Anak Perempuan Butuh Sekolah, Bukan Menikah

designed by : Arief Rahadian

Berdasarkan data studi baseline Yes I Do mengenai perkawinan anak, kehamilan remaja dan sunat perempuan di Kabupaten Sukabumi dan Lombok Barat (2016) oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, diketahui bahwa terdapat 5.19% remaja perempuan usia 15-24 tahun yang putus sekolah akibat perkawinan, sedangkan hanya 0.3% yang dialami oleh remaja laki-laki pada usia yang sama. Secara umum, kurang dari tiga persen responden yang menikah sebelum 18 tahun, tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal. Putus sekolah, khususnya bagi anak perempuan setelah menikah, dianggap sebagai konsekuensi yang harus mereka terima, terlebih jika hal itu diakibatkan oleh kasus kehamilan pra nikah.

#fakta #perkawinananak #hariperempuaninternasional2018

Trans Laki-Laki : Identitas Gender dan Dunia Kerja

Oleh : Gabriella Devi Benedicta

Diskursus mengenai isu seks, tubuh dan gender di dunia kerja semakin berkembang dan kompleks dari waktu ke waktu. Persoalan berkembang dari ketidaksetaraan antara perempuan (cisfemale) dan laki-laki (cismale)[1] yang bersifat biner, melainkan juga melibatkan juga representasi identitas lainnya, yaitu kelompok homoseksual dan transgender[2]. Di Indonesia kita mengenal dua kategorisasi transgender, yaitu waria dan trans laki-laki[3]. Dibandingkan dengan trans laki-laki, di Indonesia waria dianggap lebih dominan dalam menunjukan visibilitasnya. Tidak jarang, waria mengalami berbagai persoalan dalam dunia kerja terkait identitas dan ekspresi gender mereka. Waria, dalam hal ini mendapat diskriminasi dalam mencari pekerjaan, terutama dalam sektor formal seperti dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan bahkan salon menengah atas yang dianggap ‘aman’ untuk mereka.[4]

Tidak berbeda dengan waria, trans laki-laki mengalami berbagai dilema dan persoalan terkait identitas gender baru yang dibentuknya dalam dunia kerja. Memilih untuk menjadi ‘berbeda’ sebagai konsekuensi atas transisi fisik/medis maupun sosial[5] yang dilakukan berdampak terhadap pilihan kerja trans laki-laki. Berbagai persoalan dapat muncul terkait dengan identitas baru yang dipilih sebagai seorang trans laki-laki ketika mereka memasuki dunia kerja yang memiliki mekanisme dan aturan tersendiri. Melalui wawancara mendalam yang dilakukan terhadap enam informan kunci trans laki-laki muda usia 18-24 tahun di wilayah Jakarta dan Bekasi, peneliti mencoba mengidentifikasi dan menemukenali berbagai persoalan terkait visibilitas trans laki-laki muda atas identitas gendernya di dunia kerja.

Dalam pasal 5 UU Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, diatur hak bagi bagi setiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dengan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Pasal 32 dalam UU tersebut juga mengatur dengan jelas mengenai penempatan tenaga kerja yang dilaksanan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Dalam Konvensi ILO nomor 111 tahun 1958 dengan jelas disebutkan larangan diskriminasi terhadap jabatan dan pekerjaan (artinya setiap pembedaan, pengabaian atau preferensi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, aliran politik, pencabutan kewarganegaraan atau asal muasal yang mengakibatkan lemahnya atau batalnya untuk memperoleh kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pelatihan, akses ke pekerjaan dan atau jabatan tertentu, keamanan dan kondisi terkait dengan pekerjaan).[6]

Identitas gender yang diyakini sebagai trans laki-laki memberikan pilihan untuk menunjukkan visibilitas mereka melalui ekspresi gender, baik secara terbuka maupun tertutup. Ekspresi gender yang terbuka dapat ditunjukkan melalui transisi, baik secara sosial maupun fisik. Namun, hal ini ternyata menimbulkan dilema tersendiri ketika mereka dengan terbuka menunjukkan visibilitas atas ekspresi gender mereka di dunia kerja. Persolan yang umumnya dihadapi oleh trans laki-laki muda di dunia kerja terkait dengan isu registrasi diri. Indonesia adalah salah satu negara yang dengan spesifik mencantumkan informasi atas jenis kelamin biner (perempuan dan laki-laki) dalam KTP sebagai standar informasi diri.

Negasi atas pemberian identitas gender sesuai yang tertera dalam kartu identitas diri mereka membuat salah satu informan akhirnya melakukan perubahan data diri secara ilegal (dari jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki). Negasi lain yang dilakukan adalah dengan menunjukkan ekspresi gender mereka sebagai laki-laki lewat penampilan dan pakaian. Hal ini menimbulkan masalah karena adanya anggapan ketidaksesuaian antara penampilan dengan data jenis kelamin yang tercantum di dalam KTP mereka. Trans laki-laki yang berpenampilan maskulin dengan kemeja, celana panjang, rambut pendek, kumis maupun jenggot serta bersuara berat menemui masalah ketika pihak perusahaan menemukan adanya perbedaan antara ekspektasi dan realitas yang tertera dalam data diri mereka di KTP sebagai perempuan.

Pakaian seperti kemeja, jas maupun celana panjang yang digunakan trans laki-laki adalah bentuk komunikasi non verbal yang digunakan untuk merepresentasi diri sebagai ‘laki-laki’. Konsepsi tubuh yang terkait dengan pakaian dapat dianggap sebagai identitas ganda signifikan, baik untuk pengguna dan untuk orang-orang yang berinteraksi dengan pengguna. Tubuh menempati posisi kunci dalam unit dasar representasi dalam karya Claude Lévi-Strauss, dimana tubuh adalah konstruksi simbolis.[7] Tubuh dibentuk dan dikendalikan oleh masyarakat. Shiling dalam bukunya The Body and Social Theory, mengungkapkan pandangan Foucault dan Goffman pengaturan atas tubuh oleh struktur sosial yang berada di luar jangkauan diri/individu.[8]

Tubuh media ekspresi diri, yaitu sarana untuk bebas mengekspresikan semua yang ada di dirinya sendiri, apakah dalam bentuk perasaan, pikiran maupun ide-ide. Pilihan yang diambil untuk melakukan transisi, baik secara sosial maupun fisik oleh trans laki-laki adalah ekspresi tubuh yang seharusnya dimiliki oleh tubuh yang otonom. Namun, nyatanya masyarakat memiliki mekanismenya sendiri untuk mengatur tubuh. Tubuh privat tidak lagi menjadi tubuh yang otonom, namun menjadi tubuh yang terikat pada aturan dan sistem nilai yang telah terbentuk sebelumnya. Gail Weiss menekankan tentang identitas tubuh yang membedakan seseorang atau sekelompok orang lain. Ia juga menjelaskan tentang gagasan otonomi tubuh sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol tubuh mereka.[9]

Kebebasan tubuh yang otonom nyatanya menjadi gagasan yang probematis; di satu sisi, itu adalah hak mutlak bagi individu, tetapi di sisi lain kita tidak pernah mengetahui apakah setiap individu dapat benar-benar mengaksesnya. Namun, dalam masyarakat yang relatif komunal, arti ‘tubuh’ tidak dapat berdiri sendiri. Sedangkan dalam masyarakat individualistis, saklar tubuh, menandai batas-batas individu, yang adalah untuk mengatakan di mana dimulai dan berakhir kehadiran seorang individu.[10]

Tanggapan perusahaan terkait hal ini ditanggapi secara berbeda oleh trans laki-laki muda. Memilih untuk menjalani kerja di bidang informal akhirnya dipilih oleh beberapa informan sebagai bentuk negosiasi atas pilihan mereka untuk mempertahankan penampilannya yang maskulin. Namun, pilihan untuk tidak melakukan transisi fisik juga akhirnya diambil oleh informan lainnya sebagai pilihan rasional untuk tetap diterima bekerja di bidang pekerjaan yang ia minati. Di Indonesia, adanya aturan hukum ketenagakerjaan yang dengan jelas melarang praktik diskriminasi atas dasar apapun masih perlu dipertanyakan karena identitas gender ternyata masih menjadi dasar terjadinya diskriminasi dan ketidaksetaraan seksual. Oposisi biner yang berbasis konstruksi sosial masih menjadi dasar kuat yang menentukan status dan peran seseorang dalam dunia kerja.

 

[1] Cisfemale dan cismale (cis-gender) menjelaskan adanya keselarasan antara seks pada saat dilahirkan dengan identitas gender yang mereka yakini. Cisfemale adalah seseorang yang terlahir perempuan dan meyakini bahwa identitas gendernya juga perempuan sedangkan cismale adalah seseorang yang terlahir laki-laki dan meyakini bahwa identitas gendernya juga adalah laki-laki.

[2] Transgender pada umumnya didefinisikan sebagai individu yang dengan sengaja menolak penetapan gender yang diberikan pada saat lahir. Kelompok transgender adalah transseksual, namun melingkupi kelompok yang dapat lebih luas dari definisi ini. Catherine Connell, 2010, “Doing, Undoing or Redoing Gender? Learning from the Workplace Experience of Trangender People”, Gender and Society, Vol 24, 1, p. 33.

[3] Terminologi yang digunakan untuk menunjuk trans yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki (misalnya: seseorang yang terlahir sebagai perempuan namun mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki). Bahasanya lain yang digunakan adalah FTM (female to male). Health Policy Project, Asia Pacific Transgender Network, United Nation Development Programme. 2015. Blueprint for the Provision of Comprehensive Care for Trans People and Trans Communities in Asia and the Pacific. Washington, DC: Futures Group, Health Policy Project.

[4] Hidup sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia , Tinjauan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), diakses dari http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%2027%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf

[5] Dalam wawancara yang dilakukan, informan penulisan ini mendefinisikan transisi sebagai proses ‘penegasan’ identitas mereka sebagai laki-laki. Transisi dapat dilakukan dalam bentuk transisi sosial, yaitu tidak melakukan penegasan fisik namun mengubah penampilan seperti laki-laki dan transisi fisik/medis, yaitu melakukan penegasan fisik melalui tindakan medis berupa HRT (Hormone Replacement Therapy). HRT adalah terapi yang dilakukan untuk meningkatkan kadar hormon testosteron dan menekan unsur hormon estrogen dalam tubuh.

[6] Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Kantor Perburuhan Internasional, diakses dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_122045.pdf

[7] David Le Breton, La sociologie du corps, Paris, Presses Universitaires de France, 2002, p. 37.

[8] Chris Shiling, The Body and Social Theory, London, Sage Publication, p. 71.

[9] Gail Weis, 2009, “Intertwined Identities: Challenges to Bodily Autonomy”. Perspectives: International Postgraduate Journal of Philosophy, 2 (1) : 22-37.

[10] Le Breton, Loc.Cit., p. 34.

Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia Berjalan Mundur

Foto: Sari Damar Ratri

Oleh: Muhammad Nurun Najib (Najib)

Sudah tak asing lagi kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Namun banyak peneliti beranggapan bahwa, proporsi jumlah penduduk ini ternyata tidak berbanding lurus dengan perkembangan sumber daya manusianya (SDM). Jika kita melihat pada sektor kesehatan misalnya, Angka Kematian Ibu (AKI) ternyata masih menempati urutan teratas di antara negara-negara tetangga. Artikel-artikel ilmiah dan popular yang menyatakan tentang ini bisa dengan mudah di dapatkan di internet. Prakarsa, sebuah perkumpulan yang bekerja dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesejahteraan ide dan penelitian menyatakan, ada kenaikan yang signifikan atas Angka Kematian Ibu (Prakarsa, Oktober 2013)[1]. Misalnya saja hasil dari Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang menunjukkan bahwa terdapat 359 AKI di antara 100.000 kelahiran hidup. Angka ini melambung tinggi ketika dibandingkan data SDKI pada tahun 2007, di mana angkanya menunjukkan terjadi 228 kasus AKI di antara 100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), yaitu sebesar tiga-perempatnya pada tahun 2015. Sementara target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar dua-pertiga. Dari kesepakat global tersebut Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH), Angka Kematian Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada tahun 2015[2]. Target-target tersebut nampak snagat menjanjikan, seolah-olah menciptakan pedoman bekerja yang cukup strategis. Tetapi disaat bersamaan, target capaian MDGs sesungguhnya bisa dijadikan tolak ukur kemunduran dari program pemerintah dalam menurunkan AKI di Indonesia.

Mari kita lihat kondisi saat ini, pada tahun 1997 sebenarnya Indonesia pernah ditempatkan oleh WHO sebagai negara yang berhasil dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada tahun itu, pemerintah mampu menurunkan angka 390 kasus menjadi 334 di antara 100.000 kelahiran selama kurun waktu tiga tahun. Keberhasilan yang dicapai Indonesia pada tahun itu tidak terjadi secara instan. Dalam lembaran sejarah, satu dekade sebelumnya, yaitu pada tahun 1987 saat WHO meluncurkan Safe Motherhood Initiative, Indonesia langsung menjawabnya dengan mengadakan program Making Pregnancy Safer (MPS). Sejak saat itu pemerintah juga mencoba mengembangkan program lainnya. Salah satu program yang dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalui pelayanan konseling yang baik dan benar. Hal ini membuat Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1980 sampai tahun 2000 terbilang sukses untuk program KIA.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan terkait dengan kesehatan ibu dan anak nyatanya juga sudah diatur dalam beragam regulasi yang ada. Sebagai contoh, adanya regulasi pemerintah yang mewajibkan untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk memberikan pelayanan yang maksimal untuk kesehatan, utamanya kesehatan ibu dan anak. Namun, fakta di lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya hanya sebesar 248 milyar rupiah atau sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang kesehatan. Potret ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk kembali dapat memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya adalah untuk kembali memperbaiki kualitas KIA di Indonesia yang belum mencapai target MDGs 2015 hingga saat ini. Dengan upaya perbaikan kebijakan tentang kesehatan reproduksi, pemerintah tetap saja menilai bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tidak perlu disedikan di tingkat sekolah. Pernyataan tersebut muncul ketika pengajuan revisi Undang-undang Sisdiknas yang diajukan oleh gugus tugas Seperlima di tolak karena dianggap kesehatan reproduksi dan seksual bukan lah isue prioritas dimana tidak ada masyarakat yang dirugikan. Kenyataan tersebut sungguh ironis, ketika para peniliti melihat bahwa AKI dan AKB bisadicapai melalui perbaikan standar pendidikan kesehatan repoduksi dan seksual.

Penyunting: Reni Kartikawati dan Sari Damar Ratri

 

Referensi:

[1] Saputra, Wiko. 2013. “Angka Kematian Ibu (AKI) melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun: Laju Penurunan Kematian Ibu di Indonesia terburuk dari Negara – Negara miskin di Asia” Prakarsa: Policy Review. Diakses dari http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/Prakarsa%20Policy_Oktober_Rev3-1.pdf

[2] Kesmas, http://www.indonesian-publichealth.com/surveilans-kematian-ibu/ diakses tanggal 21 Januari 2016, pukul 14:10 WIB.

 

Agama dan Pendidikan Kespro dan Seksual

Perspektif Agama dan Implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual

 Agama berperan penting dalam implementasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) di Indonesia. Di negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, pengajaran PKRS yang sesuai dengan ajaran agama (religiously appropriate) menjadi salah satu kriteria penting keberhasilan program di Indonesia. Hal ini seperti yang ditulis pula oleh Bannett (2007) dalam artikelnya yang berjudul “Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth”.

Dalam artikel yang ditulisnya, Bannett mencoba menjelaskan kondisi pendidikan seks di kalangan pemuda Indonesia yang multiperspektif dan tumpang tindih antara kesehatan, hak asasi manusia dan perspektif Islam. Ia juga memberikan argumen yang mendukung terkait penggunaan kurikulum berperspektif Islam sebagai kerangka pengembangan pendidikan seksual bagi kaum muda Muslim di Indonesia. Menurutnya, kesesuaian kerangka kerja yang berperspektif Islam ini juga menjadi perhatian dari para guru/ustad/ustadzah/ibu nyai/kyai di beberapa pondok pesantren atau madrasah yang ingin memberikan materi mengenai PKRS untuk para santrinya.

Berdasarkan data kajian penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI tahun 2012-2013 mengenai “Advokasi Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Sekolah” yang dilakukan di beberapa Pondok Pesantren di wilayah Jombang, Banyuwangi, serta Lamongan, didapatkan hasil bahwa guru-guru setuju jika PKRS ini diberikan kepada para santri selama mengacu pada ajaran Agama Islam. Namun, terdapat beberapa catatan yang diberikan terkait implementasi program PKRS ini di tingkat pesantren.

Dalam hal ini, pengajaran substansi atau materi yang diajarkan terkait kespro dan seksual diperbolehkan, tetapi tata cara pengajarannya tetap disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan pesantren atau sesuai dengan ajaran Agama Islam. Di beberapa pesantren yang menjadi wilayah penelitian, diketahui bahwa sebenarnya Pondok Pesantren secara tidak langsung sudah mengajarkan PKRS kepada para santrinya melalui Ilmu Fiqih dan juga “Kitab Kuning”, seperti Risalatul Mahid, Qurratul Uyun dan Kitab kuning lainnya.

Meskipun adaptasi dengan norma agama merupakan hal yang penting, namun terdapat kekhawatiran dari kalangan organisasi masyarakat sipil bahwa PKRS yang diberikan hanya akan bersifat ‘normatif’ –hanya menekankan larangan – dari sudut pandang agama. Bila hanya diberikan melalui satu sudut pandang saja dan tanpa memahami realitas dan kebutuhan remaja dari aspek lainnya termasuk aspek kesehatan, PKRS yang disampaikan tetap akan membingungkan.

Kekhawatiran tersebut juga diafirmasi oleh Smerecnik et.al (2010). Dalam penelitiannya mengenai “An exploratory study of Muslim adolescents’ views on sexuality: Implication for sex education and prevention”, pendidikan seksualitas yang terlalu menekankan pada norma agama tanpa memperhatikan pandangan dari remaja cenderung untuk gagal dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan kespro dan seksual yang komprehensif dan tidak mendasarkan pada satu aspek tertentu saja menjadi penting untuk dilakukan. Hal tersebut terkait dengan pertimbangan pada aspek lain terkait berbagai dimensi seksualitas remaja yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menjalani seks berisiko atau tidak.

Adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, serta resiko sosial yang akan dihadapi perlu didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman yang dijalani oleh mereka sendiri. Karena berdasarkan penelitian ini, terdapat siswa yang telah mempraktikkan perilaku seks yang tidak terlindungi, akibatnya cukup banyak remaja saat ini yang sudah terkena IMS (Infeksi Menular Seksual) dan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) tanpa mereka tahu bagaimana cara mencegah atau mengatasinya.

Video oleh CNN diatas menunjukkan salah sedikit dari orang dewasa yang merasa mengenalkan pendidikan seks di usia dini adalah sesuatu yang sangat diperlukan. PKRS yang komperehensif tentu saja tidak semata-mata mengajarkan anak-anak ini tentang seks, melainkan mengetahui organ reproduksi mereka, menghormati tubuh sendiri dan orang lain, serta cara berelasi yang setara dengan orang lain. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang tidak mengerti bahwa seks tanpa pengetahuan yang memadai sama saja dengan perilaku berisiko lainnya seperti berkendara tanpa helm, berkendara saat mabuk dan bekerja tanpa istirahat.

Penulis: Diana Pakasi dan Reni Kartikawati

Penyunting: Gabriella Devi Benedicta dan Sari Damar Ratri

Web content: Sari Damar Ratri

Perkawinan Anak dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Fenomena perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu pembahasan yang saat ini mulai marak diangkat kembali menjadi topik dari sebuah isu besar mengenai hak dan perlindungan anak. Pada awal tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan oleh Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) mengajukan permohonan terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hasilnya sangat mengecewakan pada tanggal 18 Juni 2015 MK menolak judicial review (JR) yang diajukan dengan alasan UU Perkawinan tersebut masih relevan untuk digunakan hingga saat ini.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 % menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 % menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak (child marriage) ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan seksual, perkawinan pada usia anak merupakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual karena semakin muda umur perkawinan semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi sehingga timbul pula beberapa dampak negatif. Dapat dibayangkan apabila seorang anak perempuan melakukan perkawinan usia anak maka ia bisa putus sekolah, berada pada posisi yang lemah dalam keluarga, menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi, beresiko terhadap kekerasan domestik dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Belum lagi apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka ia pun harus mencari nafkah. Dengan kata lain, perkawinan usia anak seringkali menempatkan anak perempuan pada situasi yang penuh kerentanan.

Persoalannya adalah orangtua hampir tidak membicarakan masalah seksualitas dan reproduksi dalam keluarga dengan alasan tabu, tidak pantas, tidak perlu atau mereka sendiri kurang memiliki pengetahuan tersebut. Di sekolah pun informasi kesehatan reproduksi dan seksual diberikan tidak secara utuh dan merata serta terkadang masih dibungkus dengan isu moralitas. Dengan demikian, perkawinan usia anak merupakan praktik budaya yang perlu diubah karena lebih banyak merugikan anak perempuan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perkawinan usia anak:

  1. Pemerintah harus menaikan batas usia perkawinan minimum dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.35 tahun 2014. Usia minimum untuk perkawinan harus di atas 18 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.
  2. Melakukan kampanye publik kepada masyarakat luas tentang dampak negatif perkawinan usia anak, yang melibatkan tokoh adat/masyarakat/agama yang sering dipandang sebagai panutan.
  3. Meningkatkan kesadaran orangtua dan guru tentang pentingnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak sesuai dengan pertumbuhannya.
  4. Mendorong pemerintah untuk memberikan pendidikan keterampilan hidup bagi remaja, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, melalui lembaga pendidikan, seperti sekolah sejak dini.

Penulis:

Dr. Irwan Hidayana dan Reni Kartikawati

Content Manager:

Sari Damar Ratri, M.Sc

Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual, benarkah memicu seks berisiko?

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual merupakan topik yang ‘sensitif’. Kata sensitif tersebut menyatakan bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksual rentan untuk diperdebatkan dengan berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, jika dikaitkan dengan nilai masyarakat kita, bahwa ‘seks’ hanya boleh dilakukan di dalam ikatan perkawinan atau pernikahan yang sah, konsekuensinya, hal ini menjadikan diskusi dan penyebaran informasi mengenai seks menjadi tabu dan cenderung dikaburkan. Di sisi lain, sumber informasi seksual yang mudah di akses cenderung tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, materi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif penting untuk bisa diakses dan dipahami oleh remaja.

Kekhawatiran pemerintah, orang tua maupun pihak sekolah adalah pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) dianggap akan mendorong remaja berperilaku semakin ‘permisif’. Hal ini berangkat dari adanya anggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dapat mendorong keinginan remaja untuk melakukan seks pranikah yang cenderung berisiko. Padahal temuan hasil penelitian Baseline Study yang dilakukan oleh Puska Genseks di tahun 2012, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas justru dapat mengurangi dan mencegah perilaku seks berisiko di kalangan remaja. Selain itu, dengan tersedianya akses terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja lebih mampu menunda keinginannya untuk melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan temuan dalam Midline Study, Puska Genseks tahun 2013 di 23 sekolah menengah atas (SMA/MA/Sederajat) di delapan kota dan kabupaten di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Pontianak, Lampung, Semarang, Yogjakarta (Kulon Progo), Jombang, dan Banyuwangi didapatkan data bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) justru dapat mencegah perilaku siswa untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, yang ditunjukkan dengan persentase sebesar 88,7%. Sebanyak 94,5% temuan pada studi yang sama juga menunjukkan bahwa melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, siswa mengetahui dan menghindari bahaya penyakit menular seksual (PMS) bagi kesehatan reproduksi, seperti sifilis, gonore, HIV/AIDS. Tidak kalah penting juga ditunjukkan melalui persentase sebanyak 77,6% bahwa pendidikan kespro dan seksual memberikan kemampuan bagi siswa untuk dapat mengendalikan dorongan seksualnya.

Data ini didapatkan dari beberapa sekolah percontohan yang sudah menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual secara komprehensif kepada siswa/i sekolahnya baik melalui insersi pada mata pelajaran Biologi/IPA, Agama, Bimbingan Konseling/BP, serta Pendidikan jasmani dan olahraga (Penjaskesor). Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pun sesungguhnya bisa memanfaatkan ekstra kurikuler wajib di sekolahnya baik melalui PIK –R (Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja), Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lainnya.

Temuan penelitian di atas menjadi penting untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, orangtua dan pihak sekolah bahwa memberikan pengetahuan dan informasi yang benar, akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada remaja dapat berkontribusi pada penundaan perilaku seksual di kalangan remaja. Upaya pengentasan seks berisiko di kalangan remaja sudah saatnya melibatkan instansi pemerintah. Dorongan seksual merupakan hal yang wajar dan alamiah, penyediaan perangkat informasi yang memadai bagi remaja untuk bisa mengarahkan dorongan alamiah tersebut secara strategis dapat memanfaatkan lembaga pendidikan yakni sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang sah, sekolah bisa memfasilitasi dan mengawasi materi yang tepat bagi remaja. Hal ini tentu saja lebih baik, ketimbang remaja terjebak dalam informasi kesehatan reproduksi dan seksual yang tidak tepat seperti pada situs-situs yang tidak jelas sumber pemberitaannya.

Author: Reni Kartikawati

Editor: Denyzi Wahyuadi

Web Content and Editor: Sari Damar Ratri

 

Sexual Rights and Women Empowerment: Comparative Studies between Indonesia and India

Chile-Bride-poster

Penelitian ’Sexual Rights and Women Empowerment: Comparative Studies between Indonesia and India’, Juni 2005 – Februari 2006, kerjasama dengan Kartini Network, didukung oleh Ford Foundation. Penelitian ’Sexual Rights and Women Empowerment: Comparative Studies between Indonesia and India’, Juni 2005 – Februari 2006

Penelitian ini adalah penelitian yang berperspektif feminis yang tidak semata-mata sebuah riset ilmiah karena hasilnya digunakan untuk advokasi hak-hak seksual perempuan di kedua negara. Oleh karena itu prosesnya melalui beberapa tahapan:

  • Penyusunan rancangan penelitian dilakukan pada lokakarya (April 2005) di Goa, India. Tim peneliti dan dua orang wakil dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan LBH APIK – dua LSM yang akan melakukan advokasi setelah penelitian selesai — mendiskusikan konsep-konsep dasar gender dan seksualitas, heteronormativitas, seksualitas non-normatif, metodologi feminis serta  mengembangkan kerangka penelitian dan isu-isu yang akan dicakup dalam penelitian termasuk kriteria pemilihan subyek penelitian.
  • Penelitian memfokuskan pada tiga kategori perempuan yaitu pekerja seks, janda dan lesbian.
  • Di Indonesia, pada awal Juni 2006 hasil lokakarya kembali dibahas bersama-sama dengan sejumlah konstituen pekerja seks, janda dan lesbian dari KPI dan LBH APIK untuk mempertajam pertanyaan penelitian dan kriteria subyek penelitian.
  • Tahap pertama pengumpulan data adalah melakukan analisis media terhadap beberapa media cetak yang ditentukan secara purposif.
  • Pengumpulan data dengan wawancara mendalam dilakukan selama 4 bulan (Juli-Oktober 2005).
  • Pada bulan September 2005 dilakukan lokakarya penelitian kedua untuk mendiskusikan hasil analisis media dan merumuskan butir-butir advokasi bagi tiga kelompok perempuan yang perlu digali dalam wawancara mendalam terhadap subyek penelitian.
  • Pada bulan Desember 2005 dilakukan lokakarya analisis data secara bersama-sama antara tim peneliti Indonesia dan tim peneliti India. Berbagi pengalaman penelitian, presentasi profil, dan analisis yang lebih dalam terhadap isu-isu yang muncul ternyata memperkaya tim peneliti dalam penulisan profil yang disajikan dalam buku ini.