tersebut nampak snagat menjanjikan, seolah-olah menciptakan pedoman bekerja yang cukup strategis. Tetapi disaat bersamaan, target capaian MDGs sesungguhnya bisa dijadikan tolak ukur kemunduran dari program pemerintah dalam menurunkan AKI di Indonesia.

Mari kita lihat kondisi saat ini, pada tahun 1997 sebenarnya Indonesia pernah ditempatkan oleh WHO sebagai negara yang berhasil dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada tahun itu, pemerintah mampu menurunkan angka 390 kasus menjadi 334 di antara 100.000 kelahiran selama kurun waktu tiga tahun. Keberhasilan yang dicapai Indonesia pada tahun itu tidak terjadi secara instan. Dalam lembaran sejarah, satu dekade sebelumnya, yaitu pada tahun 1987 saat WHO meluncurkan Safe Motherhood Initiative, Indonesia langsung menjawabnya dengan mengadakan program Making Pregnancy Safer (MPS). Sejak saat itu pemerintah juga mencoba mengembangkan program lainnya. Salah satu program yang dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalui pelayanan konseling yang baik dan benar. Hal ini membuat Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1980 sampai tahun 2000 terbilang sukses untuk program KIA.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan terkait dengan kesehatan ibu dan anak nyatanya juga sudah diatur dalam beragam regulasi yang ada. Sebagai contoh, adanya regulasi pemerintah yang mewajibkan untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk memberikan pelayanan yang maksimal untuk kesehatan, utamanya kesehatan ibu dan anak. Namun, fakta di lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya hanya sebesar 248 milyar rupiah atau sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang kesehatan. Potret ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk kembali dapat memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya adalah untuk kembali memperbaiki kualitas KIA di Indonesia yang belum mencapai target MDGs 2015 hingga saat ini. Dengan upaya perbaikan kebijakan tentang kesehatan reproduksi, pemerintah tetap saja menilai bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tidak perlu disedikan di tingkat sekolah. Pernyataan tersebut muncul ketika pengajuan revisi Undang-undang Sisdiknas yang diajukan oleh gugus tugas Seperlima di tolak karena dianggap kesehatan reproduksi dan seksual bukan lah isue prioritas dimana tidak ada masyarakat yang dirugikan. Kenyataan tersebut sungguh ironis, ketika para peniliti melihat bahwa AKI dan AKB bisadicapai melalui perbaikan standar pendidikan kesehatan repoduksi dan seksual.

Penyunting: Reni Kartikawati dan Sari Damar Ratri

 

Referensi:

[1] Saputra, Wiko. 2013. “Angka Kematian Ibu (AKI) melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun: Laju Penurunan Kematian Ibu di Indonesia terburuk dari Negara – Negara miskin di Asia” Prakarsa: Policy Review. Diakses dari http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/Prakarsa%20Policy_Oktober_Rev3-1.pdf

[2] Kesmas, http://www.indonesian-publichealth.com/surveilans-kematian-ibu/ diakses tanggal 21 Januari 2016, pukul 14:10 WIB.

 

Agama dan Pendidikan Kespro dan Seksual

Perspektif Agama dan Implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual

 Agama berperan penting dalam implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) di Indonesia. Di negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, pengajaran PKRS yang sesuai dengan ajaran agama (religiously appropriate) menjadi salah satu kriteria penting keberhasilan program di Indonesia. Hal ini seperti yang ditulis pula oleh Bannett (2007) dalam artikelnya yang berjudul “Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth”.

Dalam artikel yang ditulisnya, Bannett mencoba menjelaskan kondisi pendidikan seks di kalangan pemuda Indonesia yang multiperspektif dan tumpang tindih antara kesehatan, hak asasi manusia dan perspektif Islam. Ia juga memberikan argumen yang mendukung terkait penggunaan kurikulum berperspektif Islam sebagai kerangka pengembangan pendidikan seksual bagi kaum muda Muslim di Indonesia. Menurutnya, kesesuaian kerangka kerja yang berperspektif Islam ini juga menjadi perhatian dari para guru/ustad/ustadzah/ibu nyai/kyai di beberapa pondok pesantren atau madrasah yang ingin memberikan materi mengenai PKRS untuk para santrinya.

Berdasarkan data kajian penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2012-2013 mengenai “Advokasi Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Sekolah” yang dilakukan di beberapa Pondok Pesantren di wilayah Jombang, Banyuwangi, serta Lamongan, didapatkan hasil bahwa guru-guru setuju jika PKRS ini diberikan kepada para santri selama mengacu pada ajaran Agama Islam. Namun, terdapat beberapa catatan yang diberikan terkait implementasi program PKRS ini di tingkat pesantren.

Dalam hal ini, pengajaran substansi atau materi yang diajarkan terkait kespro dan seksual diperbolehkan, tetapi tata cara pengajarannya tetap disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan pesantren atau sesuai dengan ajaran Agama Islam. Di beberapa pesantren yang menjadi wilayah penelitian, diketahui bahwa sebenarnya Pondok Pesantren secara tidak langsung sudah mengajarkan PKRS kepada para santrinya melalui Ilmu Fiqih dan juga “Kitab Kuning”, seperti Risalatul Mahid, Qurratul Uyun dan Kitab kuning lainnya.

Meskipun adaptasi dengan norma agama merupakan hal yang penting, namun terdapat kekhawatiran dari kalangan organisasi masyarakat sipil bahwa PKRS yang diberikan hanya akan bersifat ‘normatif’ –hanya menekankan larangan – dari sudut pandang agama. Bila hanya diberikan melalui satu sudut pandang saja dan tanpa memahami realitas dan kebutuhan remaja dari aspek lainnya termasuk aspek kesehatan, PKRS yang disampaikan tetap akan membingungkan.

Kekhawatiran tersebut juga diafirmasi oleh Smerecnik et.al (2010). Dalam penelitiannya mengenai “An exploratory study of Muslim adolescents’ views on sexuality: Implication for sex education and prevention”, pendidikan seksualitas yang terlalu menekankan pada norma agama tanpa memperhatikan pandangan dari remaja cenderung untuk gagal dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan kespro dan seksual yang komprehensif dan tidak mendasarkan pada satu aspek tertentu saja menjadi penting untuk dilakukan. Hal tersebut terkait dengan pertimbangan pada aspek lain terkait berbagai dimensi seksualitas remaja yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menjalani seks berisiko atau tidak.

Adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, serta resiko sosial yang akan dihadapi perlu didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman yang dijalani oleh mereka sendiri. Karena berdasarkan penelitian ini, terdapat siswa yang telah mempraktikkan perilaku seks yang tidak terlindungi, akibatnya cukup banyak remaja saat ini yang sudah terkena IMS (Infeksi Menular Seksual) dan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) tanpa mereka tahu bagaimana cara mencegah atau mengatasinya.

Video oleh CNN diatas menunjukkan salah sedikit dari orang dewasa yang merasa mengenalkan pendidikan seks di usia dini adalah sesuatu yang sangat diperlukan. PKRS yang komperehensif tentu saja tidak semata-mata mengajarkan anak-anak ini tentang seks, melainkan mengetahui organ reproduksi mereka, menghormati tubuh sendiri dan orang lain, serta cara berelasi yang setara dengan orang lain. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang tidak mengerti bahwa seks tanpa pengetahuan yang memadai sama saja dengan perilaku berisiko lainnya seperti berkendara tanpa helm, berkendara saat mabuk dan bekerja tanpa istirahat.

Penulis: Diana Pakasi dan Reni Kartikawati

Penyunting: Gabriella Devi Benedicta dan Sari Damar Ratri

Web content: Sari Damar Ratri

Masihkan berpikir tentang RUU Kebiri???

The Jakarta Post melaporkan bahwa kasus pelecehan seks pada anak diketahui dilakukan oleh bekas korban pelecahan anak juga. Hal ini didukung oleh hasil investigasi dari beberapa kasus di berbagai daerah di Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil dalam memutus mata rantai kekerasan seksual pada anak juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa jadi merupakan korban sebelumnya. Apalagi para pakar berpendapat bahwa setiap manusia berbeda berdasarkan pengalaman dan bagaimana ia menghadapi trauma yang dialami. Dengan kata lain masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memutus rantai kekerasan seksual pada anak selain dengan kebiri. Salah satunya adalah dengan perawatan atas trauma secara tepat. Orang tua juga penting untuk lebih sensitif dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak, yang kemudian terbuka dalam mengajak diskusi kepada anak-anak korban kekerasan seksual. The Jakarta Post: child abuser are often former victims, says policy expert

On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Tulisan oleh Irwan M. Hidayana di The Conversation mengulas mengenai posisi identitas komunitas transgender dalam media di Indonesia. Dalam mengulas hal ini, Hidayana mengambil contoh bagaimana drama sinetron membayangkan dan membingkai posisi waria di dalam masyarakat. Hidayana mengulasnya dalam diskusi antara hak dan agama yang mana keduanya menjadi dasar penentu normalitas kehidupan seseorang.

The Conversation: On Indonesia TV, transgender people are made to repent

Parade Film dan Seminar: Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja

poster parade film

 

Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, bekerja sama dengan UN Women, SGRC UI  menyelanggarakan 2 hari seminar dan parade film di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991. Di Indonesia sendiri, kampanye ini diprakarsai pertama kali oleh Komnas Perempuan pada tahun 2003. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya dilaksanakan sejak tanggal 25 November yang merupakan hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Enam belas (16) hari ini dipilih dengan harapan seluruh komponen masyarakat, baik aktivis, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat secara umum, memiliki waktu yang cukup untuk membangun strategi dan bergerak serentak dalam agenda bersama untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Acara ini terbuka untuk umum, partisipasi kalian sangat dinantikan!!!!

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual : Persoalan Tabu dan Absennya Negara

“Gue bukan anak kecil lagi”, kalimat ini kerapkali terdengar ketika seorang remaja memberontak. Remaja, dengan segala kompleksitas perubahan dari anak-anak menuju dewasa, dimulai dari perubahan fisik, psikis dan sosial, merupakan proses yang cukup panjang dilewati. Setiap perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kondisi perubahan dan perkembangan yang signifikan ini menjadikan remaja rentan terhadap beragam persoalan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti pubertas, pacaran, seks pra nikah, kehamilan tak dikehendaki, bahkan aborsi tidak aman jika informasi yang mereka peroleh tidak sesuai.

Terkait hal ini, seorang rekan yang melakukan pendampingan terhadap korban perkosaan menceritakan bahwa ada seorang gadis remaja hamil berusia 18 tahun yang tinggal di pinggiran kota Jakarta, kaget ketika mengetahui bahwa dirinya hamil, “Memang saya pernah melakukan hubungan seksual, tetapi saya bingung kenapa saya bisa hamil ?” Pengalaman lainnya dari seorang perempuan berusia 26 tahun yang tinggal di Jakarta mengafirmasi bahwa informasi mengenai kesehatan reproduksi tidak diperolehnya ketika ia remaja. Ia mengatakan, “Dulu saat saya baru dapat haid pertama kali, saya gak berani bilang ke ibu saya karena saya malu dan takut, lagi pula saya bingung apa yang harus dilakukan ketika keluar darah dari vagina saya. Saya akhirnya tahu bahwa itulah haid dari film”.

Dua pernyataan diatas, mungkin terdengar sepele dan membingungkan. Bagaimana bisa seorang gadis remaja berumur 18 tahun dan tinggal di pinggiran kota Jakarta tidak memiliki cukup informasi mengenai proses pembuahan dan kehamilan sebagai konsekuensi dari dilakukannya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan? Dalam kasus lainnya yang diungkapkan di atas, remaja juga mengalami kebingungan ketika mendapati dirinya mengalami haid pertama. Tinggal di ibukota tidak mengasumsikan adanya penyebaran informasi yang sesuai dengan kebutuhan remaja di tahap perkembangannya. Jikapun diberikan, informasi tersebut kadangkala sangat terbatas dan sulit diakses oleh remaja. Persoalan tabu dan malu untuk bertanya menjadi penyebabnya. Mitos-mitos seputar kesehatan reproduksi juga semakin membuat remaja takut, serta tidak memiliki keabsahan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengambil keputusan yang benar.

Menjadi tanggung jawab siapakah persoalan ini? Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang kompleks, namun di sisi lain bukan berarti kerumitan masalahnya membuat kita dapat lepas tangan begitu saja. Masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja merupakan tanggung jawab yang membutuhkan komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak. Masyarakat sesungguhnya bisa berperan aktif dalam mendorong pemerintah untuk peduli terhadap isu kesehatan reproduksi dan seksualitas. Pihak remaja bisa mulai membuka diri dan menyadari pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini yang dapat dimulai dari institusi terkecil, yaitu keluarga. Dengan demikian, keluarga sebagai unit terkecil sepatutnya bisa menjadi lembaga pendidikan (kesehatan reproduksi dan seksualitas) yang kondusif dan ramah bagi remaja. Dari segi waktu, remaja memang menghabiskan waktunya lebih banyak di sekolah daripada di rumah, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk orang tua menyerahkan masalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada sekolah saja. Akan tetapi, kesadaran para orang tua bahwa, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual bisa difasilitasi dari keluarga masih minim. “Itu tanggung jawab pihak sekolah. Kalau di rumah, kita tidak tahu apa itu reproduksi, apalagi ngomongin seksualitas, wah itu rasanya gimana ya, sungkan”, begitu pengakuan salah seorang orang tua siswa kelas 10 di salah satu SMTA di Jakarta.

Hasil pemetaan kebijakan yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI dan SEPERLIMA pada tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki payung hukum mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, khususnya untuk remaja[1]. Untuk itu, ada upaya memasukan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) di sekolah sedang diupayakan beberapa pihak, termasuk SEPERLIMA. Hasil studi menunjukkan terdapat beberapa usulan mengenai penerapan PKRS bagi remaja di tingkat sekolah, yaitu : (1) menjadi mata pelajaran tersendiri; (2) menjadi mata pelajaran muatan lokal; (3) diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada seperti Biologi, Penjaskesor, BK, dan Agama; (4) diberikan pada ekstra kurikuler (ekskul) tersendiri, digabung dengan ekskul yang ada/UKS, atau menjadi kegiatan mandiri di luar ekskul.

 

Terlepas dari pilihan-pilihan yang diberikan, penting untuk digarisbawahi bahwa adalah hak remaja untuk menerima akses informasi yang tepat mengenai kesehatan reproduksi dan seksual mereka. Berdasarkan assessment yang dilakukan oleh Puska Genseks dan SEPERLIMA, pilihan menyisipkan PKRS di dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Olahraga merupakan peluang sebagai titik awal penyampaian PKRS di kurikulum Indonesia. Dengan adanya PKRS, hal ini memungkinkan remaja untuk mengenali tubuhnya, memahami konsekuensi atas perilaku seksual yang dilakukan, serta melindungi diri mereka dari segala tindak kekerasan seksual yang mungkin dapat dialami. Akan tetapi, 4 Nopember 2015 lalu, pengajuan Judicial Review SEPERLIMA terhadap UU Sisdiknas ditolak tanpa sidang oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi. Salah satu alasan yang membuat hakim menolak usulan ini adalah karena pendidikan kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab para orang tua untuk menyampaikan kepada anak-anak mereka. Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa persoalan kesehatan reproduksi dan seksual remaja belum disadari baik oleh orang tua (masyarakat umum) maupun oleh lembaga tinggi negara. Jika demikian, lantas bagaimanakah persoalan kesehatan reproduksi dan seksual di Indonesia bisa ditangani?

Penulis: Djamilah dan Gabriella Devi Benedicta

Editor dan Content Manager: Sari Damar Ratri

 

[1] Hasil Penelitian Policy Mapping Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas , Puska Gender dan Seksualitas FISI UI dan SEPERLIMA, tahun 2013

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, benarkah memicu seks berisiko?

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual merupakan topik yang ‘sensitif’. Kata sensitif tersebut menyatakan bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksual rentan untuk diperdebatkan dengan berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, jika dikaitkan dengan nilai masyarakat kita, bahwa ‘seks’ hanya boleh dilakukan di dalam ikatan perkawinan atau pernikahan yang sah, konsekuensinya, hal ini menjadikan diskusi dan penyebaran informasi mengenai seks menjadi tabu dan cenderung dikaburkan. Di sisi lain, sumber informasi seksual yang mudah di akses cenderung tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, materi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif penting untuk bisa diakses dan dipahami oleh remaja.

Kekhawatiran pemerintah, orang tua maupun pihak sekolah adalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) dianggap akan mendorong remaja berperilaku semakin ‘permisif’. Hal ini berangkat dari adanya anggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dapat mendorong keinginan remaja untuk melakukan seks pranikah yang cenderung berisiko. Padahal temuan hasil penelitian Baseline Study yang dilakukan oleh Puska Genseks di tahun 2012, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas justru dapat mengurangi dan mencegah perilaku seks berisiko di kalangan remaja. Selain itu, dengan tersedianya akses terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja lebih mampu menunda keinginannya untuk melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan temuan dalam Midline Study, Puska Genseks tahun 2013 di 23 sekolah menengah atas (SMA/MA/Sederajat) di delapan kota dan kabupaten di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Pontianak, Lampung, Semarang, Yogjakarta (Kulon Progo), Jombang, dan Banyuwangi didapatkan data bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) justru dapat mencegah perilaku siswa untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, yang ditunjukkan dengan persentase sebesar 88,7%. Sebanyak 94,5% temuan pada studi yang sama juga menunjukkan bahwa melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, siswa mengetahui dan menghindari bahaya penyakit menular seksual (PMS) bagi kesehatan reproduksi, seperti sifilis, gonore, HIV/AIDS. Tidak kalah penting juga ditunjukkan melalui persentase sebanyak 77,6% bahwa pendidikan kespro dan seksual memberikan kemampuan bagi siswa untuk dapat mengendalikan dorongan seksualnya.

Data ini didapatkan dari beberapa sekolah percontohan yang sudah menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual secara komprehensif kepada siswa/i sekolahnya baik melalui insersi pada mata pelajaran Biologi/IPA, Agama, Bimbingan Konseling/BP, serta Pendidikan jasmani dan olahraga (Penjaskesor). Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pun sesungguhnya bisa memanfaatkan ekstra kurikuler wajib di sekolahnya baik melalui PIK –R (Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja), Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lainnya.

Temuan penelitian di atas menjadi penting untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, orangtua dan pihak sekolah bahwa memberikan pengetahuan dan informasi yang benar, akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada remaja dapat berkontribusi pada penundaan perilaku seksual di kalangan remaja. Upaya pengentasan seks berisiko di kalangan remaja sudah saatnya melibatkan instansi pemerintah. Dorongan seksual merupakan hal yang wajar dan alamiah, penyediaan perangkat informasi yang memadai bagi remaja untuk bisa mengarahkan dorongan alamiah tersebut secara strategis dapat memanfaatkan lembaga pendidikan yakni sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang sah, sekolah bisa memfasilitasi dan mengawasi materi yang tepat bagi remaja. Hal ini tentu saja lebih baik, ketimbang remaja terjebak dalam informasi kesehatan reproduksi dan seksual yang tidak tepat seperti pada situs-situs yang tidak jelas sumber pemberitaannya.

Author: Reni Kartikawati

Editor: Denyzi Wahyuadi

Web Content and Editor: Sari Damar Ratri

 

Seperlima menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review UU Sisdiknas

IMG-20151104-WA0001

IMG-20151104-WA0002

Siang ini, teman-teman Seperlima yang melakukan judicial review terhadap UU Sisdiknas menunggu putusan MK. Setelah menunggu lebih dari enam bulan lamanya, MK menghubungi Seperlima sebagai pemohon untuk mendengarkan putusan. Putusan MK yang hari ini, 4 Nopember 2015 akan dibacakan merupakan putusan tanpa sidang.

Tanpa sidang, Seperlima kehilangan kesempatan untuk memberikan kesaksian dan bukti-bukti tidak adanya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komperehensif bagi remaja Indonesia. Temuan Puska Genseks FISIP UI,  dalam penelitian Penguatan Akses Remaja pada Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan bahwa tanpa pengetahuan yang cukup, remaja cenderung terjebak dalam seks berisiko. Tanpa kemampuan memenej dorongan seksual, remaja di Indonesia semakin rentan terpapar ancaman lain yang merenggut kebahagiaan dan masa depan mereka seperti, kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, kekerasan seksual dan lainnya. Berdasarkan temuan inilah, Seperlima melakukan Judicial Review terhadap UU Sisdiknas yang menghendaki adanya jaminan insersi materi Kespro dan Seksual pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Olahraga. Argumen dasar Seperlima, bahwa kata kesehatan dalam mapel Penjaskesor sepatutnya mencerminkan kesehatan dalam arti yang menyuluruh, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual.

Seperlima merupakan gugus kerja yang terdiri dari Puska Genseks Fisip UI, Yayasan Rahima, PKBI, Pamflet dan HIVOS. Sejak tahun 2012 Seperlima mengusung upaya penyediaan pendidikan kespro dan seksual yang komperehensif bagi remaja di seluruh Indonesia.